Mentari senja nampak terukir diufuk barat burung-burungpun bersiap kembali kesarangnya. Pertanda hari akan berganti menyambut malam. Disebuah taman tak jauh dari rumahnya nampak seorang pria tua renta masih terus menikmati suasana sore yang hampir mendekati malam. Bagai tak perduli iapun tetap tenang sambil menikmati buah kesukaannya pria tua itu terus hanyut akan sesuatu yang ia harapkan.

Dunia semakin tua, dan sangat berbeda seperti zaman dirinya yang masih berjaya dan gagah perkasa. Dunia dikala ia senja memang canggih namun semua selalu tetap ada pamrih tertentu yang harus dibayarkannya. Hingga malam telah datang pria tua itupun segera berlalu untuk menuju kediamannya, semua tetap hening dan sepi.

Pagi yang cerah, harum bunga-bunga menyerbu masuk ke dalam rumah, terbawa angin pagi yang sejuk. Pria tua penghuni rumah baru saja menyelesaikan bacaan zikirnya. Ia membuka daun jendela kamarnya untuk mendapatkan udara segar. Itulah kebiasaannya tiap pagi, menjalani hari-hari tuanya sendirian sejak istrinya meninggal tiga tahun lalu.

Anak laki-lakinya semata wayang yang bernama Jhaey kini sudah lebih dari 21tahun bermukim di Canada, Amerika utara, bekerja pada perusahaan perkapalan. Ketika pria tua itu merasa sudah sangat rapuh dan sering sakit-sakitan, ia mulai merindukan anaknya, ia ingin anak laki-lakinya itu datang menengoknya, mungkin pula untuk terakhir kali mereka akan berjumpa.

Namun, ia mendapat balasan surat dari anaknya yang meminta maaf belum bisa segera pulang karena kesibukan kerja yang tidak bisa ditinggalkan. Anaknya berjanji, mungkin akhir tahun ini, ketika ia mendapatkan libur musim dingin.

Ah, masih tujuh bulan lagi, masih lama, pikir pria tua itu setelah melihat ke arah kalender murahan yang tergantung di ruang tamu. Ia kemudian duduk pada kursi yang bantalannya sudah banyak yang koyak dan menyembul spons sumpalan. Badannya terasa hangat dan persendiannya terasa ngilu. Seluruh badannya pegal-pegal.

Ia mulai berpikir liar, apakah ia masih sempat bertemu dengan anaknya yang jauh disana itu? Maklumlah, ajal manusia tidak bisa ditebak. Sepuluh tahun lalu saja, usia yang dijalaninya sudah usia berkah. Sisa usia yang biasa dikatakan orang sebagai bonus. Ia pun kadang kala menerima kabar, satu per satu pensiunan teman seangkatannya sudah pergi. Itu sudah kodrat manusia, pikir pria tua itu, apa yang harus disesali?

Memang tidak ada pesan yang berarti yang akan ia sampaikan kepada anaknya jika datang. Tidak ada juga warisan yang bernilai yang bisa ia berikan.

Rumah yang ia tempati sekarang, di ujung jalan kampung ini, tidak seberapalah nilainya. Tanah dengan luas 200 meter persegi, tempat rumah itu dibangun, dibeli murah 50 tahun lalu dari seorang teman sekolahnya yang bekerja di kecamatan. Waktu itu, tanah sekitar rumah masih ditumbuhi pepohonan yang lebat. Ada pohon melinjo, pohon kecapi, pohon nangka, sehinga selalu terasa teduh. Jalan setapak di depan rumah, baru setahun tahun lalu menjadi jalan pintas, dilalui menuju ke beberapa perumahan yang juga baru berdiri.

Rindu, hanya rasa rindu. Dan semua menjadi kesepian yang tak terelakan. Tidak lebih naluri setiap orang tua, naluri seorang ayah. Apalagi, pertemuan dengan anaknya kelak, mungkin sekaligus menjadi pertemuan terakhir. Jika benar demikian, ia makin merasa kesepian. “Ya Allah"...Ia menutupkan kedua belah tangan ke mukanya.

"Assalamualaikum pak Agus"... Mendengar namanya dipanggil oleh seseorang dari luar. Suara mang Herman, penjual sayur keliling langganannya. Pria tua bernama Agus itu berdiri malas, persendiannya terasa ngilu, badannya mulai terasa hangat. Tetapi, ia paksakan juga berdiri dan membuka pintu. Ia melihat mang Herman menggantungkan plastik keresek di pintu pagar, sebagaimana biasa.

“Bawa apa, Mang?“ Seru pria tua bernama Agus.

"Biasa Pak Agus, mungkin mau yang berbeda dari kemarin. Ada ikan peda, bahan sayur bening, bayam dan labu, kerupuk, cabai rawit dan kriting untuk nyambel".

"Terima kasih, gantungkan saja di situ, Mang Herman"... Balas pria tua itu pelan.

Mang Herman yang biasanya terburu-buru menancap gas motornya menuju ke arah perumahan pelanggannya, kini menahan diri sejenak. Ia kembali menengok lelaki tua itu yang terlihat tidak seperti biasanya.

“Pak Agus baik-baik saja, Pak?”...Serunya kembali.

“Agak meriang sedikit nih, tetapi nanti sembuh sendiri,” jawab pria tua itu berdiri di depan pintu.

“Hati-hati, Pak Agus, sekarang ada varian virus terbaru lagi yang bernama Omicron. Dua hari terjang kita bisa lewat"... Kata mang Herman menggurui.

“Naudzuhubillah, begitukah mang Herman?”

"Ya Pak. Hati-hati ya Pak, besok saya bawakan obat.”

"Terima kasih".

Terdengar suara starter motor mang Herman. Kemudian, ia memberi salam...“Assalamualaikum, pak Agus".

Pria tua bernama Agus itu membalas salam, kemudian melangkah ke dalam rumah membawa plastik keresek antaran mang Herman. Pria tua itu mengenal mang Herman sejak masih memakai sepeda ontel menjajakan sayur-mayur. Hari demi hari, rezeki menghampiri mang Herman, sehingga mang Herman bisa membeli motor mengganti sepeda ontelnya.

Laki-laki setengah baya asal Kuningan itu, dua tahun terakhir ini, sejak istri pria tua itu wafat, setiap pagi singgah membawa sayur dan bumbu-bumbu yang diperlukan pria tua itu untuk memasak. Mang Herman sudah tahu persis selera pria tua itu, lauk apa yang diperlukannya. Karena setiap awal bulan, setelah pria tua itu mengambil uang pensiunan di kantor pos terdekat, ia membayar mang Herman dengan jumlah uang yang selalu sama. Tidak ada catatan dan hitungan, mereka sudah saling mengerti dan ikhlas.

Pada setiap awal bulan itu pula, setelah mang Herman pulang dari menjajakan jualannya, mang Herman menyempatkan diri singgah mengobrol dengan pria tua itu, sambil minum kopi. Begitulah sebuah persahabatan terjalin.

Setelah meletakkan plastik keresek antaran mang Herman di dapur, pria tua bernama Agus itu kembali berjalan dengan lesu ke tempat duduknya semula. Ia merasa sangat letih. Kabar yang dibawa mang Herman mengenai wabah virus corona varian terbaru masih melekat pada ingatannya. Tetapi, ajal manusia kan sudah ada dalam suratan nasib setiap hamba Allah, pikirnya. Ia tidak ingin terganggu terlalu jauh dengan berita itu.

Ingatan pria tua itu masih tetap tertuju kepada anaknya yang jauh. Apalagi yang bisa diwariskan kepada anak itu, jika saja ia suatu waktu dipanggil menghadap Sang Khalik. Harta yang dimilikinya hanya tanah 200 meter persegi dan rumah reot itu. Tetapi, apalah arti semua itu bagi anak yang sudah puluhan tahun tinggal di kota modern seperti Amerika utara.

Di lemari pajangan ada juga map lusuh berisi surat keputusan kenaikan pangkat dan golongan gaji. Dua lembar kertas karton, penghargaan negara atas pengabdian 10 tahun dan 20 tahun bekerja sebagai pegawai negeri. Puluhan buku tua yang terbanyak buku agama, terbitan tahun enam puluhan.

Selain itu, ada buku sastra dari pengarang terkenal Ernest Hemingway, Leo Tolstoy, Edgar Alan Poe, Anton Chekov, Maria Carcia Lorca, dan Maxim Gorky. Buku pengarang Indonesia ada Pramoedya Ananta Toer, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah. Semua buku-buku lama yang dibelinya ketika masih mahasiswa, sebagian besar dari lapak loak pasar senen.

Atau, mungkin anaknya mau mengoleksi sebuah mesin tik manual merek Olivetti sebagai barang antik? Tetapi, buku agama dan sastra serta mesin tik antik seperti itu, apa urusannya dengan anak yang perhatiannya sejak dulu hanya pada ilmu ekonomi?

Sejujurnya, ia ingin semua harta tetek bengek miliknya itu diselamatkan atau tetap disimpan untuk anak cucunya nanti. Mungkin setelah merasa sehat kembali, ia akan menulis surat wasiat untuk itu. Pria tua itu merasa sangat lelah, temperatur badannya mulai tinggi lagi. Ia kembali masuk ke kamar dan tidur lelap. Menjelang Maghrib, ia terbangun dan menyalakan lampu. Ia merebus air dan setelah mendidih, ia menunggu sebentar sampai air rebusan itu agak dingin dan meminumnya beberapa teguk. Badannya terasa sedikit segar, tetapi ia merasa sangat lelah. Ia pergi berbaring dan tertidur lagi.

Matahari hari pagi sebentar lagi merekah. Pria tua itu terbangun setelah mendengar suara azan. Ia melangkah terhuyung-huyung ke kamar mandi mengambil air wudhu. Ia berusaha melaksanakan shalat dan berzikir. Kemudian, ia kembali berbaring dan baru saja memejamkan mata ketika terdengar ada suara memanggilnya.

"Assalamualaikum, Pak Agus".

Itu suara mang Herman. Pria tua itu perlahan bangkit dari pembaringan, membalas salam mang Herman dengan pelan. Ketika mang Herman melihat lelaki tua itu di balik jendela, mang Herman merasa lega.

"Saya bawakan obat, Pak Agus".

“Duuh. Jadi merepotkan sekali mang, beli di mana obatnya?”... kata pria tua itu dengan suara parau yang hampir tidak terdengar. Ia hampir terjatuh karena tidak ada keseimbangan badan. Ia berpegang pada gorden jendela yang sudah berdebu.

"Di toko obat, Pak Agus. Ada obat demam, berbagai macam vitamin. Penjual obat mengatakan, obat ini yang paling laris sekarang. Minumlah Pak Agus, supaya cepat sembuh. Saya bawakan juga sebungkus nasi dan lauk masakan istri saya. Pak Agus tidak perlu masak, istirahat saja. Semoga segera sembuh Pak Agus, assalamualaikum".

“Terima kasih, semoga Tuhan membalas kebaikanmu mang"...kata pria tua itu setelah membalas salam mang Herman.

Mang Herman menghidupkan mesin motornya. Menengok ke dalam rumah sejenak, kemudian menekan gas motornya, dan berlalu meninggalkan kediaman pak Agus.

Pagi itu, mang Herman buru-buru ingin cepat sampai di rumah pria tua itu membawa sebungkus makanan. Selain itu, mang Herman mau mengabarkan bahwa wabah virus Corona yang berjangkit sekarang sangat berbahaya, ditularkan dari orang ke orang dan sangat cepat, berakibat kematian.

Ketika sampai di depan rumah pria tua itu, mang Herman mengucapkan salam...“Assalamualaikum, Pak Agus"... Salam itu tidak terjawab.

Jendela dan pintu masih tertutup. Ia mengulang lagi salamnya.

"Assalamualikum, Pak Aagguss!" Tetap tidak ada jawaban..

Ia mengulang sampai tiga kali, empat kali, ketika tidak ada jawaban, mang Herman berpikir mungkin lelaki tua itu masih tertidur. Ia mematikan mesin dan turun dari motornya. Ia mau menggantungkan plastik keresek di pintu pagar, makanan yang dibawanya untuk pria tua itu hari ini. Tetapi, ia terhenti, plastik keresek kemarin yang ia gantungkan di bagian dalam pintu pagar itu masih ada pada tempatnya..

Mang Herman mulai menyadari apa yang terjadi. Wabah virus itu! Ia lemas duduk bersandar di pagar, keringat bercucuran pada wajahnya. Setelah tahu apa yang terjadi dengan pak Agus.



~THE~END ~
.