Angin malam bertiup dengan sejuk di Taman Kota Surabaya, namun kehangatan di hati Khanif tak pernah padam. Sudah lima tahun sejak ia pertama kali melihat Amira di panggung sekolah, mengenakan mahkota kertas dan selempang bertuliskan 'Ratu Sekolah'. Bagi Khanif, gelar itu tak pernah pudar, bahkan setelah mereka lulus dan Amira kini sibuk membangun karier sebagai desainer interior.

Amira memang segalanya: cerdas, anggun, dan selalu menjadi pusat perhatian bagaikan ratu tanpa takhta yang sesungguhnya. Ia punya senyum yang bisa menerangi hari tergelap Khanif, dan tawa yang terdengar seperti melodi paling indah. Namun, kecantikannya juga membawa tembok. Khanif, seorang pekerja kantoran biasa, sering merasa terlalu kecil di hadapan Amira yang selalu dikelilingi oleh pria-pria sukses seperti Agus dan Wawan yang punya Kharisma menarik.

Malam itu, Khanif memberanikan diri. Ia membawa sebuah kotak kecil ke Taman Kota, tempat favorit mereka, dan menunggu Amira di bawah lampu jalan yang remang-remang samping kedai mie ayam.

“Maaf, aku terlambat,” kata Amira, napasnya sedikit terengah. Ia mengenakan gaun biru tua yang terlihat mahal, kontras dengan kemeja flanel sederhana milik Khanif.

“Tidak apa-apa,” jawab Khanif, berusaha terdengar santai. Ia menarik napas panjang. “Amira, aku mau kita bicara serius.”

Amira duduk di bangku kayu di samping Khanif, matanya yang indah menatap penuh tanya. “Ada apa, Nif? Kau terdengar tegang.”

“Aku… aku mencintaimu, Amira. Sudah lama sekali."

Khanif berbisik, suaranya tercekat. Ia meletakkan kotak kecil itu di antara mereka... “Aku tahu aku bukan CEO, bukan pemilik perusahaan, dan bukan pria paling kaya yang pernah mendekatimu. Tapi, hatiku sepenuhnya milikmu.”

Hening. Satu menit terasa seperti satu jam. Khanif menunduk, siap menghadapi penolakan yang ia yakini akan datang. Tentu saja, seorang ratu sepertinya pantas mendapatkan raja.

“Nif,” panggil Amira lembut.

Khanif mengangkat wajahnya. Ia melihat air mata berkumpul di sudut mata Amira. "Jangan menangis, Mira. Aku mengerti jika...."

Amira menggeleng cepat. “Bodoh! Kau ini bodoh sekali!” Ia meraih tangan Khanif dan meremasnya erat.

“Kenapa kau selalu melihatku sebagai 'Ratu' yang harus duduk di singgasana megah? Kau tidak pernah melihatku sebagai Amira, wanita yang selalu memesan kopi hitam tanpa gula karena takut gemuk, wanita yang gugup setiap kali presentasi, wanita yang mencarimu setiap kali aku merasa sendirian.”

Khanif terdiam, terkejut.

“Taukah kau,” lanjut Amira, suaranya sedikit bergetar, “semua pria hebat itu, mereka hanya melihat mahkotaku. Mereka melihat koneksi, status, dan potensi. Tapi, kau…”

Amira menunjuk ke dada Khanif... “Kau melihat hatiku. Kau yang selalu mengingat hari ulang tahun kucingku, kau yang menemaniku saat aku sakit dan tidak ada yang tahu. Kau Khanif yang menyukaiku dengan semua kelemahan dan kegilaanku.”

Amira mengambil kotak kecil itu dan membukanya. Di dalamnya, ada sebuah cincin perak sederhana dengan ukiran nama mereka.

“Cincin ini tidak mahal, Mira, aku minta maaf. Aku hanya ingin…”

Amira memotongnya dengan senyum lebar. “Ini lebih berharga dari berlian mana pun. Karena ini dari hatimu.”

Arini menarik napas dan merapikan rambut Khanif yang sedikit berantakan... “Dengarkan aku, Nif. Aku tidak butuh pangeran berkuda putih. Aku tidak butuh istana. Semua yang kucari adalah rumah, dan rumah itu ada di dirimu.”

Ia menatap mata Khanif, senyumnya kini tak hanya indah, tapi juga penuh janji.

“Aku tidak pernah menjadi Ratu untuk pria lain. Tapi, untukmu, Nif…” Amira meraih tangan Khanif dan meletakkan cincin itu di jari manisnya sendiri.

“Aku adalah Ratu Cinta Untukmu.”

Di bawah cahaya rembulan yang kini terasa hangat, Khanif menyadari bahwa mahkota sejati Amira bukanlah mahkota kertas yang ia menangkan, melainkan hati tulus yang baru saja ia dapatkan. Ia bukan mendapatkan seorang Ratu dari dongeng, melainkan wanita impiannya yang memilih untuk menjadi Ratu di kerajaan kecil yang hanya terdiri dari hati mereka berdua.



~ THANK ~ YOU ~