Saya akan kembali meneruskan sambungan dari novel karya Fredy.S ini. Yang mana pada episode sebelumnya diceritakan akhirnya Dewi melarikan diri dari acara pesta ulang tahun Agus. Apa yang ia lakukan karena kedua orang tua Agus yang tak suka kepada Dewi yang memang sudah menjadi seorang Janda. Lalu bagaimanakah kisah selanjutnya berikut cerita dibawah ini.

Sebagai pengingat abaikan cerita ini jika anda sudah pernah membacanya atau terlalu panjang...Namun bacalah dengan santai jika anda menyukainya.




"Kau mau ke mana?" Tegur ibunya sambil menatap tajam anaknya.

"Mau menyusul Dewi."

"Untuk apa?! Untuk apa kau menyusul perempuan itu?!"

Agus tidak menyahut. Langsung saja dia beranjak pergi.

"Agus, tunggu! Kau jangan bikin malu orang, tua!"

Lelaki itu tak perduli teriakan ibunya. Dia berlari lewat pintu belakang menuju garasi. Buru-buru naik ke mobil dan menstatemya. Bagai anak panah lepas dari busurnya, mobil itu meluncur pergi. Nyonya Sulistiawan segera memberi tahu suaminya. Namun lelaki tua itu cuma menarik napas panjang sembari menggeleng-gelengkan kepala, rasanya sudah tak mampu mengatasi kelakuan anaknya.

Mobil yang dikemudikan Agus berhenti di depan rumah Dewi. Lelaki itu langsung melompat turun sembari menghempaskan pintunya. Lalu menuju ke teras rumah dan mengetuk pintunya. Tuty ke luar dari ruang dalam. Gadis itu termangu memandang Agus yang berdiri di ambang pintu dengan mengenakan pakaian stelan jas.

"O, mas Agus."

"Dewi sudah pulang?" tanya Agus terengah-engah.

Tuty tercengang.

"Loh, bukannya mbak Dewi pergi ke rumah mas Agus?"

Agus jadi gelagapan..."Ya, ya, ya. Mungkin dia ke sana."

"Mbak Dewi sudah dua jam yang lalu berangkatnya. Masak belum sampai di rumah mas Agus?"

"Jangan... jangan bilang siapa-siapa kalau aku mencarinya ya?"

Tuty tambah tercengang. Bingung jadinya.

"Aku permisi dulu," Agus bergegas pergi.

Tuty memandang kepergian Agus sambil tetap tercengang. Apa-apaan ini? pikir Tuty kebingungan.

Sementara itu Dewi juga kebingungan. Ke mana dia mencari tempat yang tenang? Dia ingin melepaskan kekalutan pikirannya. Di sepanjang jalan Tujungan perempuan itu mengayunkan langkahnya. Membawa segumpal kepedihan yang mengganjal di lekuk hatinya. Di manakah bisa kutemukan kebahagiaan? ratap hati perempuan itu. Ternyata apa yang kubayangkan jauh meleset dari kenyataan. Ya, kenyataan di mana keluarga mas Agus belum mau menerima kehadiranku di tengah-tengah mereka. Jadi untuk apa aku lebih lama tinggal di Surabaya? Di sini kepedihan hati kian terejah. Dan kalau saja bukan karena hari ulang tahun mas Agus, lebih baik aku tetap tinggal di Jakarta. Dan kalau bukan demi lelaki itu, untuk apa aku pulang? Di mana aku bisa membuang kekalutan dan kepedihan hati ini? Itu saja yang dipikirkan Dewi. Langkahnya terus terayun di sepanjang etalase toko. Manakala dia melewati toko penjual cassette, lagu disco menggoyah perasaannya. Dewi jadi teringat night club. Barangkali di night club kekalutan hati dan perasaannya bisa hilang. Ya, mungkin di sanalah kebahagiaan bisa kudapatkan, walau punya arti semu. Tapi betapa pun semu, lebih baik merasakannya dari pada kepedihan membilas-bilas hatinya. Seorang diri perempuan itu masuk ke night club. Sendiri pula dia menghabiskan minuman keras. Tak tahu apa yang mesti dilakukan di tempat duduk yang tiada teman itu. Namun kepedihan hatinya mulai berkurang. Kenangan sewaktu dia bekerja di night club adalah obat kepedihan itu. Dari lelaki satu ke lelaki lainnya dikenangnya juga, sambil memperhatikan para tamu yang sedang bercanda dengan hostes. Di lantai dansa orang-orang sedang berjingkrak-jingkrak. Berdisco. Melantai. Dan kepala Dewi mulai pusing. Alangkah pahitnya minuman keras ini. Namun lebih pahit yang kualami. Dewi meneguk minuman itu lagi. Tersedak dia. Hampir saja muntah. Tapi dia tetap berusaha tegar. Terus diteguknya minuman keras itu. Dan ini merupakan pertama kali dalam hidupnya mengenal minuman wishky! Seorang laki-laki menghampirinya.

"Sendirian, Sus?" Tegur laki-laki itu sopan. Kepala Dewi mengangguk lemah.

"Boleh saya temani?"

"Biarkan aku sendiri." kata Dewi dengan kepala pusing. Seolah-olah dirasakan seisi gedung itu berputaran.

"Anda sudah nampak mulai mabok."

Dewi tertawa..."Nah, sudah benar-benar mabok kan?"

Lelaki itu menghenyakkan pantatnya di kursi, di sebelah Dewi yang masih tertawa sendiri.

"Kau boleh duduk, tapi jangan ganggu aku."

"Okey." Laki-laki itu tersenyum.

"Namamu Fendy?"

Laki-laki itu tersenyum lagi. Sudah teler, pikirnya. Lalu diamatinya wajah perempuan itu. Cantik. Mirip Meriam Bellina.

"Namaku Viktor. Bukan Fendy," kata laki-laki itu.

"Oooo, kenal sama Fendy?" Dewi meneguk lagi minumannya.

"Tidak."

"Masak tidak kenal Fendy. Dia kan bintang film top saat ini," kata Dewi sambil menggoyanggoyangkan tubuhnya. Seirama alunan musik.

"Ya, aku tahu kalau top star itu yang kau maksudkan. Memangnya kenapa dia?"

"Aku mencintainya. Aku sangat mencintainya," desah Dewi yang tubuhnya kian lemas. Lalu tubuhnya terjatuh di atas meja. Victor jadi ketakutan. Maka dia segera memanggil pelayan untuk menolong perempuan itu. Baru saja dua orang pelayan mengangkat tubuh Dewi, perempuan itu muntah.

"Bawa dia ke luar dari night club ini." Kata Victor.

"Tolong bawa aku ke Jakarta." pinta Dewi dengan suara lemah. Gemetar.

"Tenang, tenang."

Di luar gedung Dewi muntah lagi. Di dalam mobil begitu juga. Victor jadi ketakutan. Sebab wajah Dewi pucat pias. Dan tak henti-hentinya muntah-muntah.

"Sebaiknya bawa dia ke rumah sakit," kata seorang pelayan.

"Nampaknya perempuan ini tidak biasa minum whishky. Kalau tidak segera dibawa ke rumah sakit bisa meninggal."

Victor mengambil dompet dalam sakunya. Dia menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribuan kepada pelayan itu. Lalu dia buru-buru membawa perempuan itu ke rumah sakit dengan mobilnya. Tubuh Dewi yang lemas bagai tak mempunyai daya itu segera dinaikkan ke tempat tidur dorong. Dua orang perawat mendorongnya ke kamar pasien. Victor mengikuti dengan perasaan berdebar-debar. Karena wajah perempuan itu pucat sekali. Bibirnya membiru seperti orang keracunan. Setelah tubuh Dewi terbaring di kamar pasien, seorang dokter datang memeriksanya. Dewi harus diinfus karena cairan dalam perutnya sudah terkuras habis sewaktu dia muntah-muntah tadi. Keadaannya sangat kritis.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Fendy melangkah turun lalu menghempaskan pintu mobil. Rumah itu sepi, pikir Fendy. Jangan-jangan Martinus tidak ada di rumah? Wah, kalau lelaki itu sudah pergi urusannya bisa berabe. Sudah berhari-hari ia tak sabar menunggu tanggal dua puluh, cuma mau numpang menerima interlokal dari Dewi di rumah Martinus. Tapi mobilnya ada kok di garasi, Fendy menarik napas lega. Martinus muncul di pintu. Lelaki itu girang menyambut kedatangan sahabatnya yang sudah sekian lama tak muncul.

"Hallo top star kita, tumben nongol lagi nih?" Sapa Martinus. Dia ke luar sambil menenteng gitar.

"Lagi ada perlu sama kau." Fendy melangkah ke teras.

"Ooo, kalau lagi perlu baru nongol ya?" kecam Martinus ngeledek.

Fendy menghempaskan badan ke kursi..."Aku cuma mau numpang menerima interlokal dari temanku yang ada di Surabaya. Dia janji kalau hari ini jam sepuluh mau interlokal aku."

Martinus menarik kursi rotan di dekat Fendy. Dia duduk sambil termangu memandang sahabatnya itu.

"Nggak salah yang barusan lu katakan?" Tanya Martinus mengernyitkan dahi.

"Nggak, aku serius."

"Di rumah lu kan ada telpon."

"Lagi kepingin numpang di rumah lu."

Martinus tertawa..."Wuaaaah, ngeledek nih?"

"Kalau nggak percaya lihat saja nanti."

Fendy mengambil rokok di dalam sakunya. Lalu disodorkan pada Martinus. Martinus ambil sebatang. Fendy juga ambil sebatang. Keduanya berbareng menyulut rokok itu.

"Mau minum teh apa kopi?" tanya Martinus.

"Kopi."

Martinus memanggil pembantu rumahnya. Dia menyuruh pembantu itu membuatkan dua gelas kopi.

"Punya kenalan baru di Surabaya ya?"

"He'eh."

"Cewek?"

"He'eh."

"Cantik?"

"He'eh."

"Waah, happy dong?"

"Begitulah."

Seorang perempuan berusia setengah baya mengantarkan dua cangkir kopi. Dua cangkir kopi itu ditaruh di atas meja yang dihadapi Fendy dan Martinus. Lalu perempuan itu kembali masuk ke dalam rumah.

"Sudah lama kenal dengan cewek itu?"

"Sebulan."

"Masih baru dong."

Fendy mengangguk.

"Barang baru memang mengasyikkan. Sudah pernah dicoba?"

"Apanya?"

"Businya. Tokcer nggak?"

Fendy tertawa.

"Mau tau aja lu?"

"Nggak lu kasi tahu, gua udah tahu kelakuan lu. Bejaaaat!" ujar Martinus sembari tertawa ngakak.

"Bagaimana kabar cewek lu?"

"Siapa?"

"Yuli"

"Sudah putus."

"Kenapa putus?"

"Gara-gara dia pindah kuliah ke Jogya."

"Kalau orang benar-benar sudah cinta, walau pindah ke luar negeri sekalipun ya tetap cinta. Apalagi cuma pindah ke Jogya. Berarti Yuli itu tidak sepenuh hati mencintaimu."

"Mungkin dia terpengaruh oleh orang tua nya."

"Terpengaruh apa?"

"Di Jogya dia punya kenalan seorang dokter. Sering berkunjung ke rumahnya. Setiap malam Minggu apel. Lama-lama dia jadi lupa sama gua."

"Itulah resikonya kalau punya cewek pindah ke kota lain. Apalagi lu punya saingan berat. Dokter."

"Tapi gua sekarang sudah dapat penggantinya kok."

"Syukurlah. Masih tetap cantik penggantinya?"

"Kalah sih kalau dibandingkan sama Yuli. Sengaja aku pilih yang sederhana saja. Soalnya kalau punya pacar cantik bikin kepala pusing. Di hatiku isinya cuma cemburu melulu."

Fendy terkekeh. Lalu dia meneguk kopi yang masih hangat itu. Begitu pula Martinus.

"Jam berapa cewek lu mau interlokal?"

Fendy melihat jarum jam tangannya..."Jam sepuluh."

"Sekarang jam berapa?"

"Jam sepuluh lebih lima menit."

"Sudah lewat dong!"

"Biar aku tunggu sampai jam dua belas. Barangkali dia ada kesibukan lain."

"Oya, siapa nama cewek lu?"

"Dewi."

"Ow, pasti orangnya seperti Dewi khayangan cantiknya."

Fendy cuma senyum-senyum. Sementara jantungnya berdebar-debar. Lamban sekali rasanya waktu ini bergeser. Dan keresahan mulai menggerogoti hatinya, lantaran sudah lewat satu jam Dewi belum juga interlokal. Tiba-tiba telpon di ruang tamu berdering. Martinus bergegas bangkit dan masuk ke ruang tamu. Degup jantung Fendy makin kencang. Pasti dia yang sedang interlokal. Ya, pasti dia. Tapi Martinus memanggil adiknya. O, berarti bukan Dewi. Dan Fendy menarik napas panjang. Martinus duduk lagi di kursi bersebelahan dengan Fendy. Matahari sudah memancarkan sinarnya yang terik.

"Ternyata bukan yang kau tunggu," kata Martinus.

Fendy cuma mendesah..."Sepertinya penting sekali interlokal dari cewekmu itu?"

"Begitulah. Karena dia janji mau datang ke Jakarta."

"Oooo. Kalau dia jadi ke Jakarta, kenalin aku dong."

"Pasti."

"Dia punya famili di sini?"

"Tidak."

"Jadi mau tinggal di mana?"

"Indekost. Dulu dia memang pernah kost di Utan Kayu."

"Kapan?"

"Sebulan dia sudah tinggal di Jakarta. Di tempat kostnya itu."

"Kalau begitu kalian sudah berbulan madu ya?"

Fendy tertawa.

Berdering lagi suara telpon. Martinus buruburu masuk ke ruang tamu..."Inilah orang yang sedang ditunggu top star kita." Ujar Martinus sambil mengangkat gagang telpon.

"Hallo?"

"Ingin bicara sama nyonya Lila ada?"

"Ada. Sebentar ya?"

Martinus meletakkan gagang telpon di meja. Lalu dia memanggil ibunya. Nyonya Lila tergesa-gesa menghampiri telpon, sedangkan Martinus kembali ke teras.

"Belum juga masuk interlokalnya." kata Martinus sambil menghenyakkan pantatnya di kursi.

Fendy melihat jarum jam tangannya lagi. Sudah jam satu siang. Ah, kenapa Dewi belum juga menelpon? Apakah dia mengalami hal yang tidak diinginkan? Seperti apa yang dulu pernah dikatakan sebelum berangkat? Atau barangkali dia sakit? Pertanyaan itu memenuhi benaknya. Membuat perasaannya jadi gelisah. Sementara pekerjaan menunggu adalah pekerjaan yang paling menyiksa dan menjemukan. Duduk tak enak, berdiripun salah. Padahal pantatnya sudah pegal. Sudah linu duduk menunggu selama lima jam.

"Barangkali Dewi cuma membohongimu?" Kata Martinus.

Serasa disembelih hati Fendy..."Tidak mungkin. Dia tidak mungkin seburuk itu."

"Buktinya dia sampai sekarang belum interlokal juga."

Fendy termenung sesaat. Timbul keinginannya untuk minta keterangan pada Tika atau Resti..."Kalau begitu aku mau ke tempat kostnya saja. Barangkali teman dekatnya yang ada di sana bisa memberi sedikit banyak keterangan. Aku khawatir terjadi apa-apa pada dirinya."

"Jadi tidak perlu ditunggu lagi interlokalnya?" Fendy menggeleng lesu.

"Cuma kalau misalnya dia interlokal, beri tahu kalau aku sudah menunggunya lebih dari lima jam di sini." Fendy bangkit.

"Baik."

"Terima kasih, Martin. Sampai ketemu lagi."

"Daaa."

Fendy naik ke dalam mobil. Hatinya makin rusuh. Rusuh yang bercampur dengan jengkel. Benarkah Dewi sengaja mau mempermainkan aku? Dia yang dulu berjanji, tapi dia juga yang tidak menepatinya. Lima jam cukup lama menunggu. Lima jam cukup meletihkan hanya untuk menunggu interlokal. Sialan! umpat dalam hatinya sembari meluncurkan mobilnya. Menerobos teriknya sinar matahari yang memanggang bumi. Menyalip beberapa mobil yang jalannya searah. Ingin rasanya cepat sampai di tempat kost Dewi. Setibanya di tempat kost, Fendy disambut oleh Resti. Mereka duduk di kursi tamu. Rumah itu nampak sepi karena penghuninya sedang ke luar. Ada yang sedang bekerja. Ada yang sedang berbelanja di super market. "Bagaimana kabarmu, Resti? Jadi pulang ke Surabaya?"

"Mungkin lusa aku akan pulang ke Surabaya."

"Maukah kau menolong aku?"

"Apa?"

"Beri tahu kabarnya Dewi, apa yang telah terjadi pada dirinya. Karena dia telah berjanji mau interlokal aku hari ini, ternyata interlokalnya yang kutunggu tidak jua masuk."

Resti tersenyum. Senyum itu seperti menyembunyikan sesuatu, sehingga Fendy jadi curiga.

"Kenapa tersenyum, Res?"

"Dia bilang pulang ke Surabaya berapa hari?"

"Seminggu. Cuma mau menghadiri pesta ulang tahun anaknya."

Resti menutup bibirnya dengan telapak tangan. Berusaha menahan tawanya.

"Ada yang lucu?"

"Kau cuma dibohongi."

"Dibohongi? Ah, tidak mungkin."

"Yang ulang tahun ini bukan anaknya, melain kan pacarnya. Malahan pesta ulang tahun itu sekaligus pertunangannya dengan Agus."

Fendy terhenyak di tempat duduknya. Seperti kambing congek yang cuma bisanya termangu.

"Mas Fendy jangan terlalu berharap, nanti akan mengalami rasa kecewa yang berat. Dewi pergi ke Jakarta dan bekerja di night club cuma pelariannya saja. Sama halnya menjalin hubungan dengan mas Fendy."

Fendy menarik pantanya lebih ke depan. Duduknya jadi di pinggir kursi itu. Dia ingin mengetahui kehidupan Dewi. Ya, barangkali dari Resti dia akan mengetahui latar belakang kehidupan perempuan itu.

"Ceritakanlah kepadaku, apa yang kau ketahui tentang Dewi. Aku mohon kepadamu, Resti. Ceritakanlah," Pinta lelaki itu berharap sekali.

Resti menarik napas panjang. Berat juga rasanya dia mau menceritakan kehidupan temannya itu..."Bagaimana ya?" Resti nampak ragu-ragu.

"Tak perlu sungkan-sungkan. Sama halnya kau menolongku kalau mau menceritakan tentang Dewi. Ceritakanlah, Resti. Ayo." desak Fendy sudah tak sabar lagi.

"Aku kenal Dewi semenjak di SMA. Tapi aku tahu persis kehidupannya yang pahit. Setelah dia lulus dari SMP menikah dengan Setiawan karena sudah mengandung duluan. Namun cuma dua tahun pernikahannya dengan Setiawan. Karena diantara mereka tidak ada kecocokan pendapat. Yah, bisa dimaklumi karena setelah Dewi melahirkan anaknya, dia meneruskan sekolah di bangku SMA. Begitu pula Setiawan. Mereka yang belum matang menjalani hidup berumah tangga itu akhirnya bercerai."

Fendy menyalakan sebatang rokok..."Terus?"

"Terus dia terpikat dengan salah seorang laki laki yang bernama David. Lelaki itu sudah punya istri. Hidupnya kaya karena mendapat peninggalan harta benda dari ayahnya. Entah berapa banyak dia punya mobil tangki minyak. Pokoknya kaya deh. Lalu antara Dewi dan David saling jatuh cinta. David mengajak Dewi hidup berumah tangga. Namun Dewi bersedia menikah, asalkan David mau menceraikan istrinya. Cinta yang terlalu menggebu memang kadang-kadang bisa menghancurkan diri sendiri. Itu terbukti setelah David manceraikan istrinya dan menikah dengan Dewi, hidupnya mengalami ketimpangan. Cara hidup Dewi yang suka berfoya-foya lambat laun menghabiskan kekayaan David."

"Jadi Dewi sudah menjalani pernikahan yang kedua kali?"

"Ya. Dua kali dia gagal karena hidupnya yang suka bersenang-senang. Berfoya-foya. Dan yang paling menyedihkan adalah nasib David. Setelah lelaki itu jatuh miskin, diusir oleh orang tuanya. Semua saudaranya tak mau melihatnya lagi hidup bersama Dewi. Lalu David mengajak Dewi pindah ke Karawang. Di sana mereka menumpang di rumah tantenya David. Sebulan kemudian mereka dapat mengontrak rumah yang sederhana setelah David mendapat borongan membuat patung monumen. David seorang seniman patung dan pemahat. Karena pekerjaan David tidak dapat ditentukan penghasilannya sebagai seniman, maka Dewi membantu mencari nafkah. Dia bekerja di sebuah pabrik tekstil."

Resti menghentikan pembicaraannya. Menarik napas panjang.

Fendy juga menarik napas panjang. Tidak menyangka kalau latar belakang kehidupan Dewi begitu buruk.

"Dewi memang cantik. Itulah kelebihannya, sehingga di manapun dia berada selalu disukai lelaki. Sampai suatu ketika dia terkecoh hatinya pada manager pabrik itu. Secara sembunyi sembunyi dia berbuat serong dengan manager itu. Aku sendiri heran, kenapa sifat Dewi selalu suka bersenang-senang. Berfoya-foya. Mungkin itulah kepuasan batin yang didapat. Dengan manager itu, dia hidup bersenang-senang. Sampai akhirnya diketahui oleh istri manager itu. David pun akhirnya tahu. Percecokan tak dapat lagi dihindarkan. Dewi akhirnya diberhentikan dari pekerjaan oleh pimpinan karena istri manager itu mengadu. Dan David pun tidak tinggal diam, dia mengusir Dewi dari rumahnya."

"Dewi sudah dicerai oleh David?"

"Belum. Sampai sekarang Dewi belum secara resmi diceraikan oleh lelaki itu."

"Darimana kau tahu?"

"Belum lama ini aku bersama Dewi ke rumah David. Lelaki itu nampak begitu dendam dan benci melihat kedatangan Dewi."

"Kalian ke sana untuk apa?"

"Dewi minta bercerai secara resmi dengan David. Karena dia mau menikah lagi dengan Agus. Tapi David memberi waktu seminggu lagi."

"Oooh, Tuhan." Fendy mengeluh.

"Terserah apa penilaian mas Fendy. Aku menceritakan apa adanya."

"Kalau tahu begini, lebih baik aku mundur secara baik-baik."

"Jangan terburu-buru mengambil keputusan begitu, Mas."

"Karena selama ini dia mendustaiku." Fendy nampak kesal.

"Yah, mungkin dia takut kehilangan mas Fendy. Karena dia juga masih menyangsikan apakah orang tua mas Agus sudah benar-benar merestuinya. Selama Agus menjalin hubungan dengan Dewi, kedua orang tua mas Agus belum mengetahui status Dewi yang sebenarnya. Belum tahu kalau Dewi seorang janda dan punya anak satu."

Fendy jadi merenung. Hatinya seperti diiris-iris..

"Menurut saranku, jangan putuskan dulu hubungan mas Fendy dengan Dewi. Kasihan dia, Mas. Siapa tahu dia akan kembali lagi ke Jakarta hanya untuk mas Fendy," kata Resti.

"Akan kupertimbangkan lagi. Tolonglah kirim surat padaku setelah kau tahu apa yang terjadi pada Dewi. Jadi aku tidak terlalu mengharapkan Dewi lagi."

"Tentu."

Fendy bangkit..."Aku pulang, Resti. Terima kasih atas kesediaanmu menceritakan tentang Dewi." Fendy melangkah ke pintu. Resti mengantarkan sampai di teras.

"Sampai jumpa lagi, Mas."

"Salamku buat Dewi ya?" Resti mengangguk.

Pembohong! Penipu! rutuk di dalam hati Fendy sambil meluncurkan mobilnya. Tak kusangka kalau yang namanya Dewi itu cuma mau mempermainkan aku! Mempermainkan aktor top yang tidak sulit untuk mencari cewek yang cantik. Tapi kenapa kenyataannya gampang dipermainkan? Cuma buat pelarian saja? Ah, orang kalau sudah mabok cinta itu sering jadi bodoh. Gampang dikibulin. Sialan! Fendy memukul stir mobil. Takkan kukenal lagi orang yang namanya Dewi itu! Persetan dengan dia! Persetaaaaan! Sakit sekali hati ini. Itu yang dialami Fendy setelah merasa dibohongi Dewi. Selama hidupnya belum pernah dia mengalami hial itu. Dan cuma perempuan yang namanya Dewi sampai hati berbuat begitu. Membuat Fendy merasa paling sial jadi lelaki. Kendati begitu, gejolak cinta masih ada di dalam dada. Tidak berubah secuil pun. Namun sepanjang hari dia jadi pemurung. Sering melamun. Menyebabkan istrinya jadi resah. Sejak lelaki itu pulang dari tempat kost Dewi dan mendengar cerita Resti, selalu menjadi perhatian istrinya. Sikapnya banyak benar berubah. Sampai pada suatu malam, Yeti mendekati suaminya yang sedang berbaring di atas tempat tidur.

"Papa kelihatan sedih. Kenapa,Pa?" tanya Yeti sambil mengusap-usap bahu suaminya.

Fendy menatap wajah Yeti. Wajah yang selalu menyimpan keteduhan. Kesetiaan.

"Kemarin papa ke tempat kost Dewi," kata Fendy.

"Ketemu dengan Dewi?" Wajah Yeti berseri-seri.

"Tidak."

"Jadi ketemu siapa?"

"Resti."

"Dewi sudah kembali ke Jakarta lagi?"

Kedua mata Fendy jadi berkaca-kaca. Yeti jadi terheran menatap kedua mata suaminya itu. Lebih heran lagi manakala suaminya memeluknya.

"Mama ...." suara Fendy meiatap. Mendekap erat tubuh istrinya.

"Kenapa, Pa?" tanya Yeti lunak. Seperti seorang ibu yang bertanya kepada anaknya yang dilanda kesedihan.

"Dewi akan melangsungkan pertunangan dengan laki-laki lain."

"Darimana papa tahu hal itu?"

"Resti yang bercerita."

Perempuan itu membelai rambut suaminya penuh kasih sayang.

"Papa jangan mudah percaya sama Resti. Siapa tahu dia menaruh sentimen pribadi atau iri hati terhadap Dewi. Itu bisa saja kan, Pa?"

Fendy melepaskan pelukannya di tubuh perempuan itu. Lalu berbaring di pangkuan istrinya. Bermanja sekali seperti terhadap ibunya. Sedang Yeti terus saja membelai rambut Fendy. Layaknya perempuan itu sedang mengasihi putranya yang sedang kehilangan mainannya. Mainan yang paling dia sukai.

"Coba saja, kalau dulu papa mau berterus terang sama mama, tak mungkin akan kehilangan Dewi. Mama bisa mohon pengertiannya. Dan kalaunmama berbicara terus terang padanya, masak sebagai wanita tidak sampai terketuk hatinya? Dia pasti akan mau menerima kehadiran papa dalam hidupnya," tutur Yeti dengan setulus hatinya. Bagai seorang ibu yang ingin melamar kan anaknya pada gadis yang dicintai.

Fendy tak bisa berkata apa-apa. Ditatap wajah istrinya yang tertunduk menghadapnya. Terlihat ada senyum di bibir perempuan itu. Senyum yang menyejukan hati Fendy. Sorot matanya begitu lunak dan penuh kesetiaan. Oh, selama ini aku memang mendustainya. Tidak mau berterus-terang. Aku mengatakan kalau Dewi sudah pulang ke Surabaya, ternyata aku dan Dewi masih menjalin hubungan cinta di Jakarta. Terkutukkah aku? Oh Tuhan, ampunilah dosa hamba yang selama ini mendustai istriku yang begini mulianya kata hati lelaki itu.

"Mama tahu kalau selama ini papa selalu memikirkan Dewi. Jangan ragu-ragu, Pa. Mama sebisa mungkin akan membantu papa supaya bisa tercapai apa yang diinginkan papa."

"Mungkinkah papa belum terlambat, Ma?"

"Mama kira belum, Pa. Apakah papa sudah memperoleh alamat rumah Dewi di Surabaya?"

"Belum."

"Kenapa papa kemarin tidak minta alamat pada Resti?"

"Papa lupa," kata Fendy berdusta. Nyeri lagi perasaannya setiap kali dia berdusta pada istrinya.

"Kalau sudah tahu alamatnya, sebenarnya mama ingin mengirim surat padanya."

"Jangan," Desah Fendy.

"Kenapa jangan? Mama ikut sedih kalau melihat papa selalu murung dan melamun. Mama ingin sekali bisa membahagiakan hidup papa. Karena mama sudah merasa tidak mampu lagi."

Hati lelaki itu terasa semakin diiris-iris dengan sembilu mendengar ucapan istrinya. Maka didekapnya perut perempuan itu, dan dibenamkan mukanya di situ. Ingin rasanya dia berteriak. Ingin rasanya dia menjerit. Kenapa istrinya yang berhati mulia ini menderita penyakit kanker? Kenapa? Padahal dalam hati kecilnya tak ingin ia mencari perempuan lain dalam hidupnya. Selain Yeti yang senantiasa setia di dalam suka dan duka.

"Mama percaya pada pilihan papa. Dewi perempuan baik-baik dan bisa membahagiakan hidup papa, dan bisa diajak menjalin persaudaraan dengan mama. Karena itulah mama rela dan mengizinkan papa menikah dengannya."

Oh, mama. Kau tidak tahu siapa sebenarnya Dewi. Karena selama ini aku tidak pernah menceritakan apa-apa kepadamu. Dan aku selalu menceritakan yang baik-baiknya saja. Andaikan mama tahu yang sebenarnya, mama akan meragukan pilihan papa itu..."Sudahlah, Ma. Sebaiknya kita lupakan saja Dewi."

Yeti tersenyum. Senyum itu seperti mengetahui apa yang tersembunyi di dalam perasaan suaminya. Tak mungkin suaminya dapat melupakan perempuan itu. Namun dia tak ingin menyakiti perasaan suaminya..."Bagaimana kalau sore ini kita nonton, Pa? Mungkin kesedihan papa bisa sedikit berkurang?" Ajak Yeti.

"Anak-anak bagaimana?"

"Kita ajak sekalian. Bertepatan ada film komedi "Gepeng Membayar Kontan", jadi mereka bisa ikut menonton. Mau ya, Pa?"

Fendy mengangguk..."Papa cium dulu," rengek Fendy.

Yeti tersenyum senang. Lalu dia mencium pipi suaminya penuh kasih sayang.

"Ininya," kata Fendy.

"Papa kok jadi manja begini sih?" balas Yeti sambil mencubit lengan suaminya.

"Ayo, Ma."

Yeti segera melumat bibir suaminya. Fendy membalas dengan isapan hangat. Lalu keduanya jatuh berbaring di atas tempat tidur. Saling ber ciuman. Cuma sampai pada batas ciuman saja. Itupun sudah membahagiakan hidup Yeti. Sore itu Fendy sedang bercanda dengan kedua anaknya di taman dekat kolam renang. Yeti mengawasi dari kejauhan. Dan sejak pulang dari nonton film kemarin, Fendy jadi berubah ceria. Dia membenci kemurungannya sekarang. Maka bila kemurungan itu mau menggeluti hatinya, buru-buru ia mengajak kedua anaknya bercanda. Dia sudah berusaha agar bisa melupakan Dewi. Rasa sakit di hatinya masih belum hilang. Sakit hati karena dibohongi perempuan itu. Tapi di saat Fendy sedang bercanda, ia kedatangan Martinus. Lelaki itu diantar Yeti ke taman.

"Waduuuh, lagi berhappy nih?" tegur Martinus mendekati Fendy.

"Hallo sobat. Angin sore apa yang.membawamu ke mari?"

"Angin dari Surabaya," kata Martinus begitu sudah dekat Fendy.

"Hush, jangan keras-keras. Bisa ketahuan bini gua." sahut Fendy sambil menarik lengan Martinus.

Mereka duduk di kursi malas. Dino dan Ria berhambur pergi mendekati ibunya. Lalu mereka masuk ke dalam rumah.

"Bini lu belum tahu?"

"Sudah."

"He? Sudah tahu?"

"Ya. Dia pernah bertemu Dewi di tempat kostnya."

"Wah, berantakan dong?"

"Nggak. Malahan dia setuju kalau aku nikah sama dia."

"Ada-ada saja kau ini. Mana ada seorang istri mengizinkan suaminya nikah lagi sama perempuan lain," kecam Martinus sembari terkekeh.

"Ini tidak mengada-ada. Sungguh, Martin."

"Apa dunia ini sudah mau kiamat?"

"Monyong lu ah'" gerutu Fendy..."Dikasi tahu nggak percaya."

"Okey, okey. Terus kau sudah ketemu sama dia?"

"Belum."

"Jangan bohong," ledek Martinus sambil menunjuk muka Fendy. Bibir lelaki itu cengar cengir. Lucu juga mukanya. Membuat Fendy ingin tertawa.

"Lu bandel ya? Dikasi tahu nggak percaya."

"Soalnya kemarin dia telpon ke rumah. Aku yang menerimanya. Wuaaah, suaranya lembut dan merdu. Persis suara lin Parlinanya Bimbo."

Fendy terperangah... "Dari mana dia menelpon?"

"Di Jakarta."

"Bohong. Lu mau ngajak bercanda gua ya?"

"Ya ampuuun, monyong. Gua ini ngomong sungguhan, nyong! Kalau lu kagak percaya, sekarang juga kita ke sana."

Fendy terdiam. Dia menimbang-nimbang.perlukah dia ke sana? Sementara gejolak kerinduan yang nyaris padam tiba-tiba jadi membara. Melonjak-lonjak dalam dadanya.

"Bagaimana? Ayo kita buktikan?" tantang Martinus. "Gua juga ikut penasaran nih. Ingin tahu bagaimana sih cantiknya pujaan hatimu itu?"

"Okey, kita ke sana sekarang," ajak Fendy

karena sudah tak kuasa lagi membendung kerinduannya. Fendy masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Martinus bercanda dengan Dino dan Ria di ruang tamu.

"Papa mau ke mana?" tanya Yeti memperhatikan suaminya yang sedang berdandan di depan kaca.

"Mau ke rumah teman sama Martinus. Ada urusan pekerjaan."

"Tapi nanti malam pulang kan?"

"O, tentu." Fendy mencium pipi istrinya.

"Papa pergi, Ma."

Perempuan itu mengangguk. Mengiringi suaminya sampai ke teras.

"Papa tidak bawa mobil sendiri?"

"Tidak. Enakan numpang mobilnya Martinus."

Martinus cengegesan..."Mari, Mbak." Martinus berpamitan.


"Mari, mari."

"Oom Tinus sering main ke mari ya?" kata Dino.

"Beres!" sahut Martinus sudah berada di dalam mobil. Fendy melambaikan tangan ketika mobil yang dikemudikan Martinus meluncur. Yeti dan kedua anaknya membalas lambaian itu.

"Istrimu itu sudah cantik, anggun dan mempesona. Tapi lu masih saja mau cari perempuan lain," kata Martinus ngeledek.

"Lu bisa ngomong begitu, tapi nanti kalau lu sudah hidup berumah tangga kira-kira dua tahun, lu bakal kayak gua. Ngerti? Mana ada sih orang yang tidak bosan makan sayur bayam terus? Sesekali boleh dong ganti makanan."

"Pintar, pintar. Otak lu sedari dulu memang encer." Martinus tertawa. Mobil yang mereka tumpangi meluncur di jalan Utan Kayu.

"Itu tempat kostnya,"' kata Fendy sambil menunjuk sebuah rumah. Martinus menghentikan mobilnya di depan rumah itu.

"Kau tunggu dulu di sini," lanjut Fendy seraya membuka pintu mobil.

"Wah, takut gua rebut ya?"

"Bukan begitu, Nyong! Kalau dia memang ada, baru gua suruh lu turun."

"Okey, Boss."

Dengan dada berdebar-debar, Fendy memijakkan kakinya di halaman rumah itu. Bagai tawon penghuni rumah itu berhambur ke luar begitu melihat yang datang top star.

"Selamat malam," sapa Fendy ramah.

"Malam," sahut seorang perempuan di situ.

"Dewi ada?"

"O, Dewinya pergi."

"Ng... Tika ada?"

Belum sampai dipanggil, Tika sudah ke luar dari kamarnya..."Hay, mas Fendy." Tika menghampiri Fendy yang masih berdiri di ambang pintu. Perempuan-perempuan penghuni rumah itu menjauh dan masuk ke kamarnya masing-masing.

"Dewi sudah datang dari Surabaya?" tanya Fendy.

"Sudah. Tapi sekarang dia sedang pergi ke luar."

Meledak kegembiraan di hati Fendy. Ternyata ucapan Martinus tidak berbohong. Membuat Fendy menjadi tersenyum ceria..."Ke mana ya?"

"0, kurang tahu. Nanti saja kalau mau ketemu di night club."

Fendy terdiam sesaat. Berdiri seperti patung. Dewi masih tetap bekerja di night club? Kalau begitu apa yang diceritakan Resti tidak benar. Kalau dia memang benar-benar sudah bertunangan, mana mungkin calon suaminya mengizinkan Dewi pergi ke Jakarta lagi.

"Baik deh. Tolong beri tahu Dewi kalau nanti malam aku akan menemuinya di night club."

Tika mengangguk.

"Yuk, Tika. Terima kasih ya," ucap Fendy sambil melangkah pergi. Martinus yang sejak tadi memperhatikan dari dalam mobil, menyambut Fendy dengan senyuman. Fendy duduk di sebelahnya.

"Bagaimana?" tanya Martinus.

"Dewi memang sudah datang. Tapi sekarang dia sedang pergi."

"Benar kan? Lu kayaknya nggak percaya banget ame omongan gua."

"Ya, ya, ya. Gua sekarang percaya dah."

Martinus meluncurkan mobilnya. "Ke mana kita sekarang?"

"Nonton film. Di mana ada film bagus yang diputar di gedung bioskop?"

"Jayakarta theatre."

"Okey kita ke sana."

"Eh, ngomong-ngomong kenapa tak kau comot saja salah satu perempuan di tempat kost itu?"

"Enak aja main comot. Emangnya mereka barang comotan?"

"Cantik-cantik orangnya."

"Tapi masih kalah sama pilihan gua dong."

"Awas kalau lebih jelek dari mereka."

"Buktikan saja nanti."

"Nanti kita mau balik ke sana lagi?"

"Sudahlah, pokoknya kau nurut apa yang kukatakan. Malam ini kita bersenang-senang."

Memang benar. Malam itu Martinus senang, tapi juga bingung. Apa maunya lelaki ini? pikir Martinus. Nonton film dua kali di gedung bioskop yang berlainan. Pertama nonton film nasional, kemudian nonton film barat. Ke luar dari gedung bioskop sudah jam sembilan malam.

"Mau nonton lagi?" tantang Martinus sambil tertawa.

"Capai. Kita menemui Dewi sekarang," ajak Fendy setelah mereka ada di dalam mobil.

"Ditempat kost itu lagi?"

"Tidak."

Martinus meluncurkan mobilnya..."Di mana?"

"Pokoknya ikuti saja petunjuk jaianku."

Martinus jadi seperti sopir pribadi yang baru sehari tinggal di Jakarta. Setiap Fendy bilang belok, maka dia membelokkan mobilnya. Sampai akhirnya berhenti di depan hotel Gajah Mada "He, mau ngapain di sini?" tanya Martinus termangu-mangu.

"Ayo, turun. Jangan banyak tanya."

"Okey boss."

Mereka turun dari mobil..."Pokoknya malam ini kita bersenangsenang." Fendy menarik lengan Martinus memasuki hotel Gajah Mada. Mereka naik lift.

"Mau ke night club ya?"

"Senang kan kau ke night club?"

"Senang buanget."

"Makanya nurut saja ya?"

"Ya, pak guru."

"Sialan!"

Pintu lift terbuka. Fendy dan Martinus berjalan menuju ke pintu night club.

"Katanya mau menemui Dewi kok malah ke mari?" gumam Martinus.

"Tenang saja. Ayo masuk."

Mereka masuk ke ruang night club. Lalu terus menuju ke ruang pamer di mana para hostes duduk berjejer. Dari luar ruang kaca tersebut, Fendy mengedarkan pandang. Mencari-cari Dewi. Dan akhirnya pandangan lelaki itu singgah pada seorang perempuan cantik. Di sebelahnya duduk Tika. Oh, perempuan itu nampak agak kurus. Pipinya agak cekung. Dan mata perempuan itu kelihatan begitu murung. Fendy segera memberi tahu petugas yang melayani para tamu membooking hostes. Fendy menginginkan Dewi. Petugas itu manggut-manggut Lalu Fendy mendekati Martinus.

"Coba pilih mana yang kau sukai," kata Fendy.

"Yang itu. Yang itu," sahut Martinus sambil menunjuk seorang perempuan yang mengenakan kemeja merah bergaris-garis putih. Rok bawahannya berwarna coklat kopi susu. Dan nampaknya Martinus tak sabar lagi, karena takut dibooking orang duluan. "Waduuh cantiknya nggak ketulungan, Fen. Cepat beri tahu petugas itu untuk memanggilnya."

"Eiit, tunggu dulu. Jangan yang itu, yang lainnya saja."

"Kenapa?"

"Itu sudah kupilih."

"Sialan kalah cepat," gerutu Martinus. "Baik deh yang itu saja."

"Beri tahu sama petugas."

Martinus mendekati petugas itu. Diajaknya petugas itu berbincang-bincang. Sedangkan Fendy terus mengamati Dewi yang duduk di ruang kaca. Hatinya sangat perih menyaksikan Dewi dipajang seperti boneka cantik di etalase toko. Sekalipun tidak sendiri, namun perasaan Fendy mengatakan cuma Dewi seorang yang ada di situ. Ya, lantaran yang diperhatikan cuma perempuan itu. Ya, lantaran dia telah sekian lama menahan rindu. Dan dia sangat mencintai perempuan itu. Fendy terus mengamati Dewi dengan perasaan perih. Hatinya sungguh tak rela melihat Dewi dipajang di ruang kaca itu. Sementara itu tanpa disadari oleh Fendy, ternyata di sekelilingnya sudah berdiri penggemarnya. Baik itu para tamu night club ataupun para hostes di situ. Martinus segera mencolek lengan Fendy.

"Tunggu apa lagi?" tegur Martinus.

Fendy tersentak. Begitu dia menoleh, beberapa penggemarnya menyapa. Fendy membalas dengan ramah. Maka dia buru-buru memberi kode petugas untuk memanggilkan Dewi. Kemudian Dewi berdiri. Seorang hostes lainnya ikut berdiri begitu namanya dipanggil. Kedua perempuan itu berjalan ke luar dari ruang kaca itu melalui pintu. Sementara Fendy dan Martinus sudah berdiri menyambutnya.

"Papa?" sapa Dewi nyaris menjerit begitu melihat Fendy yang membookingnya. Lalu dia memukuli bahu lelaki itu sambil berjalan ke ruang night club. Pukulan tangannya tidak terlalu keras, tapi gemas dan gundah perasaannya.

"Kenapa papa datang ke mari? Kenapa?"

Fendy tidak menghiraukan lagi Martinus. Dia menggandeng lengan Dewi menuju ke tempat duduk di sudut ruang. Lalu mereka duduk berdampingan. Musik yang dimainkan group band mengiringi penyanyi wanita. Lagunya lembut sekali.

"Kapan kau tiba di Jakarta?" tanya Fendy sambil memperhatikan lengan Dewi yang kelihatan kurus.

"Sudah seminggu yang lalu."

"Kenapa kau tidak jadi interlokal aku?"

"Pada saat itu aku masih dirawat di rumah sakit."

"Kau tidak berbohong?"

Perempuan itu menggelengkan kepalanya... "Mas Fendy sudah tahu keadaan Dewi yang sebenarnya bukan?" suara perempuan itu parau. Fendy menarik napas panjang. Dipegangnya jari tangan Dewi yang berubah kurus itu. Lalu diremas-remasnya.

"Biarlah Dewi akan menempuh jalan hidup sendiri. Karena Dewi merasa tidak pantas untuk mendampingi mas Fendy." Setitik air mata jatuh perlahan membasahi pipi perempuan itu. Pedih sekali hatinya, bila teringat kejadian yang dialami. Tiga hari dirawat di rumah sakit karena menghabiskan sebotol wishky. Tak seorang pun dari keluarganya yang sudi menjenguknya. Selain Agus dan David.

"Dewi, betapa buruknya masa lalumu bukan menjadi penghalang bagiku. Tapi selama kau tinggal di Jakarta dan bekerja di sini, hati kecilku tidak rela. Soal kau mau memutuskan hubungan kita, aku tidak bisa memaksamu. Dulu kita pertama kenal baik, dan kalau hubungan kita putus harus secara baik-baik pula," kata Fendy lunak.

Jari tangan perempuan itu gemetar. Fendy menggenggamnya erat agar jari tangan itu tidak gemetar. Wajah perempuan itu tertunduk menyembunyikan tangisnya.

"Benarkah kau menghendaki hubungan kita sampai di sini?"

Dewi tidak menjawab. Dia menyeka air matanya dengan sapu tangan.

"Jawablah, Dewi?"

"Terserah pada mas Fendy," desah perempuan itu.

"Kau banyak berubah sekarang."

"Dewi tidak merasa berubah. Dewi tetap Dewi yang dulu."

"Begitupun mas Fendy. Mas Fendy masih seperti yang dulu, menunggumu sampai kau kembali ke dalam pelukanku."

Dewi mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Lalu dipandangnya wajah Fendy yang terkena cahaya remang-remang. Wajah yang selalu dirindukan selama dia berpisah dengan lelaki itu. Biarkanlah aku tetap memiliki semua cinta yang ada di hatimu, karena akupun sangat mencintaimu. Apa pun akan kuberikan demi cintaku padamu, meskipun ada bimbang terukir di hatiku.

"Tidak adakah perempuan lain yang dapat menggantikan aku?" Fendy menggeleng. Lalu memeluk bahu perempuan itu.

"Selama kau masih sendiri, aku akan setia menantimu sampai kau bersedia mendampingi hidupku."

Dewi menyandarkan kepalanya di dada lelaki itu. Dia tidak perduli pada orang lain yang mengenalnya. Karena selama dia menjadi hostes di sini, belum pernah berbuat semesra ini terhadap tamunya. Bahkan dibiarkan saja jemari tangan Fendy membelai rambutnya. Senandungkanlah nada-nada cinta untuk diriku. Senandungkanlah. Biarkanlah aku terlena kekasih. Biarkanlah aku terbuai. Agar kerinduan di hatiku dapat menyatu dalam dirimu. Keinginan itu cuma bergejolak dalam dada Dewi tanpa bisa terucapkan.

Sedang Fendy merasakan lain. Malam ini Dewi terlalu lembut dan pasrah. Seperti perempuan yang lemah menghadapi badai kehidupan. Dan dengan mengenakan pakaian yang sederhana, seperti ibu guru yang lugu. Tidak pantas untuk menjalani kehidupan malam di night club. Namun ada kesan memelas dari kepasrahannya itu.

"Dewi belum jadi milik siapa-siapa kan?" Tanya Fendy sembari mengusap genangan air mata di sudut kelopak mata perempuan itu.

Dewi menggeleng.

"Sungguh?"

Perempuan itu mengangguk.

"Masih cintakah kau padaku?"

"Dewi tak pernah berubah."

Fendy mencium jemari tangan perempuan itu..."Malam ini tiada kesangsian yang tersisa lagi. Tetaplah di sampingku walau apa pun yang akan terjadi."

Dewi diam terkatup. Namun sepasang matanya berbinar-binar kepasrahan. Martinus datang mengusik kemesraan mereka.

"Fendy, aku mau bicara sebentar."

Fendy meninggalkan Dewi duduk sendiri.

Martinus mengajak Fendy duduk di kursi yang kosong.

"Katanya kau mau menemui Dewi, jadi nggak?"

"Tenang dulu."

"Aku cuma mengingatkan."

"Okey, kita duduk bersama-sama. Ajak pasanganmu ke mari."

Martinus menghampiri Siska. Sedang Fendy menghampiri Dewi. Kemudian mereka duduk berempat mengelilingi meja.

"Kenalkan, ini yang namanya Dewi." Fendy memperkenalkan Dewi pada Martinus. Sambil bersalaman Martinus termangu. Lantas dia bertanya pada Fendy lirih.

"Diakah yang kau maksudkan itu?"

"Iya."

Martinus manggut-manggut..."Memang yahut pilihanmu. Kalau kau sudah bosan boleh over sama aku," kata Martinus di telinga Fendy.

"Sompret lu!"

Keduanya tertawa. Tapi suara tawa mereka masih kalah kerasnya dengan irama dan nyanyian disco.

"Kau mau sampai pagi di sini?"

"Terserah."

"Tapi aku tidak bawa kunci rumah."

"Memangnya kenapa?"

"Mami gua orangnya cerewet dan marah melulu kalau aku pulang larut malam."

"Wah, bisa jadi wadam kalau nurutin mami lu," Fendy tertawa lagi.

"Lain kali dah kita kemari lagi. Aku bisa bawa kunci serep."

"Okey, okey."

Fendy beralih memeluk bahu Dewi. Sebelum meninggalkan tempat itu dia habiskan dulu kerinduan di hatinya.

"Apa yang dibicarakan sama temanmu. Pa?" Tanya Dewi sambil mencium pipi Fendy.

"Dia takut kena marah maminya kalau pulang larut malam." Fendy melirik Martinus yang tengah bermesraan dengan Siska.

"Papa mau pulang sekarang?"

Fendy mengangguk berat.

"Mama tidak keberatan kalau papa pulang sekarang?"

"Tidak. Malah mama minta agar papa jangan datang lagi ke mari ya? Kalau mau menemui mama di tempat kost saja."

"Besok malam papa akan menjemputmu. Kita pergi ya?"

Dewi mengangguk senang. Lalu mereka berciuman sesaat.

"Papa pulang, Ma."

"Sampai ketemu besok, Pa."

Fendy bangkit sambil menepuk pundak Martinus..."Ayo pulang. Nanti kau dimarahi mamimu," Ledek Fendy.

Martinus tersentak. Buru-buru dia bangkit. Sepuluh lembar uang sejumlah seratus ribu rupiah ditinggalkan di atas meja oleh Fendy. Lantas kedua lelaki itu pergi. Dewi segera mengambil uang itu dan dibayarkan pada pelayan night club. Jalanan sudah sepi. Mobil yang dikemudikan Martinus meluncur cepat.

"Sejak dulu kau memang pintar cari perempuan," kata Martinus sambil memegang kemudi.

"Menurut penilaianmu, dia bagaimana?"

"Kontras sekali dengan istrimu."

"Maksudmu?"

"Sory nih ya? Aku sudah bilang sory duluan. Kalau diumpamakan binatang. Dewi itu kuda binal, sedangkan istrimu kucing anggora."

"Kenapa bisa begitu?"

"Bisa dilihat dari mukanya. Terutama mata. Mata Dewi yang sayu dan erotis mencerminkan besar sex appeal-nya. Untuk menaklukkannya harus dibutuhkan ketangguhan penunggang kuda yang lihay. Kalau kau tidak bisa seperti itu, dia bakal jadi liar. Sedang istrimu cuma ala kadarnya. Diberi akan diterima, kalau tidak ya diam saja. Perasaannya sensitip sekali. Itulah yang kumaksudkan dengan kontras tadi. Jadi yang lemah kau miliki, yang binalpun bakal kau miliki. Dasar kau itu orangnya serakah !"

Meledak tawa Fendy. Mobil terus meluncur di kesunyian malam. Martinus terlebih dulu mengantar Fendy, barulah dia menuju pulang ke rumahnya.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Rinai gerimis mewarnai senja yang disambut datangnya malam. Bumi yang selama ini mengalami kemarau panjang nampak sejuk. Sesejuk hati Fendy melihat senyum Dewi yang duduk di sampingnya. Dan sejak mobil yang dikemudikan lelaki itu meninggalkan jalan Utan Kayu, tak henti-henti Dewi memandangnya. Membuat Fendy merasa kikuk dipandang begitu.

"Ada apa, Ma?"

"Mama ingin memandang wajah papa sepuas-puasnya."

Fendy menoleh ke arah Dewi sembari tersenyum. Cuma sesaat, lalu kembali memandang ke jalan lurus yang membujur di depannya. Dua kilo meter lagi akan memasuki jalan tol Jagorawi.

"Memangnya kita akan berpisah lagi?"

"Ah, tidak." Dewi mencium pipi lelaki itu.

"Mama rindu sekali pada papa. Apakah papa juga rindu sama mama?"

"Kalau saja hati papa bisa berbicara, apa pun akan diberikan. Cinta dan kerinduan."

Dewi merasa kenangan yang hampir padam jadi terang bagai bintang-bintang di langit. Kendati malam itu tidak nampak satupun bintang di langit. Rinai gerimis menyerupai tirai tipis di depannya. Mobil yang dikemudikan lelaki yang duduk di samping Dewi terus menerobosnya. Akankah begitu perjalanan hidupku? Menerobos perintang untuk menggapai cita-cita? Cita-cita ingin hidup bersama dengan Fendy. Lantas bagaimana dengan Agus? Lelaki itu sudah menunjukkan sikap keras terhadap orang tuanya. Menentang prinsip orang tuanya dan cenderung ingin menikah dengannya. Apakah pengorbanan dan perjuangan lelaki itu akan disia-siakan? Lantas bagaimana dengan mbak Yeti? Sampai hatikah dia merebut lelaki itu dari pelukannya? Tegakah dia untuk memiliki lelaki itu dari seorang perempuan yang menderita penyakit kanker? Dewi cuma bisa mengeluh karena tidak bisa mengambil keputusan. Perasaannya semakin dilibat benang-benang kebimbangan.

"Bagaimana kabarnya mbak Yeti?"

"Baik-baik saja. Dia benar-benar ingin ketemu mama."

"Jangan. Belum saatnya aku bertemu mbak Yeti."

"Kenapa?"

"Jangan paksa aku untuk mengatakan sekarang. Biarkan hubungan kita berlangsung secara diam-diam. Biarkan kureguk semua manisnya kemesraan dan belaian papa. Karena aku masih belum bisa menentukan hari depan."

"Apakah hati mama bercabang dua?"

Dewi cuma mendesah. Seperti ada beban berat yang menindih dadanya.

"Papa sangsi pada aku?"

"Ya. Karena selama ini mama tidak mau ber terus terang pada papa. Papa tahu dari sorot mata mama yang senantiasa gelisah. Bimbang. Bukan cuma itu saja. Sikap mama yang papa nilai terlampau senang menimbulkan keraguan di hati papa. Sepertinya, mama cuma mau mereguk semua kenangan manis bersama papa, setelah itu akan berlalu." ujar Fendy dalam keluh.

"Kalau papa menilai mama begitu, baiklah. Baiklah, mama akan berubah menjadi pemurung dan tak acuh," kata Dewi sambil menyandarkan tubuhnya di jok. Kegembiraan perempuan itu jadi hilang.

Fendy memperhatikan Dewi sesaat.."Jangan begitu, Ma. Bukan maksud papa melarangmu selalu gembira dan ceria."

"Habis apa kemauan papa?"

"Kepastian dari mama. Itu saja yang kupinta dari mama."

"Jangan desak mama, Pa. Jangan desak mama untuk memberikan kepastian sekarang. Banyak hal-hal yang tidak papa ketahui di dalam perasaan mama," kata perempuan itu sepertinya ingin menangis.

Fendy jadi iba. Lalu tangannya yang sebelah kiri membelai rambut perempuan itu. Memang dirasa kurang mesra lantaran konsentrasinya harus terbagi antara perempuan itu dengan jalanan yang ditempuh. Hujan turun semakin deras. Maka cuma sebentar dia membelai rambut perempuan itu.

"Maafkanlah papa, Ma. Semua itu disebabkan papa bersungguh-sungguh padamu. Juga jangan kecewakan perasaan Yeti yang selama ini ikut memikirkan nasibmu."

Rasanya Dewi ingin menjerit. Bagaimana tidak? Saat terakhir dia hendak meninggalkan Surabaya, Agus mengantarnya ke stasiun kereta api. Lelaki itu berharap agar Dewi selekasnya dapat menyelesaikan urusannya dengan David. Agus menginginkan Dewi secara resmi bercerai dengan lelaki itu. Dan kalau urusannya itu telah selesai, Agus menghendaki Dewi secepatnya pulang ke Surabaya. Agus telah mengambil keputusan untuk melamarnya. Padahal di sini. Dewi telah menemukan pelabuhan hati. Ada dua orang manusia yang begitu memperhatikan nasibnya. Fendy dan istrinya. Akankah dia mengecewakan kedua manusia itu? Dan kalau dia menyanggupi untuk hidup bersama dengan Fendy, mungkinkah dia kuat menjalani hidup dimadu? Kebimbangan itulah yang menyebabkan Dewi jadi kalut. Jadi serba salah. Semuanya terasa menghimpit hidupnya. Mobil itu telah sampai di sebuah villa. Di tempat peristirahatan itu mereka menginap.

"Apakah selamanya kita akan begini?" Gumam Fendy seusai makan malam di villa itu. Mereka duduk di ruang tengah sambil menikmati acara televisi.

"Mama juga tidak ingin seterusnya begini, Pa."

"Kalau begitu tunggu apa lagi?"

"Bulan Desember mama akan berikan kepastian pada papa." kata Dewi nekad.

"Berarti tiga bulan lagi papa akan menunggu keputusanmu."

"Ya. tiga bulan."

"Lama juga ya?"

"Hal itu memerlukan pemikiran yang masak, Pa. Banyak perintang yang rasanya akan mama hadapi. Mungkin dari mbak Yeti atau dari pihak keluargaku sendiri. Prosesnya tidak bisa terlalu cepat."

"Aku mengerti." Fendy mencium pipi Dewi.

Lalu mereka masuk ke dalam kamar. Malam terus merangkak. Hujan turun rintikrintik. Dingin sekali udara di Puncak. Namun kehangatan membalut kedua insan yang bergumul di bawah selimut. Alangkah manisnya dosa. Alangkah pahitnya karma. Itulah kehidupan yang selama ini dialami oleh Dewi. Di antara dua hal itu selalu menjerat hidupnya. Seperti melengkapi sisa-sisa hidup yang dilalui. Dan untuk kedua kalinya dia menjalin hubungan cinta dengan seorang lelaki yang sudah punya istri.

Di tempat kost tambah lagi penghuni baru. Namanya Irena. Dia belum lama bekerja di night club. Wajah cukup manis seperti ciri khas orang Jogya. Sikap pembawaannya agak centil tapi ramah. Baru dua hari menjadi penghuni di situ sudah akrab dengan penghuni lainnya. Lebih-lebih terhadap Dewi. Tapi dengan Tika agak kurang sehati. Lantaran Tika dinilai terlalu egois. Dan selama Fendy tidak menjemput Dewi, perasaan perempuan itu jadi sepi. Setiap hari dia menemani Irena pergi ke mana saja. Bila ada teman lelaki Irena datang dan mengajaknya pergi, Dewi tak pernah menolak. Semua itu untuk menghibur hatinya yang sepi. Yang resah, lantaran Fendy sudah seminggu tak datang menjemputnya. Sakitkah dia? Atau barangkali keinginannya sudah berubah? Berubah ingin menjauhi aku. Malam-malam seperti ini biasanya kau disisiku. Tapi mengapa engkau tak datang menjemputku? Terasa sunyi dan sepi hidupku. Kau biarkan diriku sendiri di saat malam ini aku tidak bekerja. Tidakkah kau sadari betapa rindunya hati ini? Seharusnya kau ada di sisiku di saat malam seperti ini. Seharusnya kau menemaniku di saat rembulan dan bintang berseri. Mengapa kau sampai hati tak pernah menjengukku. Padahal aku datang ke Jakarta hanya untukmu. Sekarang hatiku jadi resah menanggung rindu. Oh mas Fendy, haruskah begini nasibku sekarang? Setiap hari aku menanti mu, namun kau tak kunjung datang. Hari-hari yang dilalui makin dirasa mencekik. Lalu dia mencari pelarian. Tika yang punya banyak kenalan pria sering mengajak Dewi pergi. Kadang-kadang nongkrong sampai pagi di restauran hotel Gajah Mada sehabis bekerja. Atau menemani Batara yang kini seperti mendapat pengharapan baru dari Dewi. Sampai pada suatu siang dia mendapat interlokal dari ayahnya. Aneh, pikirnya. Sejak dia tinggal di Jakarta belum pernah sekalipun ayahnya ingin mengajak bicara melalui telpon. Ada apa ini? Berdebar-debar hati Dewi ketika mendengar suara ayahnya.

"Dewi, untuk kali ini kau harus menurut sama ayah. Sebagai orang tua tidak ingin melihat anaknya hidup selalu menderita. Kau harus pulang secepatnya ke Surabaya," kata ayahnya di pesawat telpon itu.

"Tapi Dewi masih ingin tinggal di Jakarta, Ayah. Lagi pula Dewi untuk apa kembali ke Surabaya?"

"Untuk menikah dengan Agus."

"Oh ayah, orang tua Agus tidak mau menerima Dewi sebagai calon menantunya," kata Dewi serasa ingin menjerit. Memuntahkan seluruh kepedihan hatinya.

"Siapa bilang begitu hah?! Semalam kedua orang tua Agus telah datang ke rumah kita. Mereka sudah mengutarakan keinginannya untuk melamarmu."

Dewi jadi terperangah..."Ayah tidak berdusta?"

"Kapan aku pernah berdusta sama kau? Pulanglah, Dewi. Pulanglah. Apa yang sebenarnya kau cari di Jakarta, Nak?"

Pertanyaan ayahnya bagai sembilu yang menggores hatinya. Pedih sekali. Apa yang sebenarnya kau cari di Jakarta, Dewi? Pertanyaan itu berputaran dalam benaknya. Menyebabkan kelopak matanya jadi hangat. Pandangan matanya jadi kabur karena butiran air mata mengambang di situ.

"Ini merupakan kesempatanmu untuk memperbaiki diri, Nak. Untuk membina rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Ayah tidak ingin kau mencontoh dan mengalami kehidupan seperti aku. Ayah ikut senang karena masih ada lelaki sebaik Agus ingin menikah denganmu. Kasihanilah Rita anakmu. Dia sudah terlalu sayang pada Agus. Dia sudah menganggap Agus sebagai ayahnya sendiri. Dan ayah yakin kalau Agus akan menyayangi Rita setulus hatinya."

Setitik air mata jatuh membasahi pipi perempuan itu. Ada perasaan haru dan bahagia bergumul di dalam dadanya.

"Ayah dan ibumu mengharapkan sekali kau pulang. Dan selesaikanlah urusanmu dengan David. Setelah itu kau secepatnya pulang."

Dewi menangis terisak-isak..."Dewi....Dewi! Bagaimana Dewi?" suara ayahnya berteriak.

"Ba... baik ayah. Dewi akan pulang," kata Dewi dengan suara serak.

"Kapan kau mau pulang?"

"Kalau tidak ada halangan minggu depan."

"Baik. Interlokal dulu kalau mau pulang."

Dewi meletakkan gagang telpon ke induknya dengan tangan gemetar. Lalu dia berlari ke kamar. Membanting dirinya di atas tempat tidur. Irena jadi heran melihat kelakuan Dewi saat itu.

"Ada apa, Dewi?" tanya Irena.

"Minggu depan aku harus pulang ke Surabaya." jawab Dewi sembari terisak.

"Kenapa?"

"Aku harus menerima kenyataan."

"Kenyataan apa?"

"Menikah."

"Itu baik, Dewi. Dari pada hidupmu cuma sebagai hostes di night club. Misalnya aku yang jadi kau, lebih baik menikah."

Dewi membalikkan badannya. Mukanya lurus ke depan, matanya memandang langit-langit kamar. Kedua mata itu dibasahi butiran air bening.

"Aku tak bisa meninggalkan mas Fendy," keluhnya dalam ratap.

"Aku tahu perasaanmu. Lalu apakah kau tidak mencintai calon suamimu itu?"

"Dulu aku memang mencintainya. Tapi setelah aku menjalin hubungan dengan mas Fendy perasaanku padanya jadi luntur."

"Aku memang tidak bisa menyalahkan orang yang sedang jatuh cinta. Karena sampai sekarangpun aku mengalami hal sama denganmu. Tapi aku punya maksud lain. Bukan cinta yang kukejar, melainkan uang dan harta benda. Aku menjalin hubungan dengan Rudy yang sudah beristri itu, cuma untuk itu. Karena aku tahu, tak mungkin istrinya mengizinkan kami menikah."

Dewi menyeka air matanya sembari duduk. Di dalam kamar itu cuma ada mereka berdua,an penghuni di rumah itu sedang sibuk di luar rumah. Suasananya jadi hening dan sepi.

"Tapi sifat istri mas Fendy lain. Dia malah merelakan suaminya menikah denganku," kata Dewi yang suaranya serak parau.

"Sebening-beningnya air sirih, masih terasa pahit juga. Jadi serela apa pun, sebagai seorang istri akan sakit juga hatinya. Suami bukan semacam barang yang tidak berharga, lalu dengan begitu saja diserahkan kepada perempuan lain. Suami adalah belahan jiwa dan pengayoman bagi seorang istri. Mana mungkin istri mas Fendy akan serela itu? Cukup sebagai gambaran adalah diri kita sendiri. Relakah suami kita dimiliki perempuan lain?"

Dewi jadi merenungi ucapan Irena. Perempuan itu juga senasib dengan Dewi. Sudah jadi janda dan beranak satu.

"Aku tidak mempengaruhi, Dewi. Aku cuma memberi gambaran yang logis. Dan tanyakanlah pada dirimu, dapatkah kau menjalani hidup di madu?"

Dewi menggeleng lemah. Dia jadi teringat masa lalu ketika menjalani hidup berumah tangga dengan David. Sakit hatinya kalau bekas istri David seringkah datang. Padahal mereka sudah bercerai. Apalagi dia mengalami hidup dimadu. Ah, alangkah menyakitkan.

"Tapi aku sangat mencintai mas Fendy," kata Dewi di sela tangisnya yang makin menjadi. Berat rasa hatinya untuk berpisah dengan lelaki itu.

"Kalau kau berat meninggalkannya, ya jalani saja hidup bersamanya."

"Tapi aku tak mau dimadu." suara Dewi nyaris dalam jerit.

"Berarti Fendy harus menceraikan istrinya?"

"Tidak. Jangan ..."

"Lalu bagaimana?"

"Aku tak tahu, aku tak tahu ..." tangis Dewi makin berkepanjangan. Irena menjadi iba. Lalu bahu Dewi dieluselusnya.

"Pikirkanlah dengan tenang dan masak-masak Dewi. Barangkali apa yang kau alami sekarang adalah ujian hidup bagimu. Sekali ini kau salah melangkah, hidupmu bisa tak karuan. Penilaian setiap lelaki akan buruk, apabila untuk yang ketiga kalinya kau gagal membina hidup rumah tangga."

"Rena, tolonglah aku. Tolonglah aku memecahkan persoalan ini. Tolonglah," ratap Dewi yang kemudian memeluk tubuh sahabatnya itu. Irena jadi ikut menitikkan air matanya.

"Cinta tak selamanya bersatu, Dewi. Dan dalam hidup ini tidak hanya cukup dengan cinta. Mungkin kita telah merasakan akibat membina rumah tangga lantaran cinta yang menggebu-gebu. Tanpa memikirkan faktor lainnya yang menunjang kebahagiaan rumah tangga. Fendy memang patut untuk dicintai, tapi tidak patut untuk menjadi pendamping hidupmu. Karena dia sudah beristri dan beranak dua. Tegakah kau menghancurkan kebahagiaan mereka?"

"Lantas apa yang harus aku lakukan, Rena?"

"Pulanglah ke Surabaya."

Dewi tak berkata. Air matanya mengalir deras.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Keadaan di rumah kost yang dihuni Dewi masih seperti dulu jua. Ditinggal selama dua minggu, tak ada perobahan. Kalau siang seperti ini sepi sekali. Tapi kalau malam, wah, ramainya minta ampun. Seluruh penghuni di setiap kamar ada yang bercanda, ada yang berjalan mondar-mandir. Belum lagi kalau cewek-cewek di situ kedatangan tamunya. Wah, wah, kayak di tempat penampungan transmigrasi. Barangkali cuma Fendy yang berubah. Hatinya dilanda risau. Sementara kerinduan meroyak-royak di dalam dadanya. Dia merasa tak berpamitan pada Dewi. Tidak meninggalkan pesan apa-apa buat perempuan itu. Sehingga patut kalau dia dikira cuma mau mempermainkan. Kalau lagi butuh baru nongol. Wah, padahal hati Fendy tidaklah begitu. Dia datang juga mau membawa kabar baik. Baru saja kaki Fendy menginjak lantai teras, Tika sudah menyambutnya.

"Hai, mas Fendy. Tidak pernah kelihatan ke mana aja?" sapa Tika dengan suaranya yang riang.

"Lagi sibuk. Dewi ada?"

"Ada." Lalu Tika berteriak memanggil Dewi. Dewi ke luar dari kamar diikuti Irena. Tika masuk ke kamarnya.

"Hai," sapa Dewi sembari tersenyum cerah. Irena cuma melihat Fendy sepintas lalu masuk kamar lagi.

"Hai juga."

Keduanya duduk di kursi tamu..."Ke mana saja tidak pernah kelihatan?" tanya Dewi.

"Sibuk shooting di Lampung."

"Kok tidak memberi tahu Dewi?"

"Berangkatnya buru-buru. Mama baik-baik kan?"

Dewi mengangguk. Tapi kemudian membuang pandang cepat-cepat. Mata lelaki itu tengah mencari-cari kegelisahan di matanya. Membuat Dewi takut bisa ditebak. Dan hatinya pada saat itu gundah gulana.

"Papa ada kabar baik untukmu."

Kelopak mata perempuan itu terangkat..."Kabar apa?"

"Papa sudah mendapatkan pekerjaan yang cocok untukmu."

Berdesir jantung Dewi..."Pekerjaan apa?"

"Di sebuah kantor penerbitan majalah. Mama akan tempatkan pada bagian tata usaha. Mau kan?"

Ada kebimbangan di mata perempuan itu. Dan Fendy mengetahui hal itu.

"Perasaan papa selama ini tidak tentram, kalau mama masih terus bekerja di night club. Kebetulan papa punya seorang sahabat yang menjadi pimpinan penerbitan majalah. Lalu papa minta bantuannya agar menerima mama bekerja di sana. Ternyata permintaan papa disetujuinya."

"Apa persyaratannya?"

"Tidak ada. Yaah, paling-paling mama cuma ditanya mengenai pengalamannya. Tapi aku sudah bilang, kalau mama adik kandung Yeti."

Perempuan itu menarik napas berat. Seberat hatinya untuk bersedia bekerja di kantor majalah itu. Bukan lantaran dia tak mampu, melainkan dia harus memenuhi anjuran ayahnya. Dia harus pulang ke Surabaya. Dia harus menikah dengan Agus. Oh, Tuhan. Sebenarnya hati ini tak ingin mengecewakan mas Fendy. Lelaki itu terlalu baik padaku. Tapi nasib yang menghendaki lain.

"Bagaimana, Ma?"

Dewi tergagap..."Berilah mama waktu untuk berpikir."

"Seminggu lagi ya?"

Perempuan itu mengangguk ragu-ragu.

Telpon di ruang tengah berdering. Membuat jantung Dewi berdebar-debar. Lalu terdengar suara Tika menerima telpon itu.

"Dewi ada telpon untukmu," teriak Tika.

"Sebentar ya. Mas."

"Silakan."

Dewi bergegas menghampiri Tika.

"Dari mana?"

"Agus."

"Aduh," Dewi jadi gelisah. Bingung.

"Tika, tolong temani dulu mas Fendy ngobrol."

"Aaah," desah Tika sambil melangkah ke ruang tamu. Lalu dia menghenyakkan pantatnya di kursi yang bersebelahan dengan Fendy.

"Ada telpon dari siapa?" tanya Fendy ingin tahu.

"Interlokal dari Surabaya."

"Siapa?"

"Pacarnya."

Muka Fendy jadi berubah merah. Dipusatkan pendengarannya ke arah pembicaraan Dewi. Tapi pembicaraan Dewi tak begitu jelas didengarnya. Perempuan itu berbicara lirih. Gejolak rasa cemburu membakar dalam dada lelaki itu.

"Padahal aku sudah sering menasehatinya, kalau cinta sama orang satu aja. Masak bercabang-cabang."

Ucapan Tika semakin membakar cemburu Fendy.

"Berapa orang yang kau ketahui?"

Tika menghitung dengan jari..."Empat, termasuk mas Fendy. Padahal dia kan mau bertunangan?"

Fendy cuma mengangkat kedua bahunya. Dewi kembali duduk di kursi tamu.

"Antarin kita ke jalan Sabang yuk," ajak Tika. Fendy memasang muka cemberut. Sepasang matanya berkilat-kilat cemburu menatap Dewi. Dewi yang kelihatan murung bercampur bingung jadi merasa risih ditatap Fendy dengan begitu. Di matanya yang coklat hanya ada ketakutan.

"Mau kan mas Fendy anterin kita makan siang di jalan Sabang?" ulang Tika. Karena rasa gengsi, Fendy mengangguk.

"Yuk, Dewi. Ayoh!" ajak Tika sambil menarik lengan Dewi. Tapi Dewi nampak bermalas-malasan. Fendy tetap cemberut. Tak mau berbicara sepatah katapun dengan Dewi ketika sudah berada di dalam mobil. Lelaki itu menunjukkan rasa kesalnya dengan melarikan mobilnya ngebut. Menyebabkan tubuh Dewi yang duduk di sampingnya terombang-ambing. Seperti sedang naik perahu yang diombang-ambingkan ombak besar.

"Papa kok diam saja sih?" tegur Dewi yang gelisah.

Fendy tak mau menyahut. Di jalan tikungan, mobilnya dilarikan cepat. Menyebabkan ban mobil itu berdenyit keras. Tubuh Dewi terbentur di pintu. Perempuan itu jadi ikut kesal. Kenapa? Kenapa kelakuan lelaki itu jadi begitu? Tak acuh dan tak menghiraukan dirinya?..."Kalau tahu begini lebih enak naik taxi saja." kata Dewi sengit.

Di rambu lalu lintas yang menyala merah Fendy menginjak rem dengan mendadak. Tubuh Dewi terhuyung ke depan. Kepalanya nyaris membentur kaca.

"Kau ini kenapa sih, Pa?!" tegur Dewi semakin emosi.

Fendy tetap bungkam. Menoleh ke wajah Dewi pun tidak.

"Tenang, Dewi. Tenang. Kalau kalian bertengkar, itu pertanda hubungan kalian akan kekal," ujar Tika yang duduk sendiri di jok belakang.

Dewi mengambil sebatang rokok, lalu disulutnya. Fendy tetap tak perduli. Bahkan ketika perempuan itu membuka pintu mobil, tetap saja tak dihiraukan Fendy. Pokoknya lelaki itu tak perduli apa pun yang akan dilakukan perempuan itu.

"Dewi, mau ngapain kau?" tanya Tika yang mulai cemas.

"Biar. Biar, aku mati pun tak perduli!" cetus perempuan itu.

Rambu lalu lintas menyala hijau. Fendy tancap gas lagi. Sematan Tika menutup pintu di samping Dewi.

"Haee. jangan merokok!" kata Tika pada Dewi.

"Biariiiinl" teriak Dewi.

"Dewi, jangan begitu. Tenanglah."

"Bagaimana aku bisa tenang? Kau lihat sendiri, mas Fendy sudah tidak peduli lagi padaku."

Wajah Fendy berkeringat. Tegang sekali. Rasanya dia hampir tak kuasa membendung kejengkelannya. Jengkel pada kemunafikan perempuan yang duduk di sampingnya. Sehingga menatap pun jadi muak. Timbul keinginannya agar perempuan itu bisa lekas turun. Dia tak ingin melihatnya lagi.

"Kau benci pada Dewi, Pa?!"

Lelaki itu tetap saja bungkam.

"Katakan! Katakan kenapa?!" seru Dewi sambil menggoncang-goncangkan bahu lelaki itu.

"Gombal !" maki Fendy sengit.

"Tika, kita turun di sini saja. Kita turun di sini saja!" ajak Dewi pada Tika. Tika malah kebingungan karena mobil yang mereka tumpangi masih meluncur.

Mobil itu meluncur di jalan Sabang. Lalu mendadak Fendy menginjak rem. Mobil berhenti di pinggir jalan.

"Turun sini !" bentak Fendy seperti mengusir kedua perempuan itu. Dewi bergegas membuka pintu mobil. Dia melangkah turun dengan terburu-buru. Tika pun demikian. Akan tetapi tiba-tiba Dewi membalikkan badan. Dia menyambar setumpuk casette yang ada di dekat kaca mobil. Lalu dengan kejengkelannya, semua cassette itu dibantingnya keras-keras ke jalan. Berhamburlah cassette-cassette itu di jalan aspal. Tika buru-buru memungutinya. Kemudian di lempar ke atas jok mobil. Fendy yang sejak tadi tak mau memandang Dewi, tanpa diduga secara tiba-tiba perempuan itu memukul kepalanya berkali-kali. Fendy terkejut dan merasakan pening di kepalanya. Lalu dia menyambar tangan Dewi yang hendak memukulnya lagi. Dicekalnya kuat-kuat lengan perempuan itu. Bagai kemasukan setan, Dewi meronta-ronta. Ingin melampiaskan kemarahannya dengan memukuli muka lelaki itu.

"KatakanI Katakan kenapa?!" teriak Dewi.

"Tenang! Diam! Kau jangan bikin keributan di sini!" bentak Fendy merasa cemas. Orang-orang disekitarnya sudah berjalan mendekati mobil. Dugaan mereka pasti buruk. Mungkin dikira Fendy mau memperkosa. Mau menipu. Atau perbuatan buruk lainnya.

"Biariiinl Biarin kita mati sekalian!"

"Dewi, kendalikan emosimu. Jangan marah-marah begitu," Tika berusaha melerai pertengkaran mereka. Dewi masih tetap meronta ronta. Dia sudah kepingin menerkam muka Fendy.

"Lebih baik kita mati bersama-sama!" ancam Dewi.

"Jangan begitu, Ma. Jangan begitu," suara Fendy mulai lunak.

Dewi mengibaskan tangan Fendy. Lalu dia bergegas turun. Fendy tak mau ketinggalan ikut turun. Tapi Dewi sudah duluan menyetop taxi. Kedua perempuan itu buru-buru naik dan menghempaskan pintunya. Fendy cuma bisa menjenguk lewat jendela.

"Ikuti saja kemauannya, Tika." Fendy berkata dengan perasaan kacau.

"Jalan, Bang," perintah Dewi kepada sopir taxi itu. Perempuan itu tak sudi lagi menatap Fendy. Mobil taxi itu meluncur pergi. Fendy cuma termangu. Bingung. Lalu dia sadar kalau sedang diperhatikan orang banyak. Buru-buru dia naik ke dalam mobil. Melarikannya jauh-jauh dari jalan Sabang. Masih terasa sakit pukulan tangan Dewi di kepalanya. Perlu dicatat dalam sejarah hidupnya. Ini merupakan pertama kali baginya dipukul oleh seorang perempuan. Betapa galaknya. Betapa beraninya. Dan betapa teganya dia berbuat begitu padaku, kata Fendy dalam hati, yang saat itu dirasa amat perih. Kecuali kesedihan. Kecuali kemurungan tak ada lagi rasa lainnya di dalam diri lelaki itu. Sampai-sampai dia kepingin sekali menangis. Inikah yang kuterima dari mendambakan cinta? Inikah balasan yang kuterima dari rasa kasihku? Inikah balasannya karena aku terlalu memikir kan nasibnya? Terlampau pahit agaknya. Terlampau menyakitkan, memang. Dan Fendy melarikan mobilnya menuju pulang ke rumah. Setumpuk rasa perih dan hancur dibawanya pulang.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Hari yang dilalui terasa menjadi sepi. Sejak kejadian yang dialami di jalan Sabang, bayangan Dewi tak berani dia singgahkan ke dalam lamunannya. Akan menambah kepedihan di hatinya. Akan mengorek luka saja. Ya, luka yang belum sembuh itu bisa menjadi perih lagi. Dan sampai detik ini masih terasa sisa-sisa pukulan perempuan itu. Kemarahan, keberanian dan galaknya perempuan itu membuatnya giris. Pada hari pertama Fendy memang bisa melupakan perempuan itu. Namun pada hari keduanya, dia sudah mulai terombang-ambing dikarenakan rasa rindu ingin ketemu meroyak lagi dalam hatinya. Sebagai pelampiasan untuk sedikit mengurangi gejolak rindunya, maka dia merokok seperti sepur langsir. Dan ketika dia melakukan begitu di tengah-tengah istri dan anaknya, si kecil Ria menegurnya.

"Idiiiih. papa kayak pak Ogah," olok Ria sambil tertawa.

"Hush!" bentak Yeti.

"Lihat deh, Ma. Papa ngerokoknya kayak pak Ogah di film si Unyil ya?" lanjut Ria lagi sambil menunjuk ayahnya yang sedang merokok. Fendy yang termenung murung jadi geli. Lalu meledaklah tawa mereka..."Kamu ini ada-ada saja. Ria." Fendy menggerutu.

Habisnya papa kayak pak Ogah sih?"

"Tuh, Pa. Apa katanya anakmu. Jangan terlalu banyak merokok, nanti papa sakit," Yeti menasehati.

"Ah, tidak."

"Oya, belum dapat kabarnya Dewi dari Tika?"

Fendy menarik napas berat. Selama ini mama tidak tahu. Mama tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan perempuan itu. Oh, terlalu menyakitkan, Ma. Tapi kau tak perlu tahu.

"Belum."

"Cobalah kapan-kapan papa menemui Tika dan tanyakan bagaimana kabarnya Dewi."

"Ah, lagi malas."

"Biarlah kalau begitu mama yang ke sana."

"Eit, jangan. Papa yang malu. Ma."

"Dari pada papa selalu murung, mama ikut mikir terus. Mama ingin melihat papa bisa hidup bahagia."

Dino dan Ria berjingkrak-jingkrak karena melihat Martinus baru turun dari mobil. Pembicaraan Fendy dan Yeti jadi terhenti.

"Papa, Oom Tinus datang!" Kedua anak itu berhambur menyongsong tamunya.

"Wah, ada bisnis lagi nih?" gumam Fendy pura-pura-pura ada urusan penting. Padahal dia tahu kalau Martinus datang mau mengajak pergi. Ke mana lagi kalau tidak ke night club.

"Selamat malam, tuan dan nyonya."

"Malam. Sorry, malam ini tidak terima tamu dulu," kata Fendy sambil tertawa.

"Baik. Tuan. Saya permisi," sahut Martinus terus melangkah masuk ke ruang dalam. Nyelonong saja.

"Eiit, jalannya salah."

"Saya sengaja mau ke kamar mandi kok. Numpang kencing."

Fendy sekeluarga jadi tertawa. Dino dan Ria jingkrak-jingkrak.

"Orang gila dilayani. Bisa-bisa kita semua ikut jadi gila," gerutu Fendy sambil tertawa. Martinus memutar tubuhnya, lalu duduk di kursi tamu.

Yeti menggiring kedua anaknya masuk ke kamar. Tinggal Fendy dan Martinus duduk di kursi tamu.

"Malam ini kau nggak ada acara?" tanya Martinus.

"Mau ngapain?"

"Tengok boneka-boneka cantik di ruang kaca."

"Ah, malas."

"Sudah bosan sama dia?"

Fendy tak menyahut. Kerinduan yang berusaha ditahannya menjadi terkorek lagi. Keinginannya untuk bertemu Dewi meroyak dalam dadanya.

"Kalau sudah bosan over gua aja dah," ledek Martinus.

"Enak aja lu."

"Memang cari enaknya. Mana ada orang yang cari susahnya sih?"

"Kau sudah bawa kunci?"

"Beres." Martinus menepuk-nepuk saku celananya. Ada suara gemerincing kunci. "Sampai pagi pun aku siap bertempur."

"Okey. Tunggu sebentar aku mau tukar pakaian."

"Begitu aja sudah ca'em, masih mau tukar pakaian."

"He, pakaian pun bisa ikut menunjukkan suatu perasaan. Suatu pengungkapan. Nanti kau akan tahu sendiri." Fendy berjalan masuk ke kamarnya. Putih adalah suci. Begitupun niat yang terkandung di hati lelaki itu suci. Seputih kemeja dan celananya. Juga sepatunya. Malam itu Fendy sengaja mengenakan setelan warna putih.

"Duh, papa kayak anak muda aja." ledek Yeti sambil memperhatikan suaminya yang berdandan di depan cermin.

"Papa mau ke mana sih?" tanya Ria.

"Ada urusan bisnis." sahut Fendy sambil menyisir rambutnya.

"Apa bisnis papa juga kayak pak Ogah?"

"Kamu ini bisa aja. Ria." Fendy tertawa. Lalu dia mencubit pipi anak itu, menciumnya. Mencium pipi Dino juga. Kemudian mencium kening istrinya. "Papa pergi ya, Ma?" pamit Fendy.

"Pulang nggak, Pa?"

Fendy menggeleng, hatinya perih.

"Ke luar kota?"

"Ya."

Fendy melangkah. Yeti membarenginya..."Hati-hati, Pa."

"Mari, mbak Yeti." Martinus berpamitan setelah berada di teras.

"Mari, mari," balas Yeti dengan tersenyum ramah. Keduanya berangkat mengendarai mobil masing-masing. Ada kebimbangan di dalam dada Fendy. Kebimbangan yang bergalau dengan rasa rindu. Bagaimana kalau dia masih tetap marah padaku? Bagaimana kalau dia sekarang berubah membenci aku? Padahal, ah, kemarahanku kemarin cuma karena cemburu. Ya, cemburu yang ditimbulkan oleh omongan Tika. Sedang di dalam perasaanku tak bisa lagi dibohongi. Aku terlalu mencintainya. Pijar-pijar kerinduan di dalam jiwaku terus menyala. Membara. Ah, biarlah. Apa pun yang akan terjadi harus kuhadapi. Kalau memang kejadian kemarin menjadi penyebab putusnya hubungan, aku cuma pasrah. Asalkan itu kehendaknya. Bukan aku yang memutuskan, pikir Fendy setelah mobilnya berhenti di tempat parkir. Martinus sudah terlebih dulu sampai. Kemudian mereka masuk. Fendy merasakan jantungnya berdenyut kencang. Ternyata di ruang kaca Dewi sudah tak nampak. Runtuh sudah semangatnya untuk bisa membooking perempuan itu. "Mana cewek lu?" tanya Martinus sambil mengedarkan pandang ke wajah-wajah perempuan yang bergincu merah menyala. Di dalam ruang kaca duduk berjejer perempuan-perempuan yang serba gemerlapan.

"Sudah tertambat."

"Dibooking orang?"

"Iyalah. Kalau tidak apalagi?" desah Fendy dengan kecewa.

"Terus bagaimana?"

"Kau sajalah yang ngebook."

"Lalu kau?"

"Ya menunggu Dewi sampai selesai dibook. Pokoknya lu jangan pikirin gua. Silakan pilih mana yang kau sukai."

"Wah, nggak enak dong. Masak gua ngebook lu cuma bengong?"

"Aku memang ada perselisihan faham dengan Dewi. Makanya aku ingin menemuinya. Dan aku datang ke sini bukan untuk siapa-siapa, melainkan memang untuk dia."

"Okey, dah. Aku mau ngebook Siska lagi."

"Silakan. Aku duluan ke ruang sana ya?"

Martinus mengangguk. Fendy mengayunkan langkahnya yang lambat. Pandangan matanya mengedar ke setiap perempuan yang sedang duduk di kursi dengan tamunya. Di mana Dewi? Di mana?

"Hai," sapa seorang hostes yang bersimpang jalan.

"Hai juga."

Beberapa orang di sekitar meja-meja yang dilalui memperhatikan dirinya. Lalu ada yang berbisik-bisik dan ada pula yang menegurnya. Perhatian seisi ruang itu jadi tercurah pada top star ini. Dan yang lebih tercurah adalah Dewi. Perempuan itu sampai tersedak ketika sedang meneguk minumannya. Tersedak lantaran melihat kehadiran Fendy di ruang night club itu. Dengan siapa dia? Dengan perempuan lainkah? Atau dia sudah membooking seorang hostes di sini? O, tidak. Dia nampak berjalan sendiri Mencari-cari siapakah dia? Temannya? Atau mencari aku? pikir Dewi yang sudah mulai nampak resah dan bingung.

"Ayo kita turun," ajak Dewi pada tamunya.

Lelaki kurus itu mengangguk senang. Dia menggandeng tangan Dewi menuju ke lantai dansa. Lagu disco menghentak-hentak suasana. Dewi berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik. Kalau memang engkau mencari aku, aku di sini. Di sini. Tak melihatkah kau? Sengaja aku turun melantai supaya kau melihatku. Melihatku, kata-kata itu menggebu-gebu dalam hati Dewi. Dan Fendy yang duduk seorang diri, memang sedang memperhatikan perempuan itu. Ah, seandainya aku yang sedang menemanimu berjoget, alangkah gembiranya hatiku. Tapi, aku datang ke mari bukan untuk itu. Bukan untuk berjoget ataupun berdansa denganmu. Bukan itu maksudku. Melainkan ingin mengetahui isi hatimu. Apakah kau masih tetap mencintaiku? Apakah di antara kita telah menyadari kekhilapan masing-masing? Fendy terus mengamati Dewi sampai kembali ke tempat duduknya. 0, di sana dia duduk menemani tamunya. Dan di tempat duduk pojok itu kosong. Sebaiknya aku pindah ke sana saja. Supaya dekat Supaya dia melihat aku hadir di tempat ini. Maka Fendy segera pindah ke sana. Duduk seorang diri dengan menghadapi sebotol minuman seven up. Merokoknya seperti sepur lengsir. Sedang Dewi yang duduk di sebelah tamunya nampak termenung. Jadi salah tingkah.

"Kenapa kamu tidak segembira teman-temanmu di sini?" tanya tamunya itu.

"Aku sedang bingung," desah Dewi sambil melirik Fendy yang duduknya menyandar di kursi. Seperti orang frustrasi.

"Kenapa bingung?"

"Suamiku menyusul ke mari." Dewi berbohong, agar tamunya bisa membatasi diri. Tidak sampai semesra tamu-tamu lainnya terhadap hostes di sini.

"Yang mana orangnya?"

"Itu yang duduk sendiri di pojok."

Lelaki itu menoleh ke arah Fendy. Termangu juga lelaki itu memandangnya..."Bukankah dia aktor yang lagi top saat ini? Si Fendy kan?"

Dewi mengangguk. Hatinya semakin resah.

"Dia suamimu?"

"Ya. Dia sudah sekian lama mencariku karena aku kabur dari rumah. Dan malam ini dia tahu aku bekerja di sini."

"Kenapa kamu kabur?"

"Cekcok."

Lelaki itu manggut-manggut. Memperhatikan Fendy lagi. Lalu berbisik kepada temannya yang sedang bercanda dengan hostes yang dibookingnya. Keempat orang yang duduk mengitari meja satu memperhatikan Fendy. Fendy merasa kalau sedang diperhatikan. Apa yang barusan dibicarakan Dewi pada tamu-tamunya itu, pikir Fendy. Ah, persetan. Aku tak perduli. Pandangan Fendy ke arah lantai dansa. Melihat Martinus sedang memeluk Siska sambil bergoyang-goyang seirama lagu lembut. Membuat Fendy menarik napas berat. Alangkah sepi yang dirasakan. Alangkah tersiksanya hati ini. Dewi, Dewi, apakah kau tahu gejolak perasaanku saat ini? Tahukah kau? Aku datang ke mari hanya untukmu. Untuk membicarakan kelangsungan hubungan kita. Masihkah kau mencintaiku? Sedang selama aku duduk sendiri di sini, tak pernah kulihat senyummu. Kau nampak tak acuh padaku. Sungguh menyakitkan. Dewi bangkit. Lalu dia berjalan menuju ke toilet. Ini kesempatan, pikir Fendy. Aku harus menemuinya. Ada sepatah kata yang ingin kubicarakan dengannya. Maka Fendy segera bangkit. Dia berjalan di bawah cahaya sinar yang remang-remang menuju ke toilet. Namun sesampainya di sana tak ditemuinya Dewi. Ke mana dia? Ke mana dia? Fendy mencari-cari. Apakah dia sudah selesai dibook? Mungkin bisa begitu. Kalau begitu aku harus secepat nya menghubungi petugas.

"Dewi sudah selesai dibook?" tanya Fendy kepada petugas yang melayani tamu bila ingin membook hostes. Petugas itu memandang ke dalam ruang kaca.

"Saya tidak melihat Dewi kembali ke ruang ini, Pak."

"O, mungkin belum. Tolong ya pak, jika dia sudah selesai dibook, suruh dia pindah booking di meja tujuh."

"Baik, Pak."

Dengan rasa kecewa Fendy meninggalkan tempat itu. Lalu dia sengaja lewat di depan Dewi yang duduk bersama tamunya. Tapi Fendy pura-pura tidak tahu. Tidak mengenal Dewi. Sedang Dewi cuma memperhatikan lelaki itu dengan hati perih. Belum lama Fendy duduk, Martinus bersama Siska menghampiri.

"Masih sendiri?" tanya Martinus sambil cengar-cengir. Gembira sekali nampaknya.

"Seperti apa yang kau lihat."

"Mau turun sama Siska?"

"Aku lagi senang sendiri dan melamun."

"Wah, lama-lama kau bisa jadi pengarang," Ledek Martinus sambil tertawa. Siska ikut tertawa juga.

"Silakan bersenang-senang. Tolong jangan ganggu aku yang sedang sendiri."

"Duuuh, frustrasi?"

"Nggak."

"Mana cewekmu?"

"Tuh"

"O, pantesan. Biar dikira patah hati. Dasar otak kotor," kata Martinus sembari tertawa. Lalu dia menarik tangan Siska dan mengajak melantai. Fendy sendiri lagi. Puntung rokok sudah penuh di asbak. Empat jam lamanya dia duduk sendiri di situ. Pantatnya sampai pedas. Pinggang nya sudah pegal. Sementara dia mengharap Dewi lekas selesai dibooking tamunya. Selama Fendy duduk di situ, cuma dua kali dilihatnya Dewi turun berdisco. Dan ketika penyanyi membawakan lagu lembut, syairnya terasa menggores di hati Dewi. Di hati Fendy. Rindu.... Rindu... daku saat ini Ingin jumpa bertegur sapa Tiada....Tiada lebih indah Bila engkau tersenyum manja Bawalah daku pergi Dari gelisah ini Bawalah daku pergi Dari sepi hati ini Bawalah daku pergi Setulus hati yang suci Bawalah daku pergi Biar mati kujalani Jauh.... Jauh terasa di hati Bila engkau tiada di sini Syahdu.... Syahdu ucapanmu kasih Gugup juga Kumengungkapkan kata Dewi merasa ingin menangis. Oh, Tuhan. Bila memang terjadi perpisahan, bukan untuk perpisahan yang kutangisi. Namun pertemuanlah yang kusesali. Mengapa aku bertemu dengannya, dan kuncup di hatiku merekah. Hanya dirinya satu tambatan hatiku, yang hadir di setiap mimpiku. Mengapa? Mengapa Tuhan? Kesedihan itu dikusik oleh tamunya.

"Dewi, kita turun yuk?" ajak tamunya itu. Dewi tertunduk sambil menggelengkan kepala... "Maaf, Mas. Malam ini terpaksa aku mengecewakanmu," kata Dewi dengan suara parau. Lelaki itu menarik napas panjang. Dia menjadi sadar dengan keresahan di hati perempuan itu. Apalagi dilihatnya perempuan itu merenung sedih.

"Aku tahu perasaanmu," kata lelaki itu lunak.

"Temuilah dia."

Dewi menggeleng.

"Jangan begitu, Dewi. Ayo temui dia," bujuk lelaki itu.

Perempuan itu tertunduk. Ada setitik air mata yang jatuh membasahi pipi.

"Aku tidak apa-apa. Dewi. Benar, aku ikut senang kalau kau bisa kembali baik dengan suamimu.

Dewi mengangkat kepalanya. Diseka air matanya dengan selembar tissues. Jantungnya berdebar-debar. Bagaimana baiknya untuk menemui Fendy? Lebih baik aku tulis surat padanya. Lalu Dewi mengambil selembar tissues. Dengan ball point dia menulis di bawah sinar yang remang-remang. Selesai menulis dia bangkit. Dihampirinya Fendy yang duduk sendiri itu. Lalu tissues yang ditulisnya ditaruh di atas meja Fendy. Tanpa sepatah katapun Dewi kembali duduk di sisi tamunya.

Fendy segera mengambil tissues itu dengan tangan gemetar. Apa-apaan ini? pikir Fendy. Tapi setelah tissues yang terlipat itu dibukanya...

Teruntuk : Papa tercinta.

Pa, ternyata Jakarta ini terlalu kejam buat Dewi. Sekarang papa pulanglah. Besok temui Dewi.di rumah saja. Dewi akan secepatnya meninggalkan Jakarta.

Fendy melipat tissues itu lagi. Tidak. Aku tidak mau pulang sekarang, kata hati Fendy. Malam ini juga aku akan menunggumu pulang. Tak akan kubiarkan kau pulang bersama lelaki lain. Dewi tambah gelisah, sebab lelaki itu belum juga mau pulang. Masih tetap duduk sendiri. Seolah-olah tidak mau menanggapi suratnya. Bagaimana ini? Bagaimana? Padahal malam ini dia sudah berjanji dengan Batara. Berjanji mau pergi bersama. Sedangkan dia tak ingin menyakiti perasaan Fendy.

"Kenapa tak kau ajak bicara?" tanya tamunya.

"Aku cuma memberi surat supaya dia lekas pulang," desah Dewi.

"Sebaiknya kau ajak dia pulang. Aku ikut senang kalau kau bisa rujuk dengan dia lagi. Tinggalkanlah tempat ini."

"Tapi full booking mas Tiar belum habis."

"Jangan pikirkan hal itu. Silakan ajak dia pulang."

Alangkah baik hatinya mas Tiar ini, pikir Dewi. Lalu dia mohon diri pada lelaki itu. Dan dihampirinya Fendy.

"Pa, tunggulah Dewi di tempat parkir."

"Ya?" Fendy memandang perempuan yang berdiri di depannya itu. Memandang penuh kerinduan.

"Papa tunggu mama di tempat parkir." Mata Dewi berkaca-kaca.

"Sekarang?"

"Ya."

Dewi melangkah pergi. Bergegas Fendy bangkit dan berjalan mendekati Martinus.

"Aku mau pulang sekarang," kata Fendy.

"He, night club belum tutup. Mau ngapain buru-buru?"

"Aku mau pergi sama Dewi."

Martinus memandang Siska. Keduanya saling berpandangan..."Kau mau ikut, Yang?" tanya Martinus.

"Ikut, ah!"

"Ayo kita tinggalkan tempat ini sekarang," Ajak Fendy tak sabar.

"Okey, okey."

Fendy segera memanggil pelayan. Dia membayar nota yang disodorkan pelayan itu. Kemudian mereka bertiga meninggalkan ruang night club. Hawa dingin terasa menembus ke dalam pori-pori kulit. Ketika itu Dewi baru saja ke luar dari pintu hotel. Lalu dia mengayunkan langkahnya. Langkah yang gemulai itu mendekati mobil Fendy. Fendy sudah duduk menunggu di belakang stir. Dia langsung menstater mobilnya.

"Selamat malam, Pa," sapa Dewi sambil duduk di jok depan.

"Selamat malam, Ma."

Mobil itu meluncur. Mobil Martinus mengikuti di belakang. Mereka menuju ke arah jalan Raya Bogor. Tidak lagi lewat jalan Jagorawi. Malam ini Dewi tidak nampak ceria. Lebih banyak diam dan murung. Fendy seringkah menoleh memperhatikan perempuan yang duduk di sampingnya itu. Namun yang diperhatikan tetap tak ada reaksi. Dingin. Malas.

"Mama masih marah sama papa?" tanya Fendy memecah kebisuan.

Dewi cuma menggelengkan kepala.

"Benarkah mama mau pulang ke Surabaya?"

"Ya."

"Kenapa mendadak mama mau pulang?"

"Aku tidak betah lagi tinggal di Utan Kayu."

"Kalau mama sudah tidak betah tinggal di Utan Kayu, papa bisa mencarikan tempat kost lainnya. Atau kalau mama mau akan papa carikan kontrakkan rumah."

Dewi tak bereaksi. Pandangannya lurus kedepan. Rumah-rumah di pinggir jalan itu seperti bergeser ke belakang karena mobil Fendy melaju dengan cepat.

"Dan perasaan papa akan selalu resah kalau mama masih bekerja di night club. Papa mohon tinggalkan pekerjaan itu dan bekerjalah di kantor majalah."

"Aku tak ingin bekerja apa pun. Aku ingin diam di rumah saja," kata Dewi tidak bergairah.

"Papa akan lebih senang kalau begitu."

"Dan aku ingin hidup sendiri."

"Maksud mama?"

Papa tak usah memikirkan aku lagi. Lupakan saja mama."

Fendy menarik napas berat..."Kenapa mama berubah sekarang?"

"Karena demi kebaikan papa."

"Demi kebaikanku? Benarkah begitu? Justru aku takkan mungkin bisa untuk tidak memikirkanmu. Karena hal itu demi kebaikan kita bersama. Demi hidupku yang senantiasa kesepian. Tegakah mama meninggalkan aku?"

Dewi menyandarkan kepalanya di tempat duduk. Helaan napasnya terasa berat. Mobil yang mereka tumpangi sudah melewati daerah Cijantung. Di belakang mobil Martinus masih mengikuti terus. Kalau di dalam mobil Fendy saling diam penumpangnya, tapi di dalam mobil Martinus saling bermesraan dan bercanda.

"Biarkan aku memerangi nasibku sendiri," Ujar Dewi yang tetap dingin.

"Yaaah, apa boleh buat kalau itu memang sudah kehendak mama," sahut Fendy dalam keluh. Ternyata selama ini keinginanku sia-sia.

"Makanya mulai sekarang papa jangan mengharapkan apa-apa lagi dari mama. Tak perlu lagi banyak memikirkan mama."

"Aku sendiri jadi tak mengerti. Kenapa untuk kali ini aku jadi pengemis cinta. Terlalu letih menggapai cintamu, namun tiada rasa saling seiya sekata. Selama kutempuh jalan hidupku, baru kali ini aku jadi lelaki yang cengeng. Lelaki yang terkaing-kaing hanya akibat jadi pengemis cinta," kata Fendy dengan jengkel. Dia jengkel dengan kesia-siaan itu. Jengkel dengan dirinya sendiri sampai merengek-rengek. Padahal selamanya dia tak pernah begitu terhadap cewek manapun. Tapi sekarang, ah, menghadapi Dewi kenapa jadi begitu? Dia sendiri tak habis mengerti. Barangkali cinta itulah yang menjadikan dia begitu.

Fendy membelokkan mobilnya ke hotel Ully Arta. Mobil Martinus juga ikut belok ke situ. Pelayan hotel buru-buru menghampiri, begitu mobil mereka berhenti di halaman hotel. Kamar hotel itu tidak terlalu luas, tapi cukup bersih. Fendy dan Dewi menempati sebuah kamar. Begitu juga Martinus dengan Siska. Namun keadaan mereka berlainan. Kalau Martinus begitu mesra dengan Siska, tapi Fendy dengan Dewi nampak saling termenung di dalam kamar. Fendy duduk di pinggir tempat tidur sambil meremas-remas rambutnya. Seakan-akan dia menghadapi persoalan yang sulit dipecahkan. Sedang Dewi terbaring di sisinya.

"Pa, tidurlah di samping mama," kata Dewi. Dipegangnya tangan lelaki itu. Ditariknya perlahan agar tubuh lelaki itu berbaring di sisinya. Tapi lelaki itu menggelengkan kepala. Fendy menatap wajah Dewi dalam-dalam. Sementara perasaannya begitu sedih. Begitu perih. Dia merasa akan ditinggalkan oleh tambatan hatinya. Berat nian rasa hatinya menghadapi perpisahan itu. Sehingga kesedihan, keperihan itu membuat kedua matanya hangat.

"Papa, tidurlah sayang. Tidurlah di samping mama," pinta Dewi lembut. Dielus-elusnya rambut lelaki itu.

"Tidak, Ma."

"Kenapa, Pa?"

"Biarkan papa memandang wajahmu sepuas-puasnya. Biarkan," suara Fendy mulai parau.

Dewi segera bangun. Dipeluknya lelaki itu..."Papa benci sama mama?"

"Tidak, Ma. Papa terasa berat berpisah denganmu."

Dewi tersenyum. Tapi senyum itu melukiskan kesedihan. Lalu jari tangannya membuka kancing-kancing kemeja lelaki itu. Fendy mencegahnya.

"Aku tidak butuh itu. Aku tidak butuh itu. Aku butuh cinta dan kesetiaan mama," desah lelaki itu.

"Mama tahu. Mama tahu." Dewi menarik tubuh Fendy hingga terbaring di atas pembaringan. Kemudian diciumnya bibir lelaki itu dengan lembut dan mesra. Ada air hangat. Ada air hangat yang berlinang di mata lelaki itu. Dewi merasakan ketika menggesekkan mukanya ke muka Fendy. Oh, dia menangis. Kasihan. Ternyata perasaannya begitu halus. Sehalus sutera. Sedangkan aku tak mungkin bisa memelihara kehalusan sutera itu sampai akhir hayatku. Aku harus menuruti kehendak orang tuaku. Aku harus menikah dengan Agus dan meninggalkannya. Oh, alangkah kejamnya kenyataan yang akan kualami.

"Jangan menangis, Pa. Percayalah, cinta mama kepada papa tak akan luntur sepanjang sisa hidup mama."

"Tapi mama akan meninggalkan papa."

"Tidak"

Hati Dewi rasanya ingin menjerit. Dia merasa berdusta pada lelaki itu. Tapi biarlah. Biarlah aku berdusta. Namun cintaku padanya sangat tulus dan suci, walau tak lama lagi aku akan pergi meninggalkannya. Jadi aku harus bisa membahagiakan perasaannya. Harus bisa.

"Sungguhkah itu, Ma?"

Dewi mengangguk.

"Kalau begitu mama harus bekerja di kantor majalah. Itu satu bukti kalau mama benar-benar tidak ingin meninggalkan papa."

"Tentu, tentu."

Fendy jadi merasa bahagia. Meskipun ada kebimbangan yang terukur di dalam hatinya. Lalu dia memeluk Dewi erat-erat. Menghujani ciuman hangat dan mesra. Dewi pun membalasnya. Dan keduanya pada akhirnya bermuara di ranjang kenikmatan. Sekilas Fendy jadi ingat ucapan Martinus. Untuk menundukkan kuda teji memerlukan ketangguhan penunggang kuda yang lihay. Dan apakah Martinus ketemu dengan kuda teji itu? Atau ketemu kucing anggora? Cuma Martinus yang tahu.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Sudah saatnya untuk memberi tahu. Ya, sudah saatnya Fendy memberi tahu pada istrinya. Karena Dewi sudah menyatakan bersedia menuruti saran Fendy untuk bekerja di kantor majalah. Dan meninggalkan pekerjaannya di night club sebagai hostes. Maka di siang yang cerah itu, Fendy mengajak ngobrol Yeti di ruang tengah. Wajah lelaki itu secerah siang yang tanpa mendung.

"Dua hari lagi Dewi tiba di Jakarta, Ma."

Wajah Yeti jadi ikut cerah.

"Darimana papa tahu?"

"Kemarin papa menemui Tika. Tika memberitahu kalau dua hari lagi Dewi tiba di Jakarta."

"Kalau dia sudah ada di Jakarta, bawalah dia menemui mama, Pa."

"Tentu."

"Mama ingin bicara dari hati ke hati dengannya."

"Mama mau berterus terang?"

"Ya, demi kebahagiaan papa."

Fendy termenung. Lalu dia berkata..."Apakah mama sudah memikirkan masak-masak?"

"Sudah, Pa."

Adakah seorang istri semacam Yeti? Semacam istrinya yang merelakan suaminya menikah dengan perempuan lain? Ah, barangkali ini bisa dikatakan aneh tapi nyata. Tapi benarkah begitu? Tidakkah ada secuil di hatinya perasaan perih? Ah, barangkali ada. Di manapun seorang wanita mempunyai perasaan halus dan peka. Dan aku bukanlah seekor binatang. Aku punya perasaan dan pemikiran yang normal. Duh, kalau begitu apa yang kulakukan selama ini adalah kejam. Kejam terhadap seorang istri yang memiliki hati mulia.

"Ma?" suara Fendy serak.

"Ya?"

"Kenapa mama tetap bersikeras tidak mau menjalani operasi?"

"Papa sudah lupa sama janjinya? Bukankah papa sudah berjanji tidak akan memaksa mama untuk menjalani operasi?"

Fendy menarik napas panjang. Entah kenapa.jadi timbul keraguannya. Keraguan untuk meneruskan keinginannya menikah dengan Dewi mungkin lantaran sifat Yeti melebihi segala-galanya bila dibandingkan dengan Dewi. Memang. Memang, begitu kenyataan yang dialami lelaki itu. Selama hampir sepuluh tahun mereka menjalani hidup bersama, tak pernah ada pertengkaran yang serius. Saling mengerti dan menyelami perasaan masing-masing. Saling mengisi bila terdapat kekurangan. Dalam menghadapi penderitaan yang pahit dan getir sekalipun, Yeti tak pernah mengeluh. Dia selalu sabar. Selalu setia mendampinginya. Haruskah perempuan itu tersisihkan dari hidupnya yang sekarang? Padahal perempuan itu menjalani hidup bersama Fendy sejak dari miskin. Lantas setelah sekarang kaya harus menerima nasib getir? Fendy yang sekarang sudah menjadi top star akan menikah lagi dengan perempuan lain. "Sebenarnya di hati kecilku meronta, Ma. Apa sebenarnya yang akan papa jalani itu? bukankah kalau aku menikah lagi akan terjadi jurang pemisah di antara kita, Ma? Cinta dan kasih sayang papa akan terbagi dua. Sedangkan papa tidak menginginkan hal itu." kata Fendy merasa jengkel dengan kenyataan yang akan dijalani.

"Pa, sebelum papa berkata demikian, mama sudah membayangkan semuanya itu. Tapi mama rela menerima kenyataan yang getir sekalipun. Karena mama masih ingin mengasuh anak-anak kita. Mama masih ingin hidup lebih lama lagi. Itulah sebabnya mama merelakan papa menikah dengan gadis manapun yang papa cintai. Tak lain agar hidup papa bisa bahagia."

Fendy memeluk istrinya. Membelai rambut perempuan itu dengan penuh kasih sayang. Membuat perasaan Yeti teriris-iris. Kedua matanya jadi hangat. Oh, aku tidak boleh menangis. Aku harus menjalani kenyataan dengan tabah. Aku harus rela menerima apa pun yang akan terjadi, kata perempuan itu dalam hati. Maka dia berusaha menahan jatuhnya air mata. Kemudian dia tersenyum sambil menatap suaminya.

"Papa jangan sedih dong, Pa. Jemputlah Dewi di stasiun kereta api."

"Ah, biarlah."

"Papa tidak boleh begitu ya? Papa harus menemui Dewi."

Bimbang perasaan lelaki itu.

"Jangan ragu-ragu, Pa. Jemputlah dia dan ajaklah menemui mama. Mau kan, Pa?" desak Yeti berharap sekali.

"Baiklah. Papa akan mengajak Dino menjemput Dewi."

Yeti merasa lega. Gembira hatinya..."Apakah Dewi mau seterusnya menetap di Jakarta?"

"Papa belum tahu. Cuma kemarin papa menghubungi Yosep. Mama masih ingat sama Yosep kan?"

Perempuan itu mencoba mengingat-ingat..."Yosep yang punya percetakan?"

"Benar. Dari pada Dewi di Jakarta tidak ada kesibukan, dia bisa kerja di bagian tata usahanya. Itu kalau Dewi mau menetap seterusnya di Jakarta."

"Yosep mau menerimanya?"

"Ya. Tapi papa bilang bahwa Dewi masih adik kandung mama."

Ada senyum merekah di bibir perempuan itu..."Biarlah, untuk meyakinkan Yosep, mama akan menemui lelaki itu dan mengakuinya kalau Dewi memang benar-benar adikku."

"Itu lebih siiip," kata Fendy girang.

"Kapan papa mau menemui Yosep?"

"Papa bicarakan sama Dewi dulu, apakah dia mau bekerja di kantor Yosep. Karena hal ini kan belum papa bicarakan sama Dewi. Dia mau atau tidak kita belum tahu."

Inikah lelaki yang namanya egois, manakala istrinya sudah tak mampu memberikan kebahagiaan? Inikah lelaki yang maunya enak saja, manakala sudah menemukan perempuan yang melebihi istrinya? Inikah lelaki yang menganggap perempuan hanya obyek sex saja, manakala keadaan istrinya sudah tak berdaya? Inikah, ya inikah.... inikah dianggap kesempatan untuk berpoligami? Serentetan inikah berputaran di benak Fendy. Betapa tidak? Selama dia menjalin hubungan dengan Dewi, sudah setumpuk membohongi istrinya. Mendustai perempuan yang berhati mulia itu. Perempuan yang selama ini selalu percaya kepadanya. Tak pernah punya prasangka. Dan apa yang diucapkan setulus hatinya. Seperti apa yang dilakukan perempuan itu disuatu sore. Sore yang cerah. Secerah hati dan wajahnya. Mana ada seorang istri yang memberi semangat kepada suaminya untuk menjemput perempuan lain. Perempuan yang dicintai suaminya. Dan sore itu Yeti merapikan dandanan Dino. Anak kecil itu akan ikut papanya menjemput Dewi. Ria merasa iri karena yang diajak cuma Dino.

"Kak Dino mau ikut papa ke mana sih?" tanya Ria.

"Menjemput tante Dewi."

"Tante Dewi itu siapa sih, Ma?"

"Adiknya papa," kata Fendy menimpali.

"Papa punya adik?"

Yeti mengangguk. Anak ini tidak boleh tahu apa yang akan terjadi. Ya, kedua anakku tidak boleh tahu sekarang. Biarkan kelak dia tahu dengan sendirinya. Selesai mendandani Dino, Yeti mengantar Fendy dan anaknya itu sampai ke teras. Karena saking girangnya, kaki Dino terpeleset ketika hendak naik ke dalam mobil. Anak itu terjatuh dan kepalanya membentur tanah. Yeti menjerit. Segera ditolongnya anak itu. Begitu pula Fendy. Dino menangis.

"Cup, cup sayang. Anak laki-laki cuma jatuh begitu aja menangis, malu dong," kata Fendy sambil mengelus-elus rambut anaknya. Sementara dia merasakan ada suatu firasat tak enak. Kenapa justru anaknya jatuh selagi mereka akan menjemput Dewi? Apa gerangan yang akan terjadi? Tapi Fendy lebih ingin tahu. Ingin membuktikannya. Setelah Yeti mengangkat Dino dan anak itu duduk di jok depan, dia menarik napas berat. Apa yang akan terjadi? Itu saja pertanyaan yang bergumul di otaknya. Lalu dia menstater mobilnya.

"Papa pergi, Ma."

Yeti yang berdiri di teras tersenyum penuh pengharapan. Fendy meluncurkan mobilnya menuju jalan Utan Kayu..."Kepalanya masih sakit, Yang?" tanya Fendy pada Dino yang duduk bersandar di jok. Anak itu kelihatan memelas sekali. Membuat perasaan Fendy jadi perih. Apa yang kulakukan ini? Apa yang kuingini dalam hidup ini sebenarnya? Dino yang tak tahu apa-apa ini telah ikut menjadi kambing hitamnya.

"Dino kepingin dibelikan apa? Ayo ngomong saja sama papa?" bujuk Fendy untuk menyenangkan perasaan anak itu. Anak itu cuma menggelengkan kepalanya.

"Sungguh?"

Kepala bocah itu mengangguk. Fendy menarik napas berat. Seberat himpitan yang ada di dadanya. Dan mobil yang dikemudikan telah sampai di depan rumah Dewi..."Dino tunggu di sini sebentar ya?"

Bola mata anak itu nampak gelisah bercampur rasa takut.

"Sebentar saja ya? Dino kan anak papa yang pemberani. Masak tunggu di dalam mobil saja takut?"

Akhirnya kepala bocah itu manggut. Sekalipun dia takut, terpaksa menuruti kata ayahnya.

"Nah, begitu dong. Itu baru namanya anak manis. Papa turun dulu ya?"

"Jangan lama-lama ya, Pa."

"Tentu."

Fendy mencium pipi anak itu. Lalu dia melangkah turun dari mobil. Dino duduk sendiri di dalam mobil sambil mendengarkan musik. Fendy sebentar-sebentar menoleh ke arah anaknya seraya melangkah menuju ke pintu rumah. Irena segera menyambutnya.

"Dewi sedang pergi, Mas."

"Ke mana?"

"Ke Karawang. Tadi siang di jemput oleh saudaranya yang ada di Karawang."

Fendy termenung. Inikah kenyataan yang dapat kubuktikan dari firasatku tadi? Bukankah tiga hari yang lalu Dewi berjanji untuk dijemput? Dia yang membikin janji itu, tapi dia pula yang mengingkarinya.

"Apakah nanti Dewi pulang?"

"Tidak. Dia menginap di sana."

"Baiklah, aku permisi. Tolong beri tahu Dewi, kalau sore ini aku menjemputnya bersama Dino."

"Ya, ya, ya. Besok siang mungkin dia sudah kembali."

Fendy mengayunkan langkahnya dengan perasaan kecewa. Duduk di belakang stir dengan lesu.

"Mana tante Dewi, Pa?" tanya Dino.

"Tante Dewi pergi," jawab Fendy sembari meluncurkan mobilnya. Dino juga nampak ikut kecewa. Namun lebih kecewa apa yang dialami Fendy. Dia jadi teringat ucapan Resti yang dulu menceritakan tentang kehidupan Dewi. David. Ya, lelaki itu masih punya hak atas Dewi. Dia belum menceraikan perempuan itu secara syah. Maka bisa saja kalau malam ini Dewi menginap di sana. Tidur seranjang dengan lelaki itu. Ah! terlalu gampangnya aku dipermainkan perempuan itu. Betapa bodohnya aku! Ternyata Yeti sudah berdandan rapi. Perempuan itu sengaja ingin menyambut Dewi dengan keramahannya. Ingin menghormati perempuan yang akan dapat membahagiakan hidup suaminya. Terlalu aneh agaknya. Tapi ini memang kenyataan. Maka begitu melihat suaminya datang, dia buru-buru menyambut di teras. Tapi dia jadi termangu. Termangu lantaran di dalam mobil itu tidak terdapat perempuan yang ditunggunya. Diharapkannya datang.

"Mana Dewi, Pa?"

"Dia sedang pergi ke rumah familinya di Karawang," sahut Fendy dengan lesu. Terus melangkah masuk ke ruang tamu. Fendy duduk lesu di kursi. Yeti menghenyakkan pantatnya di sebelah suaminya. Sesaat dia mengamati wajah suaminya yang murung dan lesu. Dia dapat ikut merasakan kalau suaminya saat itu sedang kecewa.

"Papa tidak perlu kecewa dan lekas putus asa. Besok papa kan masih bisa menemui Dewi," kata Yeti sambil mengelus-elus rambut suaminya. Fendy cuma menarik napas berat. Ditatapnya wajah Yeti. Lalu dipeluknya perempuan itu, dia kepingin menangis di pangkuan perempuan itu. Perempuan yang selama ini menjadi tumpuan kesedihannya.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Malas rasanya membaca skenario film. Rasa malas itu dialami Fendy sejak semalaman. Pikirannya masih diobrak-abrik oleh perempuan yang namanya Dewi. Perempuan itu telah membuat kecewa dua insan. Dirinya dan istrinya. Jadi untuk apa terus dipikirkan? Barangkali dia mau kembali pada David. Kalau perempuan sudah bermalam dirumah suaminya, yang belum sah menceraikannya, pasti akan tidur seranjang. Rasa kebersamaan pasti akan timbul lagi dalam jiwa mereka. Itu saja yang membayangi di benak Fendy. Jadi lebih baik mundur secara perlahan. Bisakah aku melupakan perempuan itu? Bisakah? Fendy menutup skenario yang malas untuk dibacanya. Lalu dia memandang istrinya yang sedang bermain dengan Ria. Dan tiba-tiba perempuan itu berteriak kegirangan.

"Dewi dataaaang! Dewi datang, Pa!"

Kegirangan itu seperti anak kecil yang sudah sekian lama ditinggal pergi oleh ibunya. Fendy melompat turun dari tempat duduknya. Dia buru-buru lari ke ruang tamu. Ternyata Dewi sudah disambut oleh Yeti dengan ramah. Dengan sikap seperti sudah bersahabat lama. Diam-diam Fendy merasa terharu melihat sikap istrinya.

"Mas Fendy semalam menjemput adik kerumah, tapi adik sedang pergi ke Karawang," kata Yeti sambil menggandeng Dewi masuk ke ruang tamu.

Fendy pura-pura menyalami tangan Dewi. Jantungnya berdebar-debar..."Apa kabar, Dewi?" tanya Fendy yang seolah-olah baru jumpa saat itu.

"Baik-baik, Mas."

"Silakan duduk."

Dewi menghenyakkan pantatnya ke kursi. Yeti duduk di sebelah perempuan itu. Dia sengaja berbuat begitu agar Dewi merasa tidak canggung.

"Padahal tadi aku sudah berkali-kali menyuruh mas Fendy menjemput adik, tapi bilangnya entar-entar melulu. Coba tadi kalau mas Fendy ke sana, adik kan tidak susah-susah datang ke mari," kata Yeti sembari tersenyum.

"Kalau mas Fendy ke sana, malah tidak ketemu saya, Mbak. Soalnya saya baru saja pulang dari rumah famili yang ada di Karawang," balas Dewi sambil menundukkan muka.

"Susah cari alamat sini?"

"Ah, tidak. Banyak orang yang kenal sama mas Fendy jadi gampang mencarinya."

"Sebentar ya, mbak mau ke belakang. Jangan sungkan-sungkan ya? Ngobrol aja yang santai sama mas Fendy."

Dewi mengangguk sembari tertunduk. Dia pura-pura alim dan kalem. Lalu Yeti berjalan masuk ke ruang dalam. Di ruang tamu itu tinggal mereka berdua. Fendy menatap wajah Dewi. Dewi membalas tatapan lelaki itu. Mereka saling bertatapan.

"Tak, kusangka kalau kau akan datang ke mari sendiri," kata Fendy.

"Karena Irena memberi tahu kalau mas Fendy kemarin datang ke rumah bersama Dino. Maafkan Dewi, Mas."

"Bagaimana kabarnya David?"

Dewi jadi gelagapan..."Ba... baik-baik saja."

"Mau rujuk kembali?"

Kelopak mata Dewi terangkat. Bola matanya berbinar-binar kerisauan..."Papa kok bertanya begitu sih?"

"Sudah sepatutnya kan?"

Perempuan itu jadi nampak kesal..."Kalau begitu biarlah Dewi pulang saja."

"Eit, jangan. Apa penilaian mbak Yeti nanti?"

"Habisnya papa begitu sih?" Dewi cemberut. Fendy jadi tersenyum. Cemberutnya perempuan itu dirasa menggoda hatinya. Dia merasa tak mampu untuk melupakan perempuan itu. Benar-benar tak mampu.

"Ya, deh. Papa nggak begitu lagi."

Dewi tersenyum lagi. Dia merasa harus bisa membawakan penampilan yang alim dan kalem. Dia harus bisa menunjukkan seolah-olah baru berjumpa dengan Fendy, setelah sekian bulan tak bertemu.

"Mana mbak Yeti?"

"Barangkali sedang membuatkan minuman. Atau mungkin dia sengaja memberi kesempatan pada kita untuk berbicara lebih bebas."

"Tapi nggak enak, Pa. Panggil mbak Yeti deh, kita ngobrol bersama-sama."

Fendy mengerti apa yang dirasakan perempuan itu. Bukankah selama ini aku sudah lebih dari cukup berduaan dengan Dewi? Kenapa sekarang aku berduaan di sini tanpa menghiraukan istriku? Ini memang keterlaluan. Maka Fendy segera menemui Yeti yang sedang membuatkan minuman di dapur. Ditemani Dino dan Ria.

"Ma, ayo dong temani ngobrol Dewi," ajak Fendy.

"Papa dulu yang temani dia ngobrol. Berbicara lah perlahan dari hati ke hati." Yeti berkata sambil mengaduk minuman.

"Nggak ah, sama mama saja ngobrolnya."

"Jangan begitu, Ma. Nanti dikiranya mama tidak menyukai kedatangannya. Ayolah, Ma."

"Nanti mama malah dikira mengganggu."

"Mama jangan ngomong begitu dong."

"Ayo, ayo mama temani. Dino, suruh mbok Nah mengantarkan minuman ke meja tamu ya? Dan kamu sama Ria main di taman saja."

"Baik, Ma."

Lalu Yeti menemani suaminya kembali ke ruang tamu. Dewi menyambut kemunculan Yeti dengan seulas senyuman ramah. Mereka duduk bertiga di kursi-kursi tamu itu.

"Papa sudah bicara sama Dewi?"

"Soal apa?"

"Soal papa mencarikan pekerjaan Dewi."

"Belum." Fendy pura-pura belum pernah memberi tahu. Padahal hatinya kepingin tertawa. Begitu juga Dewi. Tapi keduanya telah mampu menunjukkan kepura-puraannya dengan sempurna.

"Begini Dewi, kalau Dewi memang benar mau menetap di Jakarta, mas Fendy sudah mendapatkan pekerjaan untuk dik Dewi," kata Yeti.

"Di mana. Mbak?"

"Di kantor penerbitan majalah. Kebetulan pemiliknya kawan lama kami, jadi tidak banyak kesulitan menerima adik bekerja di sana. Mau kan. Dik?"

"Terima kasih, Mbak. Saya senang sekali mendengarnya."

Fendy cuma tersenyum.

"Adik masih tinggal di tempat kost yang dulu?"

"Saya kepingin pindah dari situ. Mbak."

"Pa, kalau Dewi kepingin pindah, tolong dong carikan tempat kost yang lain," kata Dewi pada suaminya.

"Di mana?"

"Coba cari di iklan koran." Yeti mengambil beberapa lembar koran di bawah meja. "Mari kita cari di iklan koran bersama-sama."

Mereka membaca iklan di surat kabar itu.

"Mencari tempat kost itu tidak gampang dan cepat, Ma," kata Fendy. "Mesti melihat tempatnya dulu cocok atau tidak. Dan membutuhkan waktu dua hari paling cepat."

"Kalau begitu dik Dewi tinggal di sini dulu ya? Sampai adik mendapatkan tempat kost yang cocok," balas Yeti.

"Ah, terima kasih, Mbak. Terlalu merepotkan saja."

"Nggak apa-apa. Nggak apa-apa."

"Biarlah untuk sementara saya tinggal di rumah famili saya yang ada di Karawang."

"Pa, bagaimana?" tanya Yeti pada suaminya.

"Papa mau coba mencari tempat kost siang ini."

"Iya, Pa. Tolonglah dik Dewi."

Dewi jadi terharu juga melihat perhatian Yeti yang begitu besar terhadapnya. Lalu timbul kerisauan di dalam hatinya. Sampai hatikah aku menyakiti perasaan perempuan sebaik ini? Sampai hatikah aku merebut suaminya? Di manakah naluriku sebagai perempuan yang punya perasaan halus? Aku jadi tak tahan lebih lama di sini. Sebening-beningnya air sirih akan terasa pahit juga. Dewi jadi teringat ucapan Irena.

"Kalau begitu, biarlah siang ini saya cari tempat kost sendiri, Mbak."

"Jangan. Jangan sendiri. Mas Fendy harus mengantarmu mencari tempat kost sampai dapat," ujar Yeti.

"Tapi saya akan merepotkan."

"Tidak. Sungguh tidak merepotkan kami"... Yeti berkata dengan tulus.

"Pa, antarkan Dewi cari tempat kost."

"Sekarang?"

"Ya, sekarang." Dewi menyahut.

"Baiklah."

Mereka berdiri dari tempat duduknya..."Sering-sering main ke mari Dewi." kata Yeti penuh harap.

"Tentu, Mbak. Dewi permisi dulu." Sebelum Dewi naik ke dalam mobil, Yeti memeluk perempuan itu dengan penuh kasih sayang. Lalu dicium kedua pipi perempuan itu.

"Banyak yang ingin mbak Yeti katakan kepadamu, Dik. Lain waktu mbak Yeti mengharapkan kita bisa jumpa lagi."

"Dewi pasti akan menemui mbak Yeti lagi."

Dino dan Ria berlari-lari mendekat karena mendengar suara mobil ayahnya menderum-derum..."Papa mau ke mana? Papa mau ke mana," Tanya kedua anak itu sambil berlari mendekati ibunya.

"Papa mau mengantar tante Dewi pergi. Ayo beri salam dulu sama tante," perintah Yeti.

Kedua anak itu segera mencium tangan Dewi. Dewi mencium pipi kedua anak itu.

"Tante pinjam papa kalian dulu ya?"

"Beliin permen ya, Tante."

"Hush!" bentak ibunya.

"Biarkan saja, Mbak. Ya, ya, ya. Nanti akan tante belikan permen."

Dewi naik ke dalam mobil. Tertikam rasanya jantung perempuan itu menyaksikan Yeti dengan kedua anaknya. Bagaimana tidak? Dia telah merasa membawa pergi seorang suami yang memiliki istri dan dua orang anak. Dan mereka menyaksikan dengan pancaran mata gembira. Benarkah mereka gembira? Sebagai seorang istri tentu merasakan perih. Ya, hati perempuan itu pasti perih. Maka Dewi terus melambaikan tangan kepada Yeti dan kedua anak itu. Sampai mobil itu jauh, tak dilihatnya lagi. Perempuan macam apakah aku ini? pikir Dewi mengintropeksi diri. Dia jadi termenung di dalam mobil yang meluncur itu.

"Kenapa termenung, Ma?" tanya Fendy.

"Aku kasihan dan tak sampai hati melihat mbak Yeti."

"Kalau kasihan terus bagaimana?"

"Aku kian merasa berdosa kepadanya."

"Lebih berdosa kalau kau mengecewakan pengorbanannya. Dia benar-benar mengharapkan supaya mama mau menikah dengan papa."

Helaan napas Dewi terdengar keras. Tidak! Aku tak sampai hati menyakiti perasaan perempuan itu. Dia terlalu baik. Dia terlalu mulia. Sedangkan aku ini apa? Apa? Apa?

"Kita mau ke mana, Ma?"

Dewi tersentak. Intropeksi diri lenyap.

"Terserah."

Terserah. Ke mana lagi kalau Fendy tidak membawa perempuan itu ke hotel. Barangkali puncak dari segala acara mereka bermuara di ranjang. Lelaki yang kesepian bertemu dengan perempuan yang pendiriannya sering berubah-ubah. Perempuan yang suka memburu cinta. Dan yang akhirnya berjumpa dengan dambaan kalbunya. Maka akan sepuas-puasnya direguk madunya cinta. Bukan saja kemesraan, melainkan dia menginginkan keturunan dari lelaki itu. Meskipun dia tak dapat memiliki lelaki itu, rasanya ada pertalian jiwa bila dia dapat mempunyai keturunan. Barangkali dengan begitu dia akan bisa melampiaskan kerinduan dan kasih sayangnya terhadap anaknya itu. Hawa di Jakarta memang lain dengan hawa di Puncak. Pendapat begitu orang bodoh pun dapat membedakannya. Dan orang bodoh pun kalau seterusnya dibohongi akan mempunyai keberanian untuk bertanya. Itu apa? Itu bagaimana? Dan seterusnya. Akhirnya orang bodoh itu jadi ingin tahu. Begitu pun Fendy. Sejak Dewi pulang dari Karawang, dia ingin mengetahui kebenaran ucapan Resti.

"Kau belum dicerai David kan?"

Dewi yang duduk berjuntai di ranjang mengerjap-ngerjapkan matanya..."Sudah."

"Mama jangan berbohong."

"Sudah. Sekarang sudah."

"Kapan di cerainya?"

"Kemarin."

"Karena kau mau menikah dengan Agus?" Bola mata perempuan itu jadi resah.

"Terus teranglah, Ma."

"Aku bingung. Aku tak dapat menentukan hari depanku," keluh Dewi yang kemudian berbaring di sisi Fendy.

"Jangan bingung. Selama kau masih bimbang, semua orang yang mencintaimu akan terombang-ambing. Selama ini aku selalu berdiam diri. Tidak ingin bertanya lagi tentang kehidupanmu. Tentang apa yang kau cari dalam hidup ini. Tapi kuharap malam ini, kau mau mengatakannya sendiri. Apa yang pernah diceritakan dari Resti ataupun Tika, belum sepenuhnya kupercayai. Aku ingin kau mau berterus terang kepadaku sekarang."

Dewi memiringkan kepalanya sehingga menghadap Fendy, menarik napas panjang. Ada segumpal kesedihan di dada perempuan itu. Kedua matanya mulai nampak digenangi air yang berkilaukilau. Dan tangannya tiba-tiba mendekap erat tubuh Fendy. Meledaklah tangis perempuan itu. Seakan-akan gunung yang selama ini menyimpan gemuruhnya lava, yang tak dapat lagi dicegah ledakannya. Tangis itu menyayat hati Fendy.

"Papa jangan membenci mama. Papa jangan membenci mama," ratap perempuan itu sambil mendekap erat tubuh Fendy.

"Papa tidak akan membencimu, kalau mama mau berterus terang."

"Mama dipaksa menikah dengan Agus. Tapi mama sudah terlanjur mencintai papa. Mama tidak mungkin bisa meninggalkan papa," kata Dewi di sela-sela tangisnya.

"Semua itu ada di tanganmu, Ma. Mama mau menuruti paksaan orang tua ataupun tidak"...Fendy membelai rambut perempuan itu penuh kasih sayang.

"Tapi mama ingin berbakti pada orang tua, Pa. Selama hidup mama belum pernah sekalipun menyenangkan mereka. Dewi selalu mengecewakan mereka."

"Kalau begitu turuti saja kehendak orang tuamu."

"Dewi tidak bisa meninggalkan papa. Dewi tidak bisa, Pa." Tangis perempuan itu semakin berkepanjangan. Semakin menyayat.

"Jadi selanjutnya bagaimana? Apakah papa harus tetap menunggu kepastian dari mama? Kapan? Kapan kepastiannya itu? Jangan jadikan diriku tempat persinggahanmu, Ma. Jangan... jangan oh jangan. Kupinta kepadamu jangan jadikan diriku sebagai tempat pelarianmu," kata Fendy dalam desah.

"Papa jangan benci mama. Mama terlalu sayang pada papa," pinta perempuan itu dengan isak tangisnya.

"Kalau mama benar-benar mencintai papa, tolak lamaran Agus. Mari kita cepat-cepat menikah."

Dewi tak bisa menjawab. Hanya tangisnya yang meratap-ratap.

"Bagaimana, Ma?" Dewi tak bisa menjawab. Hanya tangisnya yang meratap-ratap.

"Bagaimana, Ma?"

"Dewi tak sampai hati menyakiti perasaan mbak Yeti. Merebut cinta dan kasih sayang papa dari perempuan sebaik dia."

"Kau ini membingungkan papa," keluh Fendy kesal.

"Jangan marah, Pa. Jangan benci mama."

"Iya, tapi bagaimana? Bagaimana? Aku ini harus bagaimana? Padahal telah kuberikan semua cinta dan kasih sayangku kepadamu. Apa lagi yang masih kurang? Ayo katakan apalagi? Apalagi yang mesti aku lakukan untukmu?" ucap Fendy disertai gejolak emosinya.

Dewi tak bisa menjawab. Dia mendekap lebih erat tubuh lelaki itu. Tangisnya menyayat-nyayat hati Fendy.

"Kalau masih belum bisa memutuskan sekarang, cukup dengan mama mau bekerja di kantor majalah. Itu berarti mama lebih berat kepada papa dibandingkan dengan Agus. Dengan bekerja yang terhormat, mama bisa hidup mandiri. Bisa menunjukkan pada orang tua ataupun Agus, bahwa mama punya prinsip. Hidup berumah tangga tidak bisa dipaksa."

Dewi melepaskan pelukannya. Dan ditatapnya wajah Fendy dalam-dalam. Aku tak ingin mengecewakannya. Aku harus dapat menyenangkannya pada hari ini. Maka diciumnya pipi lelaki itu.

"Mama akan menuruti kemauanmu, Papa. Besok bawalah mama ke kantor majalah itu. Bawalah," kata Dewi cuma untuk menyenangkan lelaki itu. Dia tak ingin membuat kemesraan itu jadi berantakan. Tak ingin dibenci lelaki itu.

"Sungguhkah itu?" tanya Fendy hampir tidak percaya. Dewi mengangguk. Fendy jadi girang.

"Berarti mama bersedia menikah dengan papa?"

"Sejak pertama mama menemani papa tidur seranjang, di hati mama sudah menyatakan menjadi istri papa."

Fendy menyeka air mata yang membasahi pipi perempuan itu..."Keinginan papa bukan cuma di ranjang mama menjadi istri papa. Tapi sesuai dengan hukum agama dan kewajiban kita sebagai suami istri yang sah. Kesetiaan mama, kasih sayang mama, juga cinta mama. Susah senang kita alami bersama."

Dewi tersenyum. Senyum di wajah perempuan itu bagai terlapisi derita. Derita yang dipendam dalam dada..."Papa masih ingat pertemuan kita yang pertama?" tanya Dewi berusaha membuang kesedihannya. Dia berubah ceria. Berubah sangat menyayangi lelaki itu berlebih-lebihan.

"Masih. Kenapa?"

"Papa masih ingat waktu itu pakai kaos warna apa?"

"Kaos warna merah."

"Celananya?"

"Levis"

"Besok lagi kalau papa mau mengajak mama pergi pakai pakaian itu ya?"

"Mama suka papa mengenakan pakaian itu?"

Dewi mengangguk sambil tersenyum. Senyum itu teramat manis dipandang Fendy, namun di dalam hati perempuan itu teramat pedih. Lalu Fendy memeluk perempuan itu erat. Dihujani dengan ciuman yang bertubi-tubi. Dewi membalas tak kalah hangatnya dengan lelaki itu. Semua kemesraan. Semua kehangatan seolah-olah dicurahkan hingga rasanya tidak tersisa lagi.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Entah kenapa Fendy jadi nampak berlebihan. Siangnya dia pergi ke salon untuk mencukur rambutnya. Dia jadi nampak lebih muda sepuluh tahun dibandingkan usianya sekarang. Jadi kayak anak remaja yang baru tumbuh dewasa. Apalagi di malam harinya dia mengenakan kaos merah dan celana levis. Benar-benar kelihatan masih bujangan. Malam itu dia berniat mengajak Dewi nonton film. Berita tentang suksesnya film G30S/PKI membuatnya penasaran ingin menyaksikan. Dan selama ini dia hanya disibukkan dengan Dewi yang cuma bermuara di ranjang. Maka ingin rasanya malam ini dia bisa santai menonton film. Selesai berdandan dia ke luar dari kamar. Dilihat istrinya sedang menemani kedua anaknya belajar. Dan Yeti menoleh ketika mendengar detak-detak suara sepatu suaminya.

"Sudah dapat tempat kost, Pa?" tanya Yeti.

"Belum, Ma."

"Jadi Dewi tinggal di mana sekarang?"

"Di Karawang."

"Suruh saja dia tinggal di sini, Pa."

"Dia takut merepotkan kita, Ma."

"Ah, nggak apa-apa. Tinggal di Karawang kan jauh, Pa, kalau papa mau menemui Dewi."

"Biarlah untuk sementara."

"Papa sudah mengutarakan maksud hati papa?"

"Perlahan-lahan dong, Ma. Masak baru jumpa dua kali sudah membicarakan hal itu. Mudah-mudahan malam ini papa dapat mengatakannya."

"Semoga berhasil, Pa. Mama doakan dari sini."

Fendy mencium pipi Yeti. Lalu berpindah mencium kedua anaknya. "Papa pergi Ma?"

Perempuan itu cuma mengangguk. Fendy mengayunkan langkahnya ke luar rumah. Di luar malam begitu cerah. Ada rembulan bergayut di langit. Bintang-bintang bertaburan di malam yang indah itu. Namun lebih indah buat Fendy ketika melihat Dewi mengenakan pakaian merah dengan kombinasi hitam. Merah dan hitam memang kesukaan perempuan itu. Dari tempat kost Utan Kayu, mereka berdua mencari kegembiraan di luar rumah. Dan malam itu Dewi tak henti-hentinya memandang Fendi yang sedang mengendarai mobil di sisinya. Sehingga keduanya sering bertukar pandang. Bertukar senyuman. Mesra sekali.

"Kita nonton film G 30 S PKI, mama mau nggak?" tanya Fendy.

"Terserah papa."

"Jadi kalau begitu mau? Ya."

"Kita nonton yang dekat-dekat sini saja. Soalnya film itu sudah tidak lagi main di gedung kelas atas."

"Di mana mainnya sekarang?"

"Cempaka theatre. Malu nggak nonton di bioskop murahan?"

"Justru mestinya mama yang bertanya begitu sama papa."

"Ah, nggak. Habis mau nonton di mana lagi? Kalau tidak sekarang bisa-bisa kita tidak sempat menonton film itu. Papa penasaran karena film itu sangat sukses main di gedung-gedung bioskop."

Dewi manggut-manggut sambil memperhatikan lelaki yang mengemudikan mobil itu. Ada binar-binar kekaguman di mata Dewi.

"Kenapa mama kalau memandang papa senyum-senyum terus sih? Ada yang lucu ya?"

"Malam ini papa seperti remaja yang baru meningkat dewasa. Kayak anak SMA," kata Dewi sambil mengusap-usap rambut lelaki itu dengan mesra.

"Oya? Padahal bulan depan ulang tahun papa yang ke tiga puluh tahun. Pantaskah papa di katakan kayak anak SMA?"

"Benar kok, mama tidak berbohong. Mungkin orang lain tidak percaya kalau papa sudah beristri dan punya anak dua."

Fendy tertawa renyah..."Ya, kita memang kayak remaja yang mabok pacaran."

Dewi mencubit paha lelaki itu. Fendy meringis karena menahan rasa sakit.

"Kapan genapnya usia papa yang ke tiga puluh tahun?"

"Tanggal dua puluh sembilan Nopember nanti."

"Mau diadakan pesta?"

"Ya. Pesta itu sifatnya pribadi. Yang papa undang cuma mama. Papa ingin ulang tahun papa itu berkumpul orang yang papa cintai. Mama, Yeti dan kedua anak papa saja. Mama mau datang kan malam ulang tahun papa?"

"Tentu."

Mobil mereka memasuki arena parkir didepan gedung super market Cempaka Putih. Begitu Fendy dan Dewi turun dari mobil, perhatian semua orang tercurah pada pasangan ini. Dengan tenang Fendy memeluk bahu Dewi naik di anak tanggi. Bioskopnya ada di lantai dua. Semua orang yang menyapa Fendy dibalas dengan senyum ramahnya. Dan rupanya dia tidak perlu bersusah-payah antri karcis karena ada orang yang bersedia membelikan di loket. Dia cuma memberikan uangnya saja. Soalnya orang-orang yang antri di depan loket minta ampun berjubelnya. Panjang lagi. Setelah mendapat karcis, Fendy dan Dewi terpaksa menunggu di teras gedung bioskop itu. Ternyata di teras itu sudah berjejal orang-orang yang memiliki karcis. Mereka tinggal menunggu penonton yang belum bubar. Dewi memandang dari ketinggian teras itu ke jalan raya. Di bawahnya masih terlihat pengunjung yang hendak menonton film itu.

"Memang ramai peminatnya untuk menonton film ini," kata Fendy yang meletakkan kedua sikutnya di tembok yang tingginya cuma sebatas dada. Dia memandang ke bawah.

"Barangkali saja filmnya bagus, Pa."

"Mungkin. Tapi selera penonton memang sulit ditebak, Ma. Yaah, mungkin penonton hanya ingin tahu kekejaman pemberontakan PKI saja."

Angin malam bertiup semikir. Tapi rasa gerah tetap dirasakan Fendy karena orang di sekitarnya berjejal-jejal. Ibarat Fendy gula, mereka adalah semutnya. Sehingga mereka saling berdesak-desakan ingin mendekati Fendy. Fendy baru bisa menghela napas lega setelah duduk di dalam gedung bioskop. Di sisinya duduk orang tercinta. Dan ketika pertunjukan sudah dimulai, dipeluknya bahu perempuan itu dengan mesra. Dan keduanya merasakan seperti anak remaja yang mabok pacaran. Bercanda. Saling meremas jari tangan dan berkasih-kasihan. Seolah-olah tak akan ada orang lain yang bisa mengalahkan kebahagiaan mereka saat itu. Dan bagi Dewi, malam itu tak akan bisa terlupakan dalam hidupnya. Dalam dirinya begitu merasakan seakan-akan kembali remaja. Biarlah kuresapi kebahagiaanku malam ini. Tak pernah kurasakan kebahagiaan seperti sekarang ini. Cerialah hati ini dari keresahan. Hangatlah hati ini dari kebekuan. Dari kepedihan yang kelam, yang hitam. Karena esok tak tahu apa yang akan kujalani dalam hidup ini.

"Kenapa kita tidak jadi muda lagi ya, Ma?"

"Tidak perlu kita menyesali usia, yang perlu kita sesali kenapa kita berjumpa, lalu bercinta setelah keadaan kita begini?" Ada kepedihan yang menyayat di hati perempuan itu.

"Mama ragu-ragu untuk menghalau rintangan kita?"

Dewi mencium jari tangan lelaki itu..."Biarkanlah mama memiliki semua cinta yang ada di hati papa." Lalu Dewi melepas cincin ring di jari manisnya. Cincin itu kemudian di masukkan ke jari manis Fendy.

"Pakailah cincin ini sebagai pertanda mama sangat mencintai papa."

Fendy ganti mencium jemari tangan perempuan itu..."Akan papa pakai terus cincin ini sampai akhir hayatku. Dan pemberian mama ini akan selalu mengingatkan papa kepadamu setiap saat."

Kepala Dewi menyandar di bahu Fendy. Terasa lelah juga menonton film dalam masa putar empat jam. Pantat mereka cukup pedas. Tapi mereka tidak jemu lantaran sambil menonton memadu kasih.

"Besok siang papa jemput ya?"

"Ke mana?"

"Ke kantor majalah."

"Berilah jawaban ya atau tidak, Ma?"

Dewi jadi berubah resah. Bagaimana dia bisa memutuskan ya atau tidak? Sedangkan dia harus menuruti kemauan orang tuanya.

"Bagaimana, Ma?"

"Terserah," kata Dewi dalam desah. Pikirannya jadi terombang-ambing, sulit rasanya untuk memberikan kepastian..."Tapi sebaiknya lusa saja papa menjemput mama," lanjut Dewi.

Bulan yang bertengger di langit bundar. Sinarnya yang keperakan membias ke seluruh permukaan bumi. Dan Fendy bersama Dewi tertimpa sinar rembulan itu, ketika mereka baru meninggalkan gedung super market. Semua toko-toko sudah tutup. Fendy merangkul bahu Dewi sembari melangkah mendekati mobil yang diparkir. Fendy mengajak Dewi ke Puncak, tapi gadis itu menggeleng.

"Kenapa?"

Perempuan itu nampak kecewa. Kecewa karena malam yang diinginkan bisa direguknya sejuta kenangan, tapi terjadi halangan. Begitupun apa yang diharapkan ingin mempunyai keturunan darah daging lelaki itu telah pudar. Di toilet bioskop tadi, dia mengalami menstruasi.

"Bulan sedang merah." kata Dewi lesu.

Fendy terdiam. Dia mencerna ucapan perempuan itu. Lalu dia tertawa.

"Tahu kan?"

Fendy mengangguk. Diciumnya pipi perempuan itu. Baru kemudian dia meluncurkan mobilnya meninggalkan tempat parkir itu dan mengantarkan Dewi pulang.


~~~ 💋💔💓💔💋 ~~~


Yeti sudah berpakaian rapi. Dia duduk di kursi tamu seorang diri. Fendy belum lama pergi menjemput Dewi. Siang itu Fendy ingin mengajak Yeti ikut serta ke kantor majalah. Namun setibanya Fendy di tempat kost, yang dijumpainya malah Tika. Tika yang sudah bersiap-siap untuk pergi.

"Dewi sudah pulang ke Surabaya kemarin," kata Tika.

Fendy termangu. Pulang? Dewi pulang keSurabaya? Tidak salahkah ini?

"Naik apa?"

"Kereta api. Jam tiga sore dia pergi dari sini."

"Tidak meninggalkan pesan apa-apa?"

"Dia meninggalkan sepucuk surat yang dititipkan pada Irena." Tika melangkah. "Yuk aku pergi dulu."

"Irenanya ke mana?"

"Sedang pergi ke luar sebentar. Tunggu saja," kata Tika keras karena sudah agak jauh melangkah. Lalu dia menyetop taxi. Taxi berhenti, dia buru-buru naik. Taxi itu meluncur lagi.

Pulang ke Surabaya? Itu saja pertanyaan yang bergumul di benaknya. Bukankah kemarin dia minta dijemput hari ini? Siang ini? Dan itu sebagai bukti kalau dia mau bekerja di kantor majalah. Sebagai bukti kalau dia bersedia hidup bersama denganku. Tapi kenapa tiba-tiba dia pulang ke Surabaya? Kenapa? Fendy mengamati cincin pemberian Dewi. Cincin itu masih melingkar di jari manisnya. Cincin inikah pertanda, bahwa dia akan meninggalkan aku? Dan dia pergi meninggalkan aku demi orang tuanya? Oh, betapa bodohnya aku. Selama ini aku telah menjadi lelaki yang paling bodoh. Ya, karena cinta membuat aku selalu gampang percaya. Percaya kepada Dewi yang hidupnya penuh misteri itu. Dan ibarat burung jinak-jinak balam. Dan aku menjadi bodoh gara-gara cinta. Di sini Fendy merasa kesepian sekarang. Di ruang tamu dia duduk sendiri tanpa teman. Selain rokok yang menemaninya dalam kesepian itu. Dan sebungkus rokok hanya tinggal dua batang di dalam kemasannya. Sedangkan di asbak puntung rokok sudah menumpuk. Waktu pun sudah bergeser selama satu jam lebih dia menunggu di situ. Sampai pantatnya pedas. Akhirnya yang ditunggu datang. Fendy melihat Irena baru turun dari taxi. Dan begitu melihat ada mobil Fendy, maka dia buru-buru lari masuk ke ruang tamu.

"Sudah lama menunggu?" tegur Irena.

"Satu jam lebih."

Irena menghenyakkan pantatnya di kursi..."Kemarin siang Dewi pulang ke Surabaya," kata Irena dengan wajah sendu.

Helaan napas lelaki itu terdengar keras. Seperti ingin melepaskan semua yang menghimpit di dadanya..."Dia tidak meninggalkan pesan apa-apa?".

"Ada. Dia meninggalkan sepucuk surat untuk mas Fendy. Sebentar ya mas, aku ambilkan." Irena bangkit dari tempat duduknya. Dia masuk ke kamarnya dan tak lama kemudian sudah ke luar lagi.

"Ini suratnya." Irena menyerahkan surat itu kepada Fendy. Fendy jadi tak sabar. Dirobeknya amplop surat itu dan dibacanya di situ juga.

Jakarta 24 Oktober 84

Mas Fendy yang baik hati. Di sini Dewi tidak bisa menulis terlalu berlebihan. Hanya cintaku terhadap mas Fendy akan kubawa sampai akhir hayatku nanti. Dan aku doakan semoga mas Fendy, mbak Yeti dan anak-anak berbahagia selalu dalam lindungan Tuhan yang maha pengasih. Mulai hari ini, aku tinggalkan Jakarta. Jakarta yang membuat aku kembali lagi ke Surabaya. Banyak hal yang tak mungkin bisa aku ceritakan di lembaran surat ini. Itulah sebabnya aku harus kembali ke kota kelahiranku.

Mas Fendy, aku cinta mas Fendy. Aku sayang mas Fendy. Aku yang ingin di samping mas Fendy, tapi kenapa mas Fendy secepatnya menyuruh aku memberikan keputusan Ya atau Tidak pada hari Kamis besok. Aku takut .... aku tidak bisa menjawab. Aku hanya bisa pulang ke Surabaya yang belum saatnya. Sebetulnya aku ingin di samping mas Fendy sampai bulan Desember nanti. Mas Fendy, maafkan Dewi. Jangan mas Fendy lupakan Dewi. Dewi terlalu mencintai mas Fendy walau Dewi jauh darimu, tapi hati Dewi, batin Dewi tetap jadi satu dengan kau papa.

Jangan sakit-sakit lagi, papa. Jangan tinggalkan mbak Yeti, sayang. Jadilah seorang suami yang setia. Jadilah seorang papa yang bijaksana. Dari yang mencintaimu : Dewi.

Fendy melipat surat itu dengan tangan gemetar. Lalu surat itu dimasukkan kembali kedalam amplopnya. Berjuta kepedihan meroyak-royak di dalam dadanya. Kedua kelopak matanya jadi hangat. Dan sebelum berbicara dia menarik napas berat dulu. Menghilangkan sesak di dadanya.

"Apa kau tahu sebabnya Dewi pulang ke Surabaya?" tanya Fendy kepada Irena.

"Dia bilang mau menikah dengan Agus."

Seperti ada sembilu yang menyayat hati lelaki itu. Permainan macam apa ini? Kenapa kalau Dewi benar-benar mau menikah tidak berterus terang? Terlalu kejam jika hubungan ini berakhir, dengan begini. Lalu Fendy berdiri.

"Aku pulang, Rena. Terima kasih ya." pamit Fendy. Dia terus melangkah meninggalkan tempat itu. Irena yang berdiri di kusen pintu termangu sedih memandang kepergian Fendy. Sampai dikelopak matanya bergenang air yang berkilau-kilau. Setumpuk kekalutan mengobrak-abrik pikiran dan perasaan Fendy. Sampai-sampai dia merasa ingin pergi jauh. Pergi jauh entah ke mana. Tapi kemudian dia jadi teringat Yeti. Teringat kedua anaknya. Jadi buat apa dia menyusahkan diri hanya untuk menuruti kemauan hati sendiri. Lalu dengan perasaan hancur dilarikan mobilnya pulang ke rumah.

Ternyata seorang wanita yang hidupnya penuh kesetiaan, tetap menunggu. Ya, tetap setia menunggu kedatangan Fendy dengan sabar. Tetap duduk di kursi tamu dengan mengenakan pakaian rapi. Dan manakala dia melihat mobil suaminya datang, buru-buru dia menyambutnya. Dia jadi bingung ketika tak dilihat suaminya datang membawa Dewi.

"Mana Dewi, Pa?" tanya Yeti.

Fendy tidak menyahut. Dia terus melangkah masuk ke dalam rumah. Masuk ke dalam kamar dan membanting dirinya di atas tempat tidur. Yeti tambah kebingungan. Perempuan itu duduk di pinggir tempat tidur. Di sisi suaminya.

"Ada apa, Pa?"

Fendy malah membenamkan mukanya kepermukaan bantal. Dari tangannya terjatuh amplop surat. Membuat jantung Yeti berdebar-debar. Apalagi begitu melihat nama pengirimnya. Dewi. Ah, jangan-jangan perempuan itu sudah pergi, pikir Yeti.

"Apakah Dewi tidak mau bekerja di kantor majalah?"

Fendy tetap belum mau menyahut. Yeti membelai rambut suaminya penuh kasih sayang.

"Boleh mama baca surat dari Dewi?" tanya Yeti hati-hati sekali. Yeti melihat kepala suaminya mengangguk. Lalu dibacanya surat itu. Setetes air mata perlahan jatuh di pipinya. Isi surat itu sangat menyayat. Sebagai seorang perempuan yang berperasaan halus, ungkapan makna tulisan surat itu sungguh merupakan suatu ratapan. Terlampau menyedihkan. Hingga membuat Yeti menangis.

"Papa, biarlah mama susul Dewi ke Surabaya. Di amplop surat ini ada alamat rumahnya," ujar Yeti dengan suara parau.

Fendy mengangkat kepalanya, lalu seperti anak kecil menjatuhkan kepalanya di pangkuan istrinya. Di kedua matanya basah air mata.

"Jangan .... jangan, Mama." Fendy memeluk tubuh Yeti.

"Kenapa jangan, Pa? Mama tidak ingin melihat hidup papa menderita. Hidup papa sengsara karena tak bisa memiliki Dewi. Mama jadi ikut menderita dan sengsara , Pa." Yeti membelai rambut suaminya. Perempuan itu seperti seorang ibu yang menangis demi anaknya.

"Biarkan Dewi pergi, Ma. Biarkan. Jangan mama susul dia."

"Mama ingin sekali berbicara dengannya. Apa pun yang dia inginkan, akan mama relakan. Seperti halnya bila Dewi menginginkan mama meninggalkan papa, akan mama lakukan juga. Asalkan papa dapat hidup berbahagia dengan Dewi," kata Yeti dengan setulus hatinya.

"Mamaaa... mamaaaa... jangan punya keinginan seperti itu, Ma. Papa tidak menghendaki kehidupan rumah tangga kita hancur," ratap Fendy seperti anak kecil yang mau ditinggal mati orang tuanya.

"Mama tidak merasa punya keinginan menghancurkan rumah tangga kita, Pa. Justru dengan jalan itulah akan bisa menyelamatkan dari kehancuran. Mama akan pasrahkan papa kepada Dewi secara persaudaraan. Bukan sebagai istri yang dipoligami."

Belasan tahun Yeti sudah mengabdikan kasih dan cintanya terhadap lelaki ini. Sekarang, dia harus merelakan apa pun yang terjadi. Sekarang, inilah dia, lelaki yang harus dikasihani. Inilah dia, lelaki yang kesepian dalam hidupnya. Yang kesepian karena istrinya menderita kanker rahim dan kandungan. Yang mengisi kenyataan karena ditinggal pergi oleh kekasihnya. Yang merasa perempuan itu adalah segala-galanya bagi hidupnya. Dan tangispun menggigit-gigit di relung hati Yeti. Perempuan yang lebih rela menerima kepahitan daripada tidak dapat mengasuh anaknya lebih lama. Dia masih ingin hidup seribu tahun lagi di samping kedua anaknya itu.

"Izinkan mama berangkat besok ya, Pa?"

"Papa bilang, jangan ma. Percuma" desah Fendy tak mau menjelaskan kalau Dewi sebenarnya akan menikah.

"Tapi mama tidak akan putus asa untuk menikahkan papa dengan Dewi. Dewi dan papa harus jadi suami istri atas kemauan mama."

Fendy memeluk Yeti erat-erat, membenamkan tangisnya ke dalam pelukan perempuan itu. Membenamkan kasih sayangnya dan berlindung padanya. Seolah-olah perempuan itu adalah tempat untuk mengadu. Untuk menumpahkan semua kesengsaraannya. Semakin tak karuan hidup lelaki itu. Semakin tak tahan disiksa batinnya yang hampa. Yang kosong tanpa ada gairah lagi. Frustrasikah ini namanya? Tak tahulah. Cuma di belahan perasaan lelaki itu seperti mengejeknya. Huh, lelaki cengeng! Lelaki yang terkaing-kaing cuma untuk dipermainkan. Lelaki yang jadi pengemis cinta cuma gampang dibohongi. Di mana harkatmu sebagai artis populer? Di mana? Cuma dengan perempuan semacam Dewi saja kau terkaing-kaing. Bah! Lebih baik pulang kampung saja kau! Itu makinya orang batak. Sayangnya Fendy tidak mempunyai saudara atau tulang orang batak. Di lain pihak, tanpa setahu Fendy, dengan diam-diam Yeti menulis surat kepada Dewi. Dia merasa berdosa kalau terus membiarkan hidup suaminya tidak karuan. Barangkali suaminya akan hidup berbahagia dan tentram bila dapat menikah dengan Dewi. Maka Yeti menulis surat begini :

"Seandainya mbak Yeti tidak ingat anakanak, mbak Yeti besoknya akan menyusul dik Dewi ke Surabaya. Kenapa kehadiran adik cuma sebentar di Jakarta? Padahal banyak yang hendak mbak Yeti katakan pada adik. Kedatangan adik ke Jakarta telah membuat kami sekeluarga bahagia. Tapi kenapa kebahagiaan itu cuma sekejap? Sekejap bersama kepergian adik. Dik Dewi yang baik, mbak Yeti benar-benar gembira dan ikut merasa bahagia kalau adik mau menjalani hidup bersama dengan mas Fendy. Mbak Yeti sudah benar-benar rela lahir dan batin. Asalkan adik memang dapat membahagiakan mas Fendy.

Begitu pun, jangan risaukan mbak Yeti. Karena tujuan mbak Yeti hanya untuk kelestarian rumah tangga kami. Adik merupakan penolong dari kehancuran yang selama ini terus mengancam. Dan sejak kepergian adik, mas Fendy jadi tak karuan. Setiap hari pulang pagi dalam keadaan mabok. Mbak Yeti mohon kepadamu, kasihanilah anak-anak kami. Demi anak-anak kami, sudilah kiranya adik datang lagi ke Jakarta. Kita jalin persaudaraan dan bukan sebagai dua wanita yang hidup dipoligami. Percayalah, mbak Yeti punya niat tulus dan suci."

Itu bunyinya surat yang dikirim kepada Dewi. Seminggu kemudian dia menerima telegram. Telegram dari Dewi yang isinya agar Fendy mau menginterlokalnya pada tanggal 1 Desember 1984. Tapi telegram itu tidak sempat diberi tahu kepada suaminya. Sebab suaminya selama ini jarang tinggal di rumah. Dia melakukan apa saja yang paling baik untuk menyenangkan dirinya. Untuk bisa melupakan perempuan yang bernama Dewi itu. Akhirnya Yeti yang interlokal sesuai dengan permintaan Dewi. Tanggal 1 Desember 1984 jam sepuluh siang Yeti interlokal Dewi.

"Bisa bicara dengan Dewi?"

"Mbak Yeti ya?"

"Bagaimana dik kabarnya?"

"Baik-baik, Mbak. Mbak Yeti dan anak-anak baik kan?"

"Semua baik-baik. Bagaimana jawaban surat dari mbak Yeti?"

"Dewi masih belum bisa menjawabnya, Mbak. Maafkan Dewi ya. Mbak. Dan tolong sampaikan kepada mas Fendy, jangan terlalu memikirkan Dewi. Lebih baik mas Fendy memikirkan keadaan mbak Yeti dan anak-anak."

"Tapi berilah jawaban surat mbak Yeti."

"Tentu, Mbak."

"Dan kalau bisa adik datanglah ke Jakarta secepatnya. Mbak Yeti ingin sekali berbicara dari hati ke hati sama adik."

"Aduuuh, bagaimana ya? Rasanya sulit mbak. Dewi akan datang pada saat ulang tahun mas Fendy nanti."

"Ulang tahun mas Fendy? Masih lama dong." desak Yeti.

"Habis Dewi sedang repot. Tapi percayalah, Dewi pasti datang pada hari ulang tahun mas Fendy."

"Tidak ada apa-apa lagi yang perlu disampaikan kepada mas Fendy?"

"Dewi rasa cukup. Salam Dewi saja untuk mas Fendy."

Yeti merasa kecewa. Namun di balik hati nuraninya, dia memuji keluhuran perempuan itu. Dan nampaknya dia mempunyai prinsip dan kukuh pada pendiriannya. Tetap tak ingin hadir di tengah-tengah kehidupan Fendy beserta keluarganya. Benarkah Dewi bisa melupakan Fendy? Ternyata tidak. Selalu gelisah tidur malamnya. Dia tak mampu membuang bayang-bayang wajah lelaki itu. Kenangan yang selama ini dirangkum dalam perjalanan hidupnya telah mengusiknya. Seolah-olah kenangan itu jadi terang bagi bintang-bintang, di langit, menghiasi hidupnya yang hitam kelam. Dan pada saat malam pertunangannya dengan Agus, tiada secuil kebahagiaan yang tersisa di hatinya. Justru malam itu dirasa teramat pahit dan menyedihkan hatinya. Ketika Agus memasukkan cincin di jari manisnya, semakin kuat ingatan nya kepada Fendy. Dan kenapa bukan Fendy saja yang memasukkan cincin itu ke jari manisnya? Kenapa? Kenapa? Malam pertunangan itu berlangsung tanpa kesan apa-apa di hatinya. Dan hari-hari yang dilalui tak pernah ceria. Sehingga tak pernah sekalipun dia memberi senyum dan muka manis kepada Agus. Dia kadang-kadang mencari kesenangan sendiri. Pergi ke night club seorang diri. Dan kadang pula dia pergi bersama anaknya. Tak tahu ke mana angin kini berhembus. Kehidupannya bagaikan mimpi. Dan hatinya merasa semakin jauh dari Fendy, lantaran dia serasa jurang pemisah telah ditempuh. Dia telah bertunangan dengan Agus. Sebulan lagi dia akan resmi melangsungkan pernikahannya dengan lakilaki itu. Sedangkan nyanyian murung selalu bergema di hatinya. Ingin kudengar lagi suaramu Seperti dulu engkau masih bersamaku Gelak tawa riang penuh pesona, Kini tiada lagi. Lama sudah aku tak menatap wajahmu. Lama sudah aku tak mendengar ceritamu Inginnya aku selalu hadir bersamamu Kau membelai daku Mengapa kini kita harus berpisah Di saat bunga-bunga cinta telah merekah Hanya dirimu satu tambatan hatiku.Yang selalu hadir di setiap mimpiku Bukan perpisahan yang kutangisi Namun pertemuanlah yang kusesali Dapatkah kita bersama lagi Seperti dulu Nyanyian murung itu semakin menghimpit hatinya. Seperti apa yang dirasakan dalam melewati hari-hari sepi ini. Dia cuma menunggu setiap sore Agus datang menjenguknya. Lalu lelaki itu mencoba menghibur kemurungan calon istrinya itu. Mengajak pergi nonton film, atau ke tempat hiburan lainnya. Namun wajah perempuan itu tak pernah ceria. Karena sudah tak kuasa membendung kerinduan, karena sudah jenuh setiap hari cuma tinggal di rumah, maka Dewi nekad kabur ke Jakarta. Tak tahu apa pun yang akan terjadi. Yang akan terjadi biarlah terjadi. Sebab empat hari lagi jatuh hari ulang tahun Fendy.

Di rumah Fendy pagi itu masih tertutup rapat pintunya. Sedang sinar matahari menampakkan sinarnya ke celah-celah lobang pintu dan jendela. Pamo yang setiap pagi menyirami tanaman sudah selesai. Lelaki itu ganti mengerjakan mencabuti rerumputan yang nampak kering. Menyapu dedaunan yang berserakan di halaman. Sedang di dalam kamar tidur, Fendy masih berbaring. Malas untuk turun dari tempat tidur. Yeti melipat selimut di samping suaminya.

"Hari Minggu yang cerah ini kita pergi rekreasi ya, Ma?" ajak Fendy. Lalu dia turun dari tempat tidur.

"Ke mana, Pa?"

"Mama mau ke mana?"

"Terserah papa."

"Ke Pulau Seribu ya?"

Yeti mengangguk. Ada apa nih? pikir Yeti. Sudah dua minggu lamanya Fendy yang selalu murung hari ini berubah gembira. Bahkan mengajak keluarga untuk berekreasi. Fendy melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Yeti merapikan seperai tempat tidur..Sementara di luar dia mendengar Dino dan Ria sedang bercanda. Lalu dia berpikir, alangkah.senangnya kedua anak itu diajak ke Pulau Seribu. Sambil naik perahu bisa memancing. Maka selesai merapikan kamar tidur, Yeti beralih merapikan ruang tamu. Bunga mawar di dalam vas yang sudah layu diganti dengan bunga yang baru. Dia mengerjakannya dengan gembira. Tapi senyum itu berangsur-angsur lenyap. Matanya terpaku ke luar jendela. Di halaman nampak Dewi sedang melangkah seorang diri. Langkahnya ragu-ragu. Dan Yeti buru-buru membukakan pintu. Dewi berdiri letih di depannya. Agaknya perjalanan yang ditempuhnya dengan naik kereta api cukup meletihkan. Keduanya bersitatap sesaat, lalu Yeti dan Dewi saling berpelukan.

"Baru sampai dari Surabaya?" tanya Yeti gembira sekali.


"Ya Mbak."

"Ayo masuk. Ayo masuk," ajak Yeti menggandeng lengan tamunya itu. Lalu keduanya duduk di kursi tamu.

"Kenapa tidak memberi tahu dulu kalau adik mau datang? Jadi mas Fendy atau mbak bisa menjemputmu" kata Yeti dengan muka berseri-seri.

"Ah, terlalu merepotkan mbak."

Yeti tersenyum sembari memperhatikan perempuan itu. Mukanya pucat dan pipinya sedikit cekung. Agak kurus dibandingkan waktu bertemu dulu... "Mbak Yeti panggilkan mas Fendy ya? Barangkali dia sudah selesai mandi." Yeti bangkit.

Dewi terdiam. Mengawasi berlalunya perempuan itu dengan perasaan dirambati nyeri. Karena selama hidupnya baru kali ini menghadapi perempuan sebaik itu. Padahal dia tahu kalau Dewi datang dari jauh untuk menemui suaminya. Tapi anehnya perempuan itu tidak marah. Malah menganggap sebagai saudara sendiri. Dewi menarik napas sembari membasuh wajahnya yang berkeringat. Fendy yang baru selesai mandi juga membasuh tubuhnya dengan handuk. Yeti mendekatinya. Ceria sekali wajah istrinya itu. Membuat dahi Fendy berkerut karena merasa heran.

"Ada tamu," bisik Yeti sambil senyumsenyum.

"Siapa?" Fendy mengenakan pakaian.

"Perempuan cantik."

"Ah, mama bercanda ya?"

"Sungguh, Pa. Papa pasti akan senang."

Fendy menyisir rambutnya..."Siapa sih?"

"Dewi."

Fendy tersentak, lalu menatap Yeti. Mata Yeti mengerjap-ngerjap.

"Dia baru saja sampai dari Surabaya."

Lelaki itu mematung di depan cermin.

"Ayolah," kata Yeti sambil menarik lengan suaminya. "Dia menunggu."

Berdebar-debar jantung lelaki itu. Yeti terus menarik lengannya. Dia membisu mengikuti langkah istrinya. Dan di ruang tamu itu, langkah Fendy terhenti. Ada rambatan perasaan perih di lekuk hatinya. Sedang Dewi yang membisu, yang cuma bisa memandang lelaki itu, merasa lebih nyeri perasaannya. Bibirnya bergetar menyebut nama lelaki itu.

"Mas Fendy suaranya bergumam. Mereka bertatapan. Bibir Dewi gemetar O, alangkah dingin tatapan mata lelaki itu. Tidak seperti ketika masih bersama dulu. Dan Dewi menundukkan mukanya. Dia memandangi lantai. Setumpuk kerinduan yang dibawanya dari Surabaya, tak bisa dilampiaskan. Bagai lenyap begitu melihat tatapan mata lelaki yang begitu dingin. Fendy tetap membisu. Ruangan itu sepi. Yeti jadi heran. Apa sebenarnya yang telah terjadi antara mereka? Kenapa suaminya jadi dingin. Tidak ramah. Padahal dia tahu kalau suaminya begitu mencintai perempuan itu.

"Papa kok diam saja sih?" tegur Yeti. Memecah sepinya ruangan itu.

"Aku lagi tak ada gairah untuk omong-omong." Fendy bangkit. Lalu dia melangkah masuk ke dalam kamar.

"Papa!" Yeti memanggil suaminya.

"Sudahlah, Mbak. Tak apa-apa," kata Dewi dengan suara serak. Perasaan perih kian menyayat-nyayat. "Saya cuma mau bicara. Saya cuma ingin menjelaskan kalau saya ..." lanjut Dewi, namun sudah meledak duluan tangisnya.

Yeti segera bangkit dan duduk di sebelah perempuan itu. Dipeluknya Dewi yang menangis. Perasaan Yeti jadi ikut sedih.

"Maafkan kalau sikap mas Fendy kurang berkenan di hatimu, Dik." Yeti merasa menyesal akan sikap suaminya.

"Mas Fendy tidak bersalah. Mbak. Justru sayalah yang harus minta maaf. Maafkan saya, maafkan saya," kata Dewi di sela isaknya. Lalu dia berdiri sambil menjinjing tasnya.

"Adik mau ke mana?" Yeti jadi bingung. Kedua matanya berkaca-kaca.

"Saya mau ke Utan Kayu, Mbak."

"Jangan. Jangan. Adik tinggal saja di sini," kata Yeti sembari memegangi lengan Dewi.

Dewi menggelengkan kepala. Dia menyeka air mata dengan sapu tangan.

"Biarlah saya tinggal di Utan Kayu saja. Mbak." Dewi terus melangkah, sedangkan Yeti tak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Maafkan saya," lanjut Dewi dengan suara parau. Dia terus melangkah meninggalkan Yeti yang berdiri termangu sedih di ambang pintu.

Kemudian Yeti masuk ke kamar. Ditemui suaminya yang duduk termenung di pinggir tempat tidur.

"Kenapa papa begitu?" tanya Yeti dengan kedua mata berkaca-kaca. Fendy membisu. Cuma memandang lantai kamar.

"Kenapa? Kenapa, Pa?"

Lelaki itu cuma menarik napas berat..."Barangkali karena dia pergi meninggalkan papa tanpa pesan? Karena itukah?"

Kepala lelaki itu menggeleng.

"Jadi kenapa? Hati mama jadi sedih melihat Dewi."

"Antara kami banyak persoalan. Mama tidak tahu," kata Fendy dalam keluhan.

"Meskipun demikian, papa harus menyambutnya dengan ramah. Dengan baik. Sebenarnya dia datang ke mari, mama-lah yang menyuruhnya. Kalau tanggapan papa begitu, sama halnya papa menyakiti perasaan mama."

Fendy jadi terperangah. Dewi datang ke mari karena permintaan istrinya? Dan lelaki itu memijit-mijit pelipisnya yang dirasa pening.

"Mama merasa dia orang yang baik. Kasihan kalau hatinya disakiti."

Fendy menelan air ludahnya yang dirasa teramat pahit. Kau tidak tahu siapa dia sebenarnya. Mama. Kau tidak tahu. Karena selama ini aku menceritakan kebaikannya saja terhadapmu.

"Tapi banyak persoalan antara kami, Ma."

"Persoalan apa?"

"Mama tak perlu tahu."

"Mama kepingin tahu."

"Sudahlah, Ma. Sudahlah. Temuilah dia di ruang tamu. Papa ingin pergi dan tak ingin menemuinya," desah Fendy dengan kesal.

"Dewi sudah pergi," suara Yeti lirih. Suara itu menyimpan kesedihan yang teramat mencekam.

Fendy terperangah.

"Dia sudah pergi?"

Yeti melangkah meninggalkan kamar itu.

"Ya."

Dan Fendy menjatuhkan pantatnya di atas tempat tidur. Termenunglah dia seorang diri di kamar itu. Ada perasaan sedih, ada perasaan kesal, ada perasaan kehilangan dan perasaan menyesal. Semua itu berkecamuk di dalam dadanya. Nyaris dadanya tak mampu menampung kecamuk itu.


~~~ 💋💔💓💔💋 ~~~


Di kamar kost. Dewi membenamkan tangisnya ke permukaan bantal. Siang yang terik membuat kamar itu pengap. Dari ruang tamu terdengar suara Tika sedang bercanda dengan beberapa teman lelaki yang dikenal di night club. Begitu pula Irena. Dan tangis Dewi tambah menyayat, namun tersekap di bantal. Inikah yang kuterima dari perjalanan jauh datang ke Jakarta? Inikah ganjaran yang kuterima karena aku kabur dari Surabaya tanpa pamit? Bukankah dari jauh aku datang hanya untuk lelaki yang bernama Fendy? Tapi apa yang kuterima darinya, oooh, cuma keacuhan semata. Dan betapa perihnya hati ini, lantaran kesia-siaan yang kuterima. Betapa berbedanya sikap lelaki itu menerima kedatanganku. Barangkali dia sudah mengetahui keadaanku? Kalau memang demikian, betapapun menyakitkan sikapnya harus kuterima dengan lapang dada. Sudah sepatutnya dia bersikap begitu padaku. Sudah sepatutnya. Jadi tak perlu lagi disesali. Jurang pemisah memang telah kubuat sendiri. Celepak-celepak suara sandal Irena memasuki kamar. Dan perempuan itu termangu menatap Dewi yang terisak-isak.

"Apa yang sedang kau tangisi, Dewi?" tanya Irena sembari duduk di sisi perempuan yang tidurnya tengkurap itu.

"Mas Fendy membenci aku," ratap Dewi.

Irena tersenyum. Diusap-usapnya lembut punggung perempuan itu.

"Lupakan saja lelaki itu. Buat apa terus diingat-ingat," kata Irena.

"Apakah kau memberi tahu kalau aku bertunangan?"

"Ya."

"Ooooh," keluh Dewi sedih.

"Kenapa mengeluh? Bila kau merasa kehilangan Fendy masih ada Batara sebagai penggantinya."

"Aku datang ke Jakarta hanya untuk menghadiri ulang tahun mas Fendy. Bukan untuk lelaki manapun. Bukan untuk siapa-siapa."

"Sudahlah, Dewi. Sudahlah. Jangan bikin hidupmu tambah kalut. Kau sudah resmi bertunangan dengan Agus. Dua minggu lagi kau akan melangsungkan pernikahan. Terima saja nasibmu yang demikian. Jalanilah. Tempuhlah. Seharusnya kau merasa beruntung karena Agus punya kedudukan yang pasti bisa menjamin hidupmu. Apa lagi yang kau cari Dewi?"

Dewi terdiam. Dia mengusap air matanya..."Sejak kukenal mas Fendy, hidupku jadi terombang-ambing. Sebab aku terlalu mencintai lelaki itu, Rena."

"Akan kubantu supaya kau bisa melupakannya"

"Bagaimana caranya?"

"Ikuti ke mana aku pergi. Kita akan bersenang-senang selalu. Isilah hidupmu yang masih bebas ini dengan kegembiraan. Karena setelah kau jadi istri Agus, jadilah istri yang baik. Okey?"

Dewi menganggukkan kepala ragu-ragu.

Tika masuk kamar.

"Ada tamu," kata Tika.

"Siapa?" tanya Irena.

"Yeti. Istrinya mas Fendy. Dia mau ketemu Dewi."

Dewi melompat turun dari tempat tidur. Namun ketika dia mau menemui Yeti dicegah oleh Irena..."Biarlah aku yang menemuinya. Kau tunggu di sini saja."

"Tapi...?"

"Sudahlah. Nurut saja." kata Irena sambil melangkah ke luar dari kamar. Begitu dia sampai di ruang tamu jadi termangu memandang Yeti. Rasarasanya dia pernah kenal dengan perempuan itu. Keduanya saling berpandangan. Dan tamu lelaki yang sedang ngobrol di ruang tamu jadi saling terheran.

"Yeti? Mbak Yeti ya?" kata Irena sambil menunjuk Yeti.

"Irena?" Yeti juga berbuat serupa. Lalu keduanya saling berpelukan.

"Apa kabar, Mbak?"

"Baik-baik. Mana Dewi?"

"Dia sedang tidur di kamar. Capai barangkali baru datang dari Surabaya."

"Banyak ya, tamu lelaki di sini."

"Ayo, kita ngobrol di tempat yang tenang saja, Mbak."

"Di mana?"

"Di restauran. Tidak jauh dari sini kok."

Yeti menuruti ajakan Irena. Keduanya saling mengenal sejak mereka masih duduk di bangku SMA di Jogya. Tapi mereka harus berpisah karena Irena pindah sekolah di Semarang ikut pamannya. Orang tuanya bercerai yang mengakibatkan hidup Irena jadi tak karuan. Irena sejak dulu sudah mengenal sifat Yeti yang baik dan lugu. Di bawah teriknya matahari siang, mereka menyusuri jalan Utan Kayu. Dan akhirnya memasuki sebuah restauran yang cukup tenang dan nyaman.

"Sudah berapa tahun kita tidak bertemu?" tanya Yeti.

"Tiga belas tahun lebih. Tapi mbak Yeti masih tetap awet muda dan cantik."

"Ah, jangan ngeledek."

"Sungguh. Rena tidak ngeledek. Oya, Mbak. Mas Fendy itu suamimu?"

"Ya."

"Wah, berbahagia ya punya suami bintang film top."

"Biasa-biasa saja. Kau sudah lama tinggal di tempat kost itu?"

"Sudah dua bulan."

"Berarti kau tahu kalau Dewi menjalin hubungan dengan suamiku?"

Irena mengangguk. Seorang pelayan restauran menghampiri..."Es jeruk dua," kata Irena. Pelayan itu pergi.

"Bagaimana menurut kau mengenai Dewi?"

Irena menarik napas berat. Seberat perasaannya untuk menceritakan keadaan perempuan itu.

"Kita dulu pernah bersahabat, Rena. Kita pernah tinggal satu kampung. Aku minta bantuanmu untuk memecahkan persoalan rumah tanggaku."

"Aku sudah mendengar semua kehidupan rumah tangga mbak Yeti."

"Dari Dewi?"

Irena mengangguk. Pelayan datang mengantarkan dua gelas es jeruk. Kedua perempuan itu mengaduk minumannya.

"Aku rela suamiku menikah dengan perempuan lain, asalkan perempuan itu dapat membahagiakan hidupnya. Seperti misalnya Dewi. Suamiku sangat mencintainya. Tapi sejauh hubungan suamiku dengan Dewi, aku belum tahu siapa sebenarnya perempuan yang dicintai suamiku itu?"

"Kenapa mbak Yeti tidak mau operasi saja?"

"Aku takut mati, Rena. Aku masih ingin merawat dan mengasuh anak-anakku. Maka aku merelakan mas Fendy menikah dengan Dewi."

"Itu cara yang salah. Mbak."

"Kenapa?"

"Merelakan suami menikah lagi adalah sama halnya mencekik hidupnya sendiri. Apalagi kalau perempuan yang akan dinikahi mas Fendy bukanlah perempuan baik-baik."

"Apakah Dewi bukan perempuan baik-baik?"

"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Cuma saranku, demi keutuhan rumah tangga mbak Yeti dan mas Fendy, sebaiknya mbak Yeti operasi saja. Mbak Yeti tidak kalah cantiknya bila dibandingkan dengan Dewi."

Yeti tertawa. Lalu dia meneguk es jeruknya. Irena begitu juga.

"Kau di Jakarta bekerja?" tanya Yeti.

"Kalau tidak bekerja bisa tak makan." sahut Irena sambil tertawa.

"Di mana?"

"Night club."

"Oh."

"Berarti aku bukan orang baik-baik."

"Kalau Dewi?"

"Sama."

"Oh."

"Cukup bisa menyelami bagaimana kehidupan hostes bukan?"

Yeti menarik napas panjang.

"Dan aku rasa mbak Yeti bisa menilai macam apa perempuan yang dicintai mas Fendy itu. Aku tidak perlu bercerita panjang lebar."

Yeti manggut-manggut..."Mas Fendy memang tidak pernah bercerita apa-apa kepadaku tentang Dewi." Yeti mengaduk-aduk es jeruknya.

"Aku maklum. Dan mulai sekarang, mbak Yeti tidak perlu mengharapkan sekali terhadap Dewi. Percuma, Mbak."

"Kenapa?"

"Kelak mbak Yeti akan tahu sendiri."

Jadi bimbang perasaan Yeti. Dan kebimbangan itu dibawanya meninggalkan restauran. Mereka berjalan di bawah sengatan matahari siang. Jalanan aspal memuaikan sari-sari panas. Kaki mereka melangkah di situ.

"Mbak Yeti masih mau ketemu dengan Dewi?" tanya Irena.

Yeti yang semula menggebu-gebu jadi ragu-ragu..."Menurut kau bagaimana?"

"Sebaiknya jangan. Biar persoalannya diselesaikan sendiri dengan mas Fendy. Ini juga demi menjaga harga diri mbak Yeti."

Yeti menimbang-nimbang saran Irena. Akhirnya dia setuju..."Kalau begitu aku pulang saja, Rena."

"Itu lebih baik, Mbak."

"Mainlah ke rumah."

"Kapan-kapan, kalau ada waktu."

Yeti menyetop taxi. Lalu dia naik setelah taxi itu berhenti.

"Terima kasih, Rena. Sampai jumpa lagi."

."Sampai jumpa lagi. Operasi ya. Mbak!"

"Ya." Taxi itu meluncur pergi. Membawa Yeti sendiri.

Dan Irena jadi ikut sedih memikirkan nasib sahabatnya itu. Timbul dari lubuk hatinya ingin menyelamatkan rumah tangga perempuan itu dari kehancuran. Cuma dengan satu cara menginterlokal Agus dan memberi tahu kalau Dewi ada di Jakarta.


~~~ 💋💔💓💔💋 ~~~


Sore itu nampak mendung. Yeti masih sibuk membantu menyiapkan masakan untuk ulang tahun suaminya. Meskipun rencananya tidak mengundang siapa pun, selain Dewi, tapi paling tidak harus ada hidangan makan malam. Maka sore itu dia jadi sibuk di dapur. Membantu mbok Minah memasak. Membuat kue dan makanan ringan lainnya. Mengenai roti ulang tahun, sudah dipesannya seminggu yang lalu.

Suara bel rumah berbunyi. Disusul kemudian Dino dan Ria menghampiri Yeti di dapur.

"Ada tamu, Ma."

"Siapa?" tanya Yeti sembari mencuci tangan di pancuran kran air.

"Nggak tahu. Orangnya gede-gede, Ma. Dino sama Ria sampai takut."

Yeti tersenyum. Lalu dia melangkah meninggalkan dapur. Dan ternyata memang benar apa yang dikatakan Dino. Tiga orang laki-laki yang bertubuh besar-besar berdiri di depan pintu rumah. Yeti membuka pintunya.

"Selamat sore," sapa salah satu di antara mereka yang ternyata adalah Agus.

"Selamat sore," balas Yeti. "Ingin ketemu dengan siapa bung?"

"Fendy ada?"

"Sejak tadi pagi pergi belum pulang. Ada pesan yang bisa saya sampaikan?"

"Tolong beri tahu Fendy, jangan coba-coba berani mengganggu Dewi."

Yeti terperangah. Tapi kemudian dia berusaha tetap tenang.

"Mau duduk dulu?"

"Terima kasih. Kami permisi."

"Ng... tunggu dulu, boleh saya tahu darimana bung ini?"

"Dari Surabaya. Kami kemari hanya sengaja mencari Dewi." Ketiga lelaki itu melangkah pergi.

Yeti menutup kembali pintunya. Jantungnya berdebar-debar. Membuat Yeti sore itu jadi resah. Ya, kedatangan ketiga lelaki itu membuatnya jadi tak tenang. Gelisah. Dia jadi malas meneruskan pekerjaannya memasak di dapur. Ke mana akan dicari suaminya? Ke mana? Lelaki itu kalau pergi jarang memberi tahu tempat tujuannya. Jika dia tahu ke mana suaminya pergi, dia akan menyusulnya sekarang. Memberi tahu kalau keadaan diri suaminya sedang meresahkan. Dan dari pancaran mata ketiga lelaki itu ada dendam. Barangkali kalau ketemu Fendy tak akan mengenal ampun lagi. Perasaan Yeti jadi ngeri. Ketakutan. Sampai malam Yeti tak dapat membuang rasa gelisah itu. Kedua anaknya sudah tertidur pulas di dalam kamar. Kini dia seorang diri duduk di kursi. Di ruang tengah yang sepi. Yeti beranjak menuju ke pintu ketika ada sebuah mobil memasuki halaman rumahnya. Lalu dia mengintip dari belakang gordyn. Di luar ternyata Irena yang turun dari mobil itu. Dan sepasang mata Yeti terbelalak, begitu melihat suaminya yang mukanya bercucuran darah.

"Papaaaa!" pekik Yeti sambil berlari ke luar. Parno dan Minah berlari ke luar. Kedua pembantu itu segera menolong tuannya menggotong ke dalam rumah. Lalu dibaringkan di sofa. Minah mengambil handuk, kapas dan obat merah.

"Papaaa... kenapa sampai begini? Kenapa?" tanya Yeti sambil menangis. Membasuh darah yang mengalir dari hidung lelaki itu. Bibirnya pecah-pecah.

Fendy yang berbaring di atas sofa nampak lemas tak berdaya. Kedua mata bengkak membiru. Sedang Irena yang nampak keletihan ikut menangis terisak-isak.

"Apa yang telah terjadi, Rena?" tanya Yeti dengan berlinangan air mata.

"Mas Fendy dikeroyok oleh tiga orang laki-laki."

"Apa salah suamiku, Rena? Apa salah suamiku, Rena." Yeti meraung-raung dalam kepiluan.

Irena tak bisa menjawab. Hanya isak tangisnya yang menyayat. Karena dia merasa ikut bersalah dalam kejadian ini. Agus yang kemarin diinterlokal, ternyata lelaki itu benar-benar datang. Yang disesalkan oleh Irena, sewaktu Agus datang ke tempat kost, dia bertemu dengan Tika. Rupanya Tika dengan sengaja menceritakan perbuatan Dewi selama tinggal di Jakarta. Tentunya tidak terlepas dari hubungan Dewi dengan Fendy. Dan malam itu, ketika Irena baru saja turun dari mobil, di halaman rumah nampak ramai. Dia jadi gelisah karena mobil Fendy ada di situ. Lalu dia menyisihkan orang-orang yang bergerombol di depan rumah. Dan dia menjerit manakala melihat tubuh Fendy terkapar di lantai teras. Rupanya Fendy baru saja dihajar Agus dan kedua kawannya. Penyebabnya adalah Tika. Ternyata perempuan itu benar-benar jahat. Lalu Irena dengan bersusah payah membawa Fendy pulang ke rumahnya. Sedang Dewi masih ada dipuncak bersama Batara.

"Katakan, Rena. Katakan! Kenapa kau diam saja?" suara Yeti memohon dalam kesedihannya.

"Sebenarnya Dewi sudah bertunangan dengan Agus. Dua minggu lagi dia akan melangsungkan pernikahannya. Tapi Dewi kabur ke Jakarta tanpa setahu Agus dan keluarganya. Maka Agus segera menyusulnya ke Jakarta, dan pertama yang dituju ke tempat kost, bertemu dengan Tika. Semua perbuatan Dewi dibeber kepada Agus. Di saat Agus sedang meluap rasa cemburu dan kemarahannya, mas Fendy datang. Tanpa kenal ampun lagi dikeroyoknya mas Fendy," tutur Irena sambil terisak-isak.

"Papa, papa. Bagaimana kau ini? Kenapa kau buru perempuan yang sudah bertunangan dan mau menikah? Kenapa papa?" kata Yeti seperti seorang ibu yang sedih. Yang menangisi anaknya lantaran penyesalan.

Setetes air mata jatuh dari sudut mata lelaki itu. Dia tak bisa berkata apa-apa. Cuma dalam hatinya menyeletuk; Inikah ganjaran buat kebohongan-ku selama ini? Kedustaanku selama ini terhadap istriku? Oh Tuhan, ampunilah kesalahan dan dosaku.

Di meja berdiri kue ulang tahun yang megah. Fendy berdiri menghadapi kue itu. Walau bibirnya masih terasa sakit untuk tersenyum, dia paksakan juga. Dia ingin menciptakan suasana malam itu benar-benar bahagia. Di sampingnya berdiri Yeti. Dino dan Ria mengelilingi kue ulang tahun itu. Wajah mereka gembira dan bahagia. Lalu Yeti memutar tape recorder. Lagunya 'Happy Birthday'. Mereka berempat bertepuk tangan sambil menirukan nyanyian itu. Namun kegembiraan mereka jadi terhenti begitu mendengar beli rumah berbunyi. Yeti menuju kepintu. Pintu dibuka, dan di depannya tegak berdiri Dewi. Perempuan itu membawa serangkai bingkisan bunga anggrek ungu.

"Selamat malam, mbak Yeti."

"Selamat malam. Silakan," kata Yeti. Sikapnya dingin dan tidak seramah dulu lagi, ketika mempersilakan tamunya masuk. Dewi melangkah masuk. Ingin rasanya dia merangkul lelaki yang berdiri di depan roti itu. Tapi keinginannya itu jadi lenyap lantaran lelaki itu diam seperti patung.

"Mas Fendy, aku datang ...." kata Dewi jadi bingung sendiri.

"Kenapa kau datang? Untuk apa?"

Dewi terpaku. Padahal banyak kata-kata yang ingin dikeluarkan, jadi menggumpal di dadanya. Membuat napasnya sesak..."Untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun."

Senyuman Fendy samar. Yeti berdiri di depan perempuan itu. Lalu ditatapnya dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Dewi jadi kikuk dan risih.

"Dewi, aku merelakan suamiku menikah dengan perempuan manapun yang bisa membahagiakan hidupnya. Untuk apa aku berkorban, kalau ternyata hidup suamiku semakin jadi parah. Aku menginginkan suamiku menikah dengan perempuan baik-baik. Perempuan yang belum bertunangan, apalagi pada perempuan yang dua minggu lagi mau melangsungkan pernikahannya dengan laki-laki lain. Hal itu tidak mungkin kuizinkan," kata Yeti seperti seorang ibu yang tidak menghendaki anaknya kawin dengan perempuan sembarangan. Jadi sikap Yeti yang tak acuh dan dingin bukan lantaran cemburu atau sakit hati. Tapi sikap seorang ibu.

"Mama, jangan berkata begitu." Fendy mencegahnya.

"Perduli apa? Sebagai seorang perempuan aku benci terhadap kaumku sendiri yang tidak teguh pada kesetiaan. Aku lebih suka mati dari pada hidup menahan nista. Seorang calon istri sudah berani menyeleweng dengan lelaki lain. Apalagi kalau sudah bertahun-tahun menjalani hidup rumah tangga. Barangkali perbuatan menyeleweng merupakan kebiasaan saja. Betapapun calon suami itu tidak dicintai, itu adalah takdir. Perempuan harus tetap menjaga harkat dan kehormatannya sebagai seorang istri yang baik."

Dewi merasa sejuta kunang-kunang mengerjap-ngerjap di matanya. Sekujur tubuhnya gemetar. Sedang di sudut matanya memercik butiran air bening. Bibirnya gemetar.

"Sa... saya memang bukan perempuan yang baik," kata Dewi yang mulai terisak. Mukanya jadi kelihatan pucat. Matanya, oh, alangkah sedih.

"Tapi masih belum terlambat kalau ingin jadi baik."

"Sudah, Ma. Kenapa malam ulang tahun papa jadi rusuh begini?"

"Mama tak ingin melihat perempuan itu hadir di sini malam ini !" tegas ucapan Yeti.

Dewi terperangah. Bingkisan bunga yang dipegangnya jatuh ke lantai. Dia tak pernah menyangka kalau Yeti yang ramah, Yeti yang baik, Yeti yang senantiasa menunjukkan sikap persaudaraan tiba-tiba bisa berubah penuh karisma. Sebagai seorang ibu yang dengan tegas punya wibawa.

"Mama?!" teriak Fendy resah. Membuat Dino dan Ria mendekap ibunya. Kedua anak itu menangis karena ketakutan..."Usir perempuan itu. Aku tidak sudi melihatnya lagi!"

Tanpa diusir, Dewi sudah berlari kabur. Dia menangis terisak-isak di sepanjang jalan yang sepi itu. Terus saja berlari. Berlari sampai tidak kelihatan lagi di kegelapan malam.

Fendy duduk termenung sambil memijit-mijit keningnya. Jadi pusing juga lelaki itu. Yeti mendekati suaminya. Kedua anaknya ikut serta.

"Papa sedih karena Dewi pergi?" tanya Yeti lembut.

Fendy menggelengkan kepala lesu.

"Papa masih ingin mencari gantinya?"

Lelaki itu tak menjawab. Dia cuma bisa merenung... "Demi kau papa, mama akan menjalani operasi."

Muka Fendy perlahan-lahan terangkat. Di tatapnya wajah istrinya. Wajah yang cantik. Wajah yang anggun. Dan di matanya yang indah itu mulai berkaca-kaca. Berkilau bagai kristal.

"Jangan paksakan diri kalau mama takut," suara Fendy serak. Dibelainya rambut istrinya penuh kasih sayang.

"Tidak. Mama harus menjalani operasi. Mama harus tetap hidup. Harus! Harus! Harus! Penyakitku harus bisa sembuh!" suara Yeti meninggi. Dia mulai benar-benar yakin dan berani.

Fendy langsung memeluk tubuh istrinya erat-erat. Setitik air mata jatuh perlahan di pipinya.

"Umurku masih panjang, Pa. Masih panjang. Kemelut yang terjadi di dalam rumah tangga kita hanya karena keragu-raguan mama. Dihantui , rasa takut mati. Tapi sekarang mama akan buktikan dengan semangat. Semangat ingin tetap hidup disamping papa. Juga semangat ingin tetap merawat dan mengasuh anak-anak kita sampai dewasa. Sampai Tuhan telah menentukan takdir kematianku. Kematian mama yang bukan karena menjalani operasi."

"Syukurlah kalau mama mempunyai keyakinan dan semangat begitu. Kenapa tidak sejak dulu, Ma?"

Yeti cuma tersenyum. Lalu dia mencium pipi suaminya..."Karena mama takut kalau papa dimiliki perempuan lain. Sedang hidup papa tidak mengalami kebahagiaan. Maka demi kebahagiaan papa, akan mama jalani operasi itu."

Fendy mendekap tubuh istrinya erat. Sebuah kecupan menempel di kening perempuan itu. Cuma sesaat saja, karena Dino mengusiknya.

"Ayo, kapan dimulai peniupan lilin dan pemotongan kue ulang tahun, Pa?"

Fendy dan Yeti jadi tersadar. Lalu sepasang suami istri itu saling berpandangan dan tertawa. Dino dan Ria yang sejak tadi cuma termangu jadi ikut tertawa. Padahal tidak ada yang lucu. Barangkali apa yang mereka lakukan untuk menghilangkan ketegangan dan kesedihan. Kemudian mereka meneruskan bernyanyi 'Selamat Ulang Tahun'. Setelah selesai mereka berdoa untuk kepentingan Fendy didalam mengejar karier dan sukses dalam segala hal.

"Semoga kelanjutan hidup papa tidak lagi menemui rintangan. Sukses dalam segala hal dan dikarunia kebahagiaan yang kekal bersama keluarga. Amin." Fendy mengucapkan kata-katanya dengan penuh hikmat.

Kedua lilin yang menyerupai angka tiga dan nol itu mulai disulut. Kemudian, Huuuup! Lilin itu ditiup oleh Fendy. Kedua lilin itu sekaligus mati. Mereka bersorak-sorak gembira. Yeti mencium pipi suaminya. Dino dan Ria tidak mau ketinggalan.


~~💋💔 SEKIAN 💔💋 ~~


Penyakit yang diderita Yeti sungguh menyedihkan. Lebih baik dia merelakan suaminya menikah lagi dengan perempuan lain dari pada dia mati menjalani operasi kanker rahim dari kandungannya. Dia masih ingin terus hidup dan mengasuh anak-anaknya. Sehingga hadir dalam hidup rumah tangganya seorang perempuan. Dan ternyata suaminya mencintai perempuan itu. Sejuta kebohongan dilakukan suaminya. Sejuta kedustaan untuk mencari kepuasan. Sementara sifat seorang ibu akan senantiasa mudah memberikan maaf Sekalipun dikecewakan oleh kenyataan yang dihadapi. Namun Yeti tetap menunjukkan sifatnya: Adalah ketulusan kasih sayang seorang ibu. Adalah pelindung dalam nestapa. Adalah air surgawi yang tak pernah kering. Bening dan sejuk. Kendati apa pun akan dilakukan demi kebahagiaan suaminya. Adakah kehidupan perempuan seperti ini?




~~ THE~END ~~