Cerita silat kenangan masih akan terus berlanjut, namun untuk beberapa minggu kedepan ini akan saya tunda dahulu selain saya juga banyak kesibukan diduta, Flasdisk tempat menyimpan file tersebut lupa saya taruh dimana. Dan kemungkinan butuh waktu 30 hari atau sebulan baru cerita silat kenangan akan saya hadirkan kembali.

Lalu sebagai gantinya adalah sebuah cerita dari novel karya Enny Arrow, Eeh salah, maksudku sebuah novel karya Fredy Siswanto, Kok Enny Arrow sih.🤣 🤣 🤣 Itumah buku Favorit mas Agus & Suhu Jaey, jadi kalau berhubungan dengan cerita Enny Arrow anda bisa tanya pada mereka berdua saya yaa.🤣 🤣

Dan seperti apa keseruan novel karya Fredy Siswanto berikut dibawah ini dengan judul : 'Istriku Adalah Ibuku'.👇👇Dan cerita ini juga menjadi bacaan Favorit saya sewaktu masih sekolah Stm. Karena kisah percintaannya hampir ada kesamaan dengan yang saya alami, Jiiaahh Haahaaa! 😂😂 Tapi benar lho? Meski alur kehidupannya tetap berbeda. Mooosssooo siihh!! Iyalah.🤣 🤣

Ok seperti biasa abaikan cerita ini jika anda sudah pernah membacanya atau terlalu panjaaangg!!...Namun bacalah dengan santai jika anda menyukainya.😊




SATU KERESAHAN itu terasa kian menjepit. Seperti segumpal duri yang mengganjal di lekuk hatinya. Itu yang dirasakan oleh Yeti sejak dari kemarin. Dia menunggu suaminya belum pulang jua. Padahal dia sering mengalami keadaan seperti itu, tapi untuk kali ini, entah kenapa keresahan datang menggeluti hatinya. Mungkin lantaran ada kemurungan di wajah suaminya? Atau karena di hari belakangan ini kerapkali dilihatnya Fendy sering melamun? Bisa jadi begitu. Sejak suaminya pulang dari Surabaya banyak sekali mengalami perubahan. Jadi pemurung dan sering melamun. Suka duduk menyendiri dan jarang bersenda gurau dengan kedua anaknya. Tentunya sebagai seorang istri punya prasangka. Punya rasa atas segala perubahan suaminya. Di samping dia harus menerima kenyataan, bahwa menjadi seorang istri bintang 5 film yang sedang populer harus penuh pengertian. Harus mampu mengendalikan, rasa egois dan rasa.cemburu. Tapi sebenarnya bukan itu tumbuhnya ke resahan di hatinya. Melainkan dari perubahan sikap yang dialami suaminya. Adakah masalah yang dihadapi suaminya selama shooting film di Surabaya? Kalau memang tidak ada masalah, tak mungkin sikapnya berubah begitu. Dan selama ini Fendy senantiasa berterus terang kepadaku, apabila menjumpai suatu masalah. Baik itu masalah yang dianggapnya kecil ataupun besar. Dia seorang suami yang baik menurutku. Seorang suami yang setia menghadapi kenyataan yang kualami. Senantiasa menjaga keutuhan rumah tangga kami, walau kemelut selalu mengintai. Mengancam biduk rumah tangga kami diambang kehancuran. Suara bell rumah berbunyi. Pembicaraan dalam diri Yeti terhenti. Dia bersejingkat bangun dari tempat duduknya. Lalu berjalan ke ruang tamu. Berdebar-debar juga jantungnya. Suara Dino dan Ria terdengar gembira menyambut kedatangan tamu itu. Lantas kedua anak kecil itu menarik lengan Nita memasuki ruang tamu. Nampaknya 6 kedua anak kecil itu sudah begitu akrab dengan tamunya itu.

"0, Nita."

"Selamat siang, mbak Yeti."

"Siang."

"Mana permennya. Tante." Dino merengek sambil menggelendot di lengan Nita.

"Iya, kemarin tante janji mau bawakan permen. Ayo mana sekarang!" kata Ria ikut merengek.

"Dino sama Ria tidak boleh begitu ya?" tegur Yeti.

"Masak kalau tante Nita datang selalu dimintai permen. Itu kan tidak baik."

"Ah, tidak apa-apa, Mbak. Kemarin saya yang menjanjikan mau bawakan permen untuk mereka."

Lalu Nita mengambil dua bungkus permen dari dalam tasnya. Kedua anak itu kemudian berlari setelah menerima permen pemberian Nita.

Nita dan Yeti duduk di kursi tamu..."Mas Fendy pergi ya. Mbak?" tanya Nita.

Yeti menarik napas panjang disertai anggukan kepala.

"Ke mana?"

"Tidak tahu. Dari kemarin belum pulang."

"Dari kemarin belum pulang?" dahi Nita berkerut. "Padahal kemarin siang mas Fendy pergi sama saya lho, Mbak."

"Apakah mas Fendy pernah bercerita kepadamu tentang apa saja, setelah dia pulang dari Surabaya?"

"Memangnya mas Fendy kenapa?"

"Sejak dia pulang dari Surabaya nampak banyak berubah. Sering termenung dan melamun."

Nita senyum-senyum. Membuat Yeti jadi curiga. Karena senyum Nita seperti menyembunyikan sesuatu.

"Selama ini kau akrab sekali dengan mas Fendy. Tolonglah beri tahu padaku, Nita. Tidak usah sungkan-sungkan." pinta Yeti.

"Ah, aku tidak enak untuk mengatakannya, Mbak." desah Nita.

"Tidak apa-apa. Ayo katakan, Nita. Jangan biarkan mas Fendy jadi pemurung sepanjang hari. Dengan kau mau berterus terang padaku, itu berarti kau mau membantu kelangsungan hidup rumah tangga kami."

"Sebenarnya berat juga hati Nita untuk mengatakan..."Sebenarnya kenapa?" desak Yeti.

"Ah, bagaimana ya?"

"Jangan ragu-ragu, Nita. Katakan terus terang."

"Kemarin siang saya diajak mas Fendy mencari rumah temannya."

"Siapa?"

"Dia bilang namanya Dewi. Gadis itu asalnya dari Surabaya dan belum lama tinggal di Utan Kayu."

"Mas Fendy ketemu dengan gadis, itu?"

"Tidak. Tapi mas Fendy bilang pada saya kalau sorenya akan datang lagi. Malah mas Fendy sempat membuat surat untuk gadis itu."

Yeti menarik napas sembari tersenyum. Tak nampak adanya rasa cemburu atau marah di raut wajahnya. Tetap biasa-biasa saja, seperti kerap kali suaminya menghadapi penggemarnya. Dia selalu penuh pengertian dan percaya pada suaminya.

"Cuma itu?"

"Ya, cuma itu. Tapi nampaknya mas Fendy menaruh hati pada gadis itu."

"Dia bilang begitu?"

"Ya. Mas Fendy cerita pada saya dari awal perkenalan dengan gadis itu ketika shooting di Surabaya. Dan gadis itu datang ke Jakarta dengan maksud mencari mas Fendy."

"Mas Fendy bercerita begitu kepadamu?"

"Ya. Sungguh, Mbak. Saya tidak berbohong. Kayaknya mas Fendy dengan gadis itu sudah membuat kencan sewaktu mereka bertemu di Surabaya."

"Darimana kau tahu begitu?"

"Mas Fendy cerita padaku. Gadis itu dulunya bekerja di coffee shop dan ikut shooting sebagai figuran. Entah karena apa gadis itu jadi keluar dari pekerjaannya setelah ikut shooting film itu. Mas Fendy tidak menceritakan secara mendetail. Cuma lantaran ikut shooting, gadis itu berhenti dari pekerjaannya dan kabur ke Jakarta. Dan mas Fendy merasa bersalah padanya."

Yeti termenung memandangi lantai. Bersalah? Mas Fendy merasa bersalah kepada gadis itu? Apa yang telah diperbuatnya sampai dia merasa bersalah? Pertanyaan itu berkecamuk di dalam benaknya.

"Aku rasa mas Fendy sejak kemarin sore pergi bersama gadis itu," ujar Nita membakar rasa cemburu Yeti. Lantas dia mengambil sebatang rokok dan disulutnya. Dengan santai dia mengisap rokoknya..."Kau tahu tempat tinggal Dewi?"

"Tahu. Mbak mau mencarinya ke sana, mari aku antar."

"Tapi bagaimana ya? Selama ini aku tidak pernah mencari atau menyusul kepergian suamiku. Ah, biarkanlah saja, Nita. Nanti dia kan pulang sendiri," ujar Yeti jadi ragu-ragu.

"Mbak Yeti jangan sampai membiarkan mas Fendy bermain api di luar rumah. Ini bisa membahayakan keutuhan rumah tangga mbak Yeti. Ya kalau gadis itu baik-baik. Kalau ternyata gadis itu cuma mau morotin atau merusak rumah tangga mbak Yeti, bagaimana?"

Yeti jadi bimbang. Keresahan makin menghimpit, hingga dadanya terasa sesak untuk bernapas. Mungkinkah mas Fendy tidak bisa menilai macam apa gadis yang disenanginya itu? Dan haruskah aku hilang rasa kepercayaan dan rasa pengertian yang selama ini ada dalam diriku? Cuma untuk seorang gadis yang bernama Dewi?

"Ayo, Mbak. Kita cari mas Fendy di sana."

Yeti menimbang-nimbang ajakan Nita. Masih nampak ragu-ragu. Namun ketika dia ingat sewaktu Fendy pergi dalam kondisi badan yang kurang sehat, maka tergerak hatinya untuk mencarinya. Bukan lantaran cemburu atau jengkel. Bukan. Bukan itu. Dia khawatir kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Itu saja.

"Baiklah, antarkan aku ke sana." Yeti bergegas bangun dari tempat duduknya. Lalu dia berjalan masuk ke kamar. Menyisir rambutnya sambil memperhatikan pakaiannya. Pantaskah aku mencari mas Fendy dengan mengenakan pakaian begini? Kenapa tidak? Bukankah kesederhanaan adalah cermin kepribadian yang baik? Maka Yeti berjalan meninggalkan kamar itu. Rambutnya yang tergerai sebatas bahu telah rapi disisir. Tanpa dipoles dengan bedak, wajahnya sudah memancarkan pesona. Cantik dan anggun. Tanpa memakai lipstik, bibirnya sudah merah delima. Senantiasa basah dan manis kalau tersenyum.

"Mbok Naaah!" panggil Yeti.

Seorang pembantu rumah setengah baya terbungkuk-bungkuk menghampirinya..."Ya, Nyonya."

"Aku pergi dulu ya. Mbok. Jaga Dino dan Ria baik-baik."

Ginah mengangguk...Yeti dan Nita segera meninggalkan ruang tamu. Dino dan Ria berlari menghampiri mamanya yang hendak pergi.

"Mama mau ke mana?" tanya Ria.

"Mau pergi sama tante Nita. Dino dan Ria dirumah saja ya?"

"Ikut. Ikut." rengek kedua anak itu.

"Mama pergi cuma sebentar kok. Di rumah ya?" bujuk Yeti sambil mengusap-usap rambut kedua anaknya itu.

"Sungguh lho, mama pergi tidak lama," kata Dino.

"Sungguh. Sana main lagi."

Kedua anak itu berlari ke taman seraya bercanda. Yeti dan Nita meneruskan langkahnya ke luar dari halaman rumah. Matahari yang bersinar terik terasa menyengat kulit. Di trotoar pinggir jalan mereka berdiri menunggu taxi. Angin yang berhembus mengurai rambut Yeti.

"Kalau memang mas Fendy ada di sana, apa yang akan mbak Yeti lakukan?" tanya Nita kepingin tahu reaksi Yeti.

"Aku cuma ingin tahu apakah mas Fendy benar ada di sana. Kalau memang ada ya sudah. Aku khawatir, sebab sewaktu mas Fendy pergi dalam keadaan sakit. Dia berpamitan cuma mau membeli obat ke apotik."

Nita manggut-manggut. Sementara di dalam hatinya berkata lain. Seandainya aku yang jadi kamu, tidak akan memberi kesempatan pada suami untuk bisa berbuat sebebas itu. Apalagi sampai bermain serong dengan perempuan lain. Ah, mbak Yeti memang seorang istri yang sabar dan penuh pengertian. Tak mungkin aku bisa seperti dia. Taxi yang meluncur berhenti di depan mereka. Yeti dan Nita bergegas naik dan duduk di jok belakang. Angin yang berhembus menerpa wajah Yeti ketika mobil itu bergerak meluncur dari jendela yang terbuka kacanya.

"Utan Kayu, Bang." Nita menyuruh sopir taxi itu. Sopir itu mengangguk sambil melirik di kaca spion. Yang duduk di jok belakang itu mempunyai paras cantik-cantik. Dan yang satu sering dilihatnya ikut main film. Memang, Nita sering ikut main film sebagai figuran. Taxi itu terus meluncur di Jalan Pramuka. Kendaraan yang ada di jalan raya macet. Yeti dan Nita merasakan seperti di dalam oven. Keringat mengucur membasahi mukanya. Rupanya rambu lalu lintas mati, sehingga menyebabkan lalu-lintas jadi macet. Kemudian Yeti menghela napas lega ketika taxi yang ditumpangi sudah meluncur di jalan Utan Kayu.

"Kau tidak lupa rumahnya?" tanya Yeti.

"Tidak. Rumahnya tidak jauh dari apotik. Stop. Stop, Bang." Nita menyuruh sopir taxi itu menghentikan mobilnya di dekat apotik. Sopir itu menginjak rem dan mobil berhenti.

"Mana rumahnya?"

"Itu yang pagar besinya berwarna hitam"... Kata Nita sambil menunjuk ke sebuah rumah yang cukup mentereng.

"Tapi mobil mas Fendy tidak kelihatan ada di situ. Berarti mas Fendy tidak ada." Yeti memperhatikan keadaan rumah itu. Tenang dan sepi. Tidak nampak adanya tanda-tanda kalau suaminya ada di situ. Sebab tak ada mobil suaminya.

"Sebaiknya kita turun dan bertanya kepada penghuni rumah itu, Mbak. Siapa tahu mas Fendy sedang pergi dengan Dewi."

"Ah, tidak usah. Aku tidak biasa melakukan begitu."

"Jadi bagaimana, Mbak?"

"Kita pulang saja."

"Yaaah, sia-sia dong. Mbak."

"Tak apa-apa. Aku yakin mas Fendy tidak ada di situ."

"Tapi Mbak kan perlu informasi, apakah benar mas Fendy kemarin sore datang ke situ."

"Aku rasa jangan sekarang. Biar aku tunggu sampai nanti malam, kalau memang mas Fendy belum pulang, apa boleh buat. Kita bisa datang lagi kemari."

"Terserah kalau Mbak maunya begitu."

"Ayo, Bang. Antarkan kami kembali ke Cempaka Putih."

Sopir taxi itu meluncurkan mobilnya lagi. Sementara Yeti menghela napas berat. Selama menjalani hidup berumah tangga dengan Fendy, baru kali ini dia mencari suaminya. Padahal sudah sembilan tahun mereka hidup berumah tangga dengan dasar saling mempercayai. Saling pengertian. Baginya tak ada keresahan dan prasangka selama suaminya seringkali tidur di luar rumah. Tidur di mana saja. Yang penting saling menjaga keutuhan rumah tangga dan tetap saling menyayangi. Tapi untuk kali ini, apakah harus dimulai dengan prasangka? Rasa kepercayaan terhadap suaminya mulai berangsur kurang? Ah, tidak. Aku tidak boleh berubah secuilpun. Aku harus tetap seperti sediakala dengan adanya kekurangan dalam diriku. Pembicaraan dalam diri Yeti terhenti. Taxi yang mereka tumpangi juga berhenti. Berhenti di depan rumahnya. Dan Yeti bergegas melangkah turun.

"Mbak Yeti, aku ada keperluan lain. Nanti malam aku kemari lagi," kata Nita yang masih ada di dalam mobil.

"Tidak turun dulu, Nita?"

"Tidak. Keperluanku penting sekali. Mbak."

"Okey deh. Nanti malam aku tunggu ya?"

Nita mengangguk. Yeti menghempaskan pintu mobil. Lalu dia melambaikan tangan pada saat taxi itu meluncur pergi. Dino dan Ria berhambur ke arahnya sambil berjingkrak-jingkrak.

"Mama pulang. Mama pulang." teriak kedua anak itu. Keduanya bergayut di lengan Yeti. Mengikuti langkah mamanya masuk ke dalam rumah. Di kursi panjang Yeti menghenyakkan pantatnya. Kedua anaknya duduk di sisi kiri dan kanan. Perempuan itu nampak termenung.

"Kok papa belum pulang ya, Ma?" kata Dino.

"Ke mana sih?"

"Papamu sedang ada urusan ke luar kota," kata Yeti dengan perasaan resah.

"Baru dua hari papa pulang dari Surabaya sudah pergi ke luar kota," keluh Dino kesal. Anak itu seperti tahu apa yang sedang dirasakan oleh mamanya. Dino memang cerdik. Seringkah memprotes papanya kalau tidak pulang.

Yeti berusaha tersenyum. Padahal hatinya perih..."Papa banyak urusan, sayang."

Yeti membelai rambut Dino penuh kasih sayang. "Yuk, sekarang kita tidur."

Yeti berdiri dan menggandeng kedua anaknya masuk ke dalam kamar. Dino dan Ria selalu menurut perintah mamanya. Kebiasaan yang.diajarkan oleh Yeti setiap siang kedua anaknya harus tidur. Dan apa pun yang dilakukan ayahnya di luar rumah, kedua anaknya itu tidak boleh tahu. Angin yang berhembus semilir menerobos masuk ke kamar. Melalui jendela yang terpentang. Yeti membelai rambut kedua anaknya silih bergantian. Hembusan angin dan belaian itu dapat menidurkan Dino dan Ria. Setelah kedua anaknya tertidur nyenyak, Yeti melangkah turun perlahan dari tempat tidur. Apakah wajahku sudah tidak menarik lagi? Pertanyaan itu tercetus dalam hatinya ketika memperhatikan di pantulan cermin. Dan benarkah apa yang dikatakan Nita, bahwa mas Fendy menaruh hati pada Dewi? Kalau memang benar, pastilah gadis yang bernama Dewi itu kecantikannya melebihi diriku. Atau lantaran dalam.dua tahun terakhir ini mas Fendy merasa terombang-ambing oleh kenyataan yang kualami? Mungkin bisa juga begitu. Jadi patutkah aku menyalahkan mas Fendy? Tidak. Aku tidak boleh menyalahkannya. Semua itu lantaran diriku yang menjadi penyebabnya. Perih hatinya. Sembilan tahun waktu yang tidak sedikit membina biduk rumah tangganya. Dalam cinta dan kasih sayang telah melahirkan dua orang anak. Dino yang kini berusia delapan tahun dan Ria genap enam tahun sebulan yang lewat. Mereka adalah bentuk titisan cinta dan kasih sayang dari buah perkawinan. Tapi kenapa? Kenapa di tengah-tengah perjalanan hidup rumah tangga kami diancam kehancuran? Aku tak lagi mampu memberikan kebahagiaan terhadap suamiku? Kenapa? Kenapa? Oh, Tuhan. Berikanlah ketabahan pada diriku. Betapa akan datangnya nestapa dan kepahitan sekalipun, jadikanlah hambamu ini sebagai seorang istri yang bijaksana. Rela menerima kenyataan yang memerihkan itu.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi. Lalu segera diusapnya. Untuk apa menangis? Air mata tak akan bisa merubah kenyataan. Lebih baik pasrah. Apa pun yang akan terjadi harus diterimanya dengan hati rela.


~~~ 💋💋💓💔💔💋💋 ~~~


Senja perlahan digeser datangnya malam. Namun Yeti yang sejak sore tadi tidak bergeser dari tempat duduknya, selesai mandi dan berdandan dia duduk di kursi tamu. Menunggu Nita datang. Sementara kedua anaknya sedang bermain di lantai. Dino bermain mobil-mobilan, Ria bermain boneka yang bisa berjalan sambil menyanyi. Mereka nampak gembira. Tidak seperti hati mamanya yang sedang rusuh, menunggu suaminya yang belum jua pulang.

"Dino, Ria, kemarilah nak."

Kedua anak itu menghentikan permainannya, lalu menghampiri mamanya..."Ada apa, Ma?"

"Dino dan Ria ikut mama yuk," ajak Yeti.

"Ke mana, Ma?"

"Ke rumah teman papa."

"Ya, Ma. Kalau nanti Dino ketemu papa, akan Dino seret papa supaya cepat pulang," ancam Dino.

"Jangan begitu. Itu tidak baik," kata Yeti sembari mengelus-elus rambut Dino.

"Habisnya papa kalau main ke rumah temannya tidak mau pulang," gerutu Dino yang nampak kesal.

"Biar nanti Ria mau cubit papa!" celetuk Ria ikut-ikutan kesal.

"Kalian tidak boleh begitu ya? Harus yang sopan terhadap papa."

"Biarin!"

"Kalau begitu mama tidak mau mengajak kalian."

"Ya deh."

Di luar ada sebuah taxi yang berhenti. Yeti melongok melalui pintu dan ternyata yang datang adalah Nita.

"Tante Nita datang, Dino." Dino dan Ria berlari menyongsong kedatangan Nita. Taxi itu berhenti menunggu di luar pagar halaman rumah. Lalu Nita bersama Dino dan Ria berjalan menuju ke teras.

"Mama ada di rumah?" tanya Nita.

"Ada. Ayo masuk tante."

Di ruang tamu Yeti menyambutnya.

"Jadi kita pergi, Mbak?"

Yeti mengangguk.

"Aku ajak Dino dan Ria. Kasihan kalau ditinggal di rumah," kata Yeti. Lantas dia memanggil pembantu rumahnya. Ginah menghampiri dengan terbungkuk-bungkuk.

"Aku dan anak-anak mau pergi. Mbok. Jaga rumah baik-baik ya?"

"Ya, nyonya."

Dengan taxi mereka menuju ke Utan Kayu. Dari bergeraknya taxi yang meluncur, rasa bimbang dan ragu di hati Yeti meroyak lagi. Sebab baru pertama kali ini dia mencari suaminya yang tidak pulang semalaman. Ya, baru pertama kalinya dilakukan hal itu. Padahal dia sering ditinggal pergi oleh suaminya berbulan-bulan lamanya, tapi tetap tenang dan biasa-biasa saja. Bergaul intim dengan artis-artis cantik tak pernah punya prasangka apaapa. Karena dia tahu memang itu dunianya. Namun yang kali ini, wah, perasaan Yeti digeluti keresahan. Atau mungkin lantaran dorongan Nita hingga menyebabkan perasaannya jadi tumbuh prasangka? Dan sekaligus ingin membuktikan kebenaran ucapan Nita.

"Kalau sudah sampai di sana apa yang musti aku lakukan, Nita?"

"Ya tentunya Mbak tanya pada penghuni rumah itu."

"Apa aku musti bilang istrinya?"

"Sebaiknya jangan. Bilang saja kalau Mbak ini adiknya mas Fendy. Jadi dengan gampang Mbak bisa memancing pembicaraannya."

Yeti menarik napas berat. Seberat rasanya untuk melakukan hal itu.

"Pertama Mbak cari dulu gadis yang berasal dari Surabaya. Jangan sebut dulu nama Dewi. Sebab nanti gadis yang Mbak cari bisa saja ganti nama. Apalagi kalau dia sudah punya dugaan pada mbak Yeti sebagai istrinya mas Fendy. Wah, bisa berabe usaha kita."

Yeti menganggukkan kepala berat. Taxi yang mereka tumpangi berhenti tidak jauh dari rumah yang dituju. Dengan diliputi perasaan ragu dan gundah, Yeti turun dari taxi itu..."Dino dan Ria ikut mama yuk," ajak Yeti.

"Aku rasa tidak usah mengajak Dino dan Ria. Nanti Mbak bisa ketahuan istri mas Fendy."

"Ah," desah Yeti.

"Biar Dino dan Ria menunggu di mobil bersamaku."

Yeti menghempaskan pintu mobil. Dia mengayunkan langkah dengan gejolak perasaan tak menentu. Antara rasa ragu-ragu dan takut. Antara rasa malu dan bingung. Lantaran apa yang akan dilakukan ini untuk yang pertama kalinya. Dan selama menjadi istri Fendy, selalu menjaga agar suaminya tidak sampai malu di hadapan teman temannya. Sampai dicari istrinya lantaran tidak pulang, walau sebenarnya dia punya hak untuk mencari suaminya. Namun di hati kecilnya merasa begitu berat. Sepasang kaki Yeti jadi gemetar ketika sampai di depan pintu rumah itu. Kalau saja bukan karena rasa khawatir akan keselamatan suaminya, tak mungkin dia mau datang ke rumah itu. Mencari suaminya. Suaminya yang sewaktu berangkat dari rumah dalam keadaan sakit. Darah tingginya sedang kumat.

"Permisi," suara Yeti gemetar. Dia mengetuk rumah yang terbuka lebar. Lalu diamatinya kamar-kamar yang berderet menyerupai losmen saling berhadapan. Seorang perempuan muda melongok ke luar dari kamarnya.

"Selamat malam," sapa Yeti.

"Malam," sahut perempuan itu yang kemudian menghampiri tamunya.

"Saya ingin ketemu dengan adik yang dari Surabaya," kata Yeti dengan suara gemetar. Sepasang kakinya juga gemetar.

"Sayalah orangnya. Anda siapa?"

"Sa... saya adiknya mas Fendy," ucap Yeti tergagap.

Perempuan muda itu berubah ramah sekali. Lalu memegangi lengan Yeti dan mengajaknya duduk di kursi tamu.

"Duduklah dulu. Kenalkan namaku Dewi." Kata Dewi mengajak tamunya saling berkenalan.

"Yeti." Mereka bersalaman.

Yeti sesaat memperhatikan perempuan yang duduk di depannya. O, ini yang namanya Dewi. Orangnya memang cantik dan ramah. Punya mata sayu dengan bulu mata yang lentik. Hidungnya mancung seperti hidung yang dimiliki bintang film Olivia Husay. Lebih mancung bila dibandingkan dengan hidung Yeti. Bibirnya bagian atas sedikit tipis dan yang bagian bawah sedikit Tebal. Tapi serasi dengan bentuk dagunya yang lonjong. Kalau diperhatikan mirip sekali dengan perempuan barat. Sepintas mirip dengan Meriam Bellina. Pokoknya perempuan itu penuh daya pikat, meskipun pada malam itu dia tidak berdandan. Rambutnya yang berombak dikuncir pakai gelang karet. Pakaian yang dikenakan warnanya sudah agak buram. Kelihatan lelah sekali.

"Maaf kalau saya mengganggu Dewi," kata Yeti dengan suara tetap gemetar. Seolah-olah dia sedang menghadapi monster yang menakutkan. Sedangkan yang dihadapi selalu tersenyum ramah. Mengajak bersahabat.

"Ah tidak. Saya sedang tidak ada kesibukan apa-apa kok."

"Begini," suara Yeti serak. "Apakah Dewi kenal dengan mas Fendy?"

"Kenal. Saya kenal dengan mas Fendy ketika shooting film di rumah saya. Memangnya kenapa?"

"Sejak kemarin sore mas Fendy belum pulang. Sewaktu berangkat dia dalam keadaan sakit. Apakah mas Fendy kemarin sempat main ke mari?"

"Kemarin sore mas Fendy memang datang kemari. Tapi cuma sebentar kok. Dia malah mau mengajak Dewi ke Puncak, tapi Dewi tak bisa ikut karena ada urusan lain."

Yeti menarik napas panjang. Dari kamar seberang yang ditempati Dewi bermunculan dua orang perempuan. Dandanannya begitu menyolok. Kedua perempuan itu melempar senyum sapa dan Yeti membalasnya. Lalu kedua perempuan itu saling berbisik. Kemudian kembali masuk ke kamarnya.

"Cuma itu yang ingin saya tanyakan. Tak lain karena merasa khawatir kalau sampai terjadi apa-apa pada diri mas Fendy."

"Saya tahu. Sewaktu mas Fendy shooting film di rumah saya juga sering kumat penyakitnya. Malah kedua orang tua saya ikut membantu membuatkan ramuan daun seledri untuk diminum nya. Kalau kumat kasihan sekali melihatnya."

"Ah, jadi ikut merepotkan orang tua Dewi."

"Biasa kan? Dalam hidup ini saling tolong menolong."

"Kalau begitu saya permisi Dewi."

"Kok buru-buru, kita ngobrol dulu. Lusa Dewi akan pulang ke Surabaya, jadi kapan lagi kita punya kesempatan untuk ngobrol?"

"Ayo, main saja ke rumah," ajak Yeti.

"Lain waktu saja Dewi main ke sana. Mas Fendy sudah memberi alamatnya kok. Lagi pula mas Fendy 'kan tidak ada di rumah."

"Sungguh ya, lain waktu main ke sana." Yeti bangun dari tempat duduknya. Dewi juga demikian. Lalu keduanya berjalan ke pintu rumah.

"Apa benar mas Fendy sudah punya anak dua?" tanya Dewi.

"Benar. Dia orangnya jujur dan terus terang."

"Tadi ke mari naik apa?"

"Taxi."

Mereka berjalan sampai di pintu pagar halaman.

"Sendirian?"

"Tidak. Sama teman. Itu taxinya menunggu di sana. Yuk, Dewi."

"Mari, mari. Salam ya sama istrinya mas Fendy."

Yeti mengayunkan langkahnya menghampiri taxi yang sejak tadi menunggu. Perasaannya jadi lega karena apa yang diduga semula, ternyata meleset. Dewi tidak menampakkan adanya tanda-tanda menaruh hati kepada mas Fendy. Apalagi sampai pergi berdua dengan suaminya. Bahkan ajakan suaminya ditolak. Kalau memang Dewi sehati dengan suaminya, tentu ajakan ke Puncak tak akan ditolaknya. Jadi sangat tak patut kalau Yeti menaruh perasaan cemburu pada perempuan itu. Yeti membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Nita. Lalu dihempaskan pintu mobil itu. Taxi itu meluncur.

"Ketemu dengan Dewi?" tanya Nita.

Yeti mengangguk.

"Bagaimana orangnya?"

"Cantik sekali. Ramah lagi."

"Pantas saja kalau mas Fendy jatuh cinta."

"Dia tadi bilang selama mas Fendy shooting di Surabaya sering kumat penyakitnya. Dan orang tuanya membantu membuatkan ramuan daun seledri untuk diminum mas Fendy."

"Itu memang satu cara untuk mengambil hati mas Fendy."

"Ah, biarkan saja. Nampaknya Dewi orang baik-baik kok."

"Papa mana, Ma?" tanya Dino.

"Papa tidak ada. Menurut tante Dewi, papamu pergi ke Puncak."

Kedua anak itu jadi kecewa. Namun rasa kecewa itu segera sirna ketika melihat di depan rumah nampak ada mobil ayahnya.

"Itu mobil papa, Ma."

"Ya. Berarti papamu sudah pulang."

Taxi itu berhenti di depan pagar halaman rumah. Bergegas Yeti turun. Disusul kedua anaknya yang sudah tak sabar lagi ingin bertemu dengan ayahnya. Kedua anak kecil itu terlebih dulu berlari masuk ke dalam rumah. Yeti membayar ongkos taxi. Nita ikut turun dari taxi itu. Lalu keduanya berjalan masuk ke dalam rumah.

"Duduklah dulu, Nita." Yeti meneruskan langkahnya menuju ke kamar tidur. Fendy nampak sedang bergurau dengan Dino dan Ria di atas tempat tidur. Yeti menghampiri suaminya dan duduk di pinggir tempat tidur sembari senyum-senyum.

"Ada tamu dari Surabaya mencarimu. Mas."

Fendy jadi terperangah mendengar ucapan Yeti. Senda gurau dengan kedua anaknya langsung terhenti..."Siapa? Siapa tamu itu?" tanya Fendy dengan gugup. Dia bergegas bangun dari tempat tidur.

"Lihatlah sendiri di ruang tamu." Yeti senyum-senyum menggoda. Dengan tergesa Fendy menuju ke ruang tamu. Diikuti Yeti dan kedua anaknya. Jantungnya berdebar-debar lantaran punya dugaan yang datang adalah Dewi. Namun begitu dilihatnya yang duduk di kursi tamu adalah Nita, debaran jantungnya jadi reda. Malah dia kelihatan lesu. Tumbuh perasaan curiga terhadap Nita. Fendy lalu duduk di kursi. Yeti ikut duduk di sebelahnya.

"Kalian barusan dari mana heh?" tanya Fendy dengan nada curiga.

"Mencari mas Fendy," sahut Yeti. Nita mengisap rokoknya dengan tenang.

"Mencariku ke mana?"

"Ya tentunya ke rumah kenalan mas Fendy."

"Siapa? Siapa?" desak Fendy dengan mata blingsatan. Kalau sampai Yeti mencarinya ke rumah Dewi, celaka! Bakal ketahuan.

"Orangnya cantik sekali. Mas Fendy merasa punya kenalan seorang perempuan yang wajahnya mirip Meriam Bellina tidak?"

"Iya, tapi siapa namanya?"

Yeti tersenyum. Nita dan Yeti saling bertukar senyum menggoda Fendy. Menyebabkan Fendy jadi tambah curiga dan penasaran.

"Tinggalnya di Utan Kayu. Dia belum lama datang dari Surabaya."

Fendy termangu. Tak salah lagi yang dimaksud Yeti adalah Dewi. Sialan! Pasti Nita yang memberi tahu tempat tinggalnya Dewi. Dan dari mana Yeti bisa tahu kalau bukan Nita yang memberi tahu.

"Kau barusan menemui Dewi?" tanya Fendy dengan raut wajah tak senang.

"Ya."

"Apa katanya?"

"Dia bilang mas Fendy kemarin sore datang menjenguknya sebentar. Lalu pergi ke Puncak bersama temannya. Dia tak bisa menuruti ajakan mas Fendy ke Puncak karena ada keperluan lain. Cuma itu yang dikatakan."

Fendy menghela napas lega. Untung dia sudah keburu pulang setelah mengantar Dewi sampai di rumahnya. Kalau tidak pasti akan ketahuan belangnya. Dan ternyata Dewi pintar memberi alasan yang tepat.

"Untuk apa kau ke sana?"

"Mencari mas Fendy. Aku khawatir karena sewaktu kau pergi dalam keadaan tubuh yang kurang sehat. Takut kalau sampai terjadi apa-apa pada dirimu."

"Ah!" desah Fendy merasa tak senang. Lalu dia meninggalkan tempat duduknya dengan perasaan kesal. Yeti jadi bingung.

"Sebaiknya aku pulang saja, Mbak."

"Tunggu sebentar Nita. Biar nanti mas Fendy yang mengantarmu pulang."

"Tidak usah merepotkan mas Fendy, Mbak."

"Tak apa-apa, tenang saja. Tunggu sebentar ya?" Yeti berjalan masuk ke kamar. Dijumpai suaminya yang berbaring di atas tempat tidur.

"Pa, papa marah ya sama mama?" tanya Yeti lunak.

Fendy melirik istrinya yang duduk di sisinya. Sorot matanya menyimpan rasa kesal.

"Sejak mulai kapan mama berani kelayapan mencari papa?" sahut Fendy yang nadanya mencemooh. Tak senang dengan apa yang dilakukan istrinya.

"Mama sampai mencari papa karena resah dan cemas. Kemarin sore papa pergi dalam keadaan sakit. Mama khawatir kalau sampai terjadi apa-apa pada diri papa," kata Yeti lembut sembari mengusap-usap lengan suaminya.

"Apa bukan karena dipengaruhi Nita?"

Yeti menggeleng. Sepasang matanya yang bening merupakan pancaran beningnya hati perempuan itu. Kelembutannya adalah belaian kasih sayang seorang istri yang berhati mulia dan sabar.

"Pa, antarkan dulu Nita pulang. Mau kan?"

"Suruh saja dia pulang sendiri. Kenapa musti diantar?"

"Jangan begitu, Pa. Tolonglah antarkan dia pulang."

Fendy mendesah kesal. Namun dengan rasa berat hati dan bermalas-malasan, terpaksa Fendy menuruti permintaan istrinya. Dia beranjak turun dari tempat tidur. Lalu mengambil kunci kontak mobil di atas meja.

"Papa pergi dulu," pamit Fendy dengan muka cemberut.

"Hati-hati ya, Pa."

Fendy berjalan ke luar dari kamar dan diikuti istrinya. Di ruang tengah Dino dan Ria sedang menyaksikan acara televisi.

"Papa mau ke mana lagi?" tegur Dino.

"Mau mengantar tante Nita pulang," sahut Yeti.

"Lama nggak?"

"Sebentar."

Di ruang tamu Nita sudah bersiap-siap untuk pulang. Begitu Fendy muncul, dia langsung berpamitan dengan Yeti. Yeti mengantar Nita sampai naik ke dalam mobil. Lalu Fendy menghidupkan mesin mobil itu dan meluncurkannya pergi.

"Apa maksudmu memberi tahu tempat tinggal Dewi?" tanya Fendy dingin.

"Karena mbak Yeti mengkhawatirkan kepergian mas Fendy. Aku kasihan melihat mbak Yeti yang senantiasa gelisah dan cemas."

"Tapi aku benar-benar tidak suka dengan caramu yang mau ikut campur urusan rumah tanggaku."

Fendy meluncurkan mobilnya dengan kencang. Di setiap tikungan ban mobilnya berdenyit. Tubuh Nita jadi terombang-ambing, seperti naik kapal laut yang diterjang ombak besar. Dia berpegangan kuat-kuat agar tubuhnya tidak terombang-ambing. Dia tahu kalau Fendy sedang melampiaskan kemarahannya.

"Mas Fendy marah ya sama Nita?"

Laki-laki itu tidak menyahut. Malah semakin menancap gas. Membuat Nita jadi ketakutan.

"Mas Fendy! Mas Fendy!" teriak gadis itu.

"Biarlah Nita turun di sini saja. Mas Fendy tidak usah mengantar Nita sampai di rumah."

Fendy tetap bungkam. Nita jadi tambah ngeri naik di dalam mobil yang kecepatannya luar biasa itu...

"Mas Fendy membenci Nita sekarang ya?" Suara gadis itu gemetar. Wajahnya nampak pucat.

"Seharusnya kau bisa mengerti kehidupan yang kualami. Dan aku paling benci dengan caramu itu!" kata Fendy sengit.

"Maafkanlah Nita, Mas. Nita tak ingin didalam hubungan kita akan hadir wanita lain. Wanita yang merupakan saingan buat Nita."

"Jadi kau bermaksud memonopoli aku?"

"Bukankah selama ini di antara kita telah terjalin hubungan cinta kasih. Mas?"

"Jalinan hubungan kita hanya saling.membutuhkan. Kau jangan salah mengerti, Nita. Begitu juga hubunganku dengan gadis-gadis lainnya."

Mobil itu membelok di bilangan Kebayoran. Lalu berhenti di depan sebuah rumah yang cukup mewah. Sesaat Nita menatap lelaki yang duduk di belakang stir itu. Tak ada senyum. Tak ada keramahan. Yang ada sikap dingin lelaki itu. Tak acuh. Nita hanya bisa menarik napas berat.

"Kapan mas Fendy punya waktu mengajak Nita lagi?" tanya Nita dengan suara lunak. Sambil membuka pintu mobil.

"Kapan-kapan," sahut Fendy tak bersemangat. Malas untuk bersitatap dengan gadis itu.

"Terima kasih ya. Mas. Jangan marah lho,"

Nita melangkah turun dan menghempaskan pintu mobil. Brengsek! Rutuk Fendy dalam hati. Dia langsung tancap gas. Mobilnya meluncur bagai anak panah lepas dari busurnya. Sungguh tak diduga kalau gadis itu sampai mengadu kepada istrinya. Sampai bisa mempengaruhi Yeti yang selama menjadi istrinya tak pernah mencari ke manapun dia pergi. Kalau akan terjadi begini, untuk apa mengajaknya pergi mencari tempat tinggal Dewi. Nita yang dianggap seorang sahabat, seorang teman yang setia, ternyata mengkhianatinya. Fendy jadi timbul rasa tidak menyukai gadis itu. Mendongkol hatinya. Dan rasa mendongkol itu masih dibawa sampai di rumah. Semacam gumpalan duri yang mengganjal di lekuk hatinya. Sehingga tatapan matanya begitu dingin. Namun Yeti menyambutnya dengan senyuman. Perempuan itu mengikuti suaminya masuk ke dalam kamar. Fendy melempar kunci kontak mobil ke meja. Lalu dia merebahkan diri di atas tempat tidur. Yeti duduk di pinggir tempat tidur sambil mengamati wajah suaminya. Yang diamati menatap langit-langit kamar. Tak acuh. Kendati perempuan itu tetap nampak tenang. Sabar. Setia menunggu senyuman dari suaminya.

"Mama minta papa jangan salah mengerti. Mama tidak punya maksud membikin malu papa dihadapan Dewi," kata Yeti lunak. Hati-hati sekali agar jangan sampai suaminya tersinggung.

"Aaah, kau pasti sudah ngomong yang tidak-tidak sama Dewi. Karena kau sudah kena pengaruh omongan Nita." Fendy nampak emosi.

"Mama tidak ngomong yang tidak-tidak sama Dewi. Dan mama tidak mengaku sebagai istri papa. Percayalah, Pa. Yang mama tanyakan, apakah papa kemarin datang menemui Dewi. Dewi bilang, memang kemarin papa ke sana cuma sebentar. Lalu papa pergi ke Puncak bersama teman."

"Mama belum tahu siapa sebenarnya Dewi. Hidupnya terombang-ambing tidak menentu. Aku kasihan padanya," ujar Fendy sembari menarik napas panjang. "Maka untuk itu, janganlah mama menambah beban penderitaannya dengan menaruh prasangka yang tidak-tidak."

"Pernahkah mama melarang papa bergaul intim dengan perempuan manapun? Tidak pernah kan, Pa? Itu berarti mama tidak punya prasangka yang tidak-tidak terhadap papa ataupun perempuan lainnya. Apalagi terhadap Dewi yang mama terkesan akan sikapnya. Ramah dan mengajak persaudaraan. Padahal mama baru ketemu sekali itu."

Wajah Fendy yang dingin dan tak acuh berubah cerah. Lalu dia memandang wajah istrinya. Sungguh tak patut memperlakukan istrinya dengan sikap dingin dan tak acuh. Kemudian dia bangun dan merengkuh bahu Yeti. Yeti menyandarkan kepalanya di dada suaminya.

"Maafkan papa, Ma. Papa mudah terpancing emosi." kata Fendy sembari membelai rambut istrinya. Ucapan dan belaian tangannya membuat perempuan itu terenyuh. Setetes air mata jatuh perlahan di pipi perempuan itu.

"Kalau memang papa menaruh hati pada Dewi, mama ikhlas. Nampaknya dia bisa diajak persaudaraan dengan mama."

"Ma, jangan berkata begitu dulu. Papa menemui Dewi karena orang tuanya minta tolong agar papa menjenguknya. Apa benar Dewi ada di situ dan bagaimana keadaannya. Ternyata dia baik-baik. Cuma itu, Ma." Sebenarnya perasaan Fendy berontak. Berontak lantaran dia berdusta.

Suara sandal menepak. Ria muncul di pintu kamar sembari merengek..."Mama, Ria mau tidur," kata anak itu mendekati ibunya. Mengusap-usap matanya.

"Sini, sini mama kelonin," ujar Yeti. Lalu ditidurkannya anak itu di atas tempat tidur. Yeti tidur di samping anaknya. Sedang Fendy beranjak pergi dari kamar itu. Di ruang tengah yang hening dan sepi, Fendy menghenyakkan pantatnya di kursi. Dia mengedarkan pandang, tak nampak Dino. Anak itu pasti sudah tidur di kamarnya. Pandangan Fendy singgah di gordyn jendela. Belum ditutup. Maka dia bangkit dan menghampiri jendela itu. Semua gordyn ditutupnya. Pintu rumah dikuncinya rapat-rapat. Lalu dia kembali duduk di tempatnya semula. Mulai mengenang lembaran baru yang dialami bersama Dewi. Dari sejak pertama kenal sampai pertemuannya kemarin dengan perempuan itu. Terlalu indah untuk dilukiskan dengan katakata. Terlalu manis untuk dirasakan. Itulah kesan yang diperoleh Fendy sejak berjumpa dengan Dewi. Padahal selama dia shooting film di Surabaya cuma dua kali bertemu dengan perempuan itu. Pertama kenalan biasa. Keduanya Fendy memberanikan diri untuk mengajak pergi. Dan perempuan itu tidak menolaknya. Cuma terbatas. Ya, cuma terbatas karena pada sore harinya Fendy harus shooting film. Namun pada kesempatan yang terbatas itu telah dimanfaatkan oleh Fendy untuk bermesraan dengan Dewi. Yah, sekalipun cuma berpegangan tangan, saling meremas jemari tangan, sudah terlalu berkesan buatnya. Tapi di hari berikutnya perempuan itu pergi tanpa pesan. Kepergian Dewi menyebabkan Fendy jadi gampang murung. Sering melamun. Dan dia jadi bingung sendiri. Apakah ini yang namanya jatuh cinta? Cinta? Cinta? Ah, mulai kapan perasaan semacam ini tumbuh? Alangkah lucu. Menggelikan. Bukan apa-apa, terasa aneh agaknya. Selama dia bergaul intim dengan perempuan manapun tak pernah merasakan begitu. Tapi dengan Dewi tumbuh intuisi. Tumbuh perasaan yang senantiasa ingin selalu berdampingan. Takut kehilangan perempuan itu. Padahal perempuan itu sudah janda. Punya anak perempuan satu. Sewaktu Fendy shooting dirumahnya sering bercanda dengan anak kecil itu. Usianya akan menginjak tujuh tahun, dua bulan lagi. Namanya Rita. Wajahnya mirip sekali dengan Dewi. Cantik dan ramah sekali. Tapi kasihan karena sering ditinggal pergi ibunya. Dia diasuh oleh kakek dan neneknya. Rupanya dari hasil pendekatan Fendy pada anak itu, dia bisa mengetahui ke mana perginya Dewi.

"Kemarin mama kirim surat sama kakek," kata Rita.

"Mama Rita kirim surat? Sekarang mana surat itu."

"Disimpan sama kakek."

"Rita tahu di mana kakek menyimpan surat itu?"

"Ya di kamar kakek."

"Rita mau mengambilkan?"

Gadis kecil itu menggelengkan kepala. Takut.

"Kata kakek, mama Rita ada di Jakarta Bekerja di sana cari duit. Kalau pulang Rita mau dibelikan boneka yang bagus bagus."

Di Jakarta? Fendy jadi termenung. Bekerja mencari uang di Jakarta? Wah, bisa terjerumus kalau salah jalan. Pikir Fendy jadi gelisah.

"Tante Tuty tidak kelihatan ke mana?"

"Pergi sama Nenek. Nah, nah itu tante Tuty

sudah kembali," kata Rita sambil menunjuk ke arah colt minicab yang dikemudikan oleh Tuty. Mobil itu berhenti di halaman rumah. Fendy tersenyum ramah dan sopan menyambut Tuty yang baru turun bersama ibunya dari mobil.

"Selamat siang. Bu. Selamat siang Tuty."

Ah. mas Fendy. Sudah lama?" "Setengah jam yang lalu."

"Ayo masuk. Mas. Masak ngobrol sama Rita di teras." ajak Tuty.

Fendy malangkah masuk ke ruang tamu. Duduk di kursi bersebelahan dengan Rita. Gadis kecil itu nampak sudah sehati dengan Fendy. Akrab sekali dan manja. Fendy menyadari karena Rita selama ini hampa kasih sayang dari seorang ayah. Kendati Fendy belum mengetahui secara pasti apakah Dewi sudah bercerai dengan suaminya. Karena perempuan itu tak pernah menceritakan apa-apa padanya. Selalu tertutup. Atau lantaran perkenalan mereka belum mendalam? Bisa juga begitu. Baru dua kali bertemu mana mungkin seorang perempuan akan menceritakan persoalan rumah tangganya. Itu terlalu bodoh.

"Mas Fendy tidak shooting hari ini?" tanya Tuty yang duduk berhadapan dengan Fendy.

"Lagi break."

"Di mana lokasi shootingnya sekarang?"

"Setelah dari sini pindah ke Tretes. Tinggal beberapa hari lagi shootingnya selesai. O ya, apa benar Dewi tinggal di Jakarta?"

"Ya. Darimana mas Fendy tahu?"

"Rita yang memberi tahu. Tuty tahu alamatnya Dewi tinggal di Jakarta."

"Di Utan Kayu nomor empat puluh delapan."

Fendy manggut-manggut. Alamat itu terus diingatnya jangan sampai lupa. Dan sejak itu, Fendy rasanya ingin cepat selesai shootingnya. Agar dia bisa cepat kembali ke Jakarta dan mencari Dewi. Selama itu dia cuma bisa membayangkan pertemuan dengan Dewi. Membayangkan segala kemesraan yang teramat indah dan berkesan. Bahkan seolah-olah apa yang dibayangkan selama.beberapa hari ini benar-benar dialami. Walau semuanya itu berupa lamunan. Kerinduan itu bagai beliung yang menusuk-nusuk hatinya. Padahal cuma tinggal sehari shootingnya selesai. Tapi rasanya dia sudah kepingin cepat-cepat kabur ke Jakarta. Dan begitu selesai, langsung saja Fendy naik pesawat kembali ke Jakarta. Tak perduli dengan yang lainnya. Setibanya di rumah, dia melepaskan kerinduan dengan istri dan kedua anaknya. Tapi kerinduan pada Dewi terasa memonopoli.perasaannya. Maka tak lama kemudian dia pergi ke kantor film untuk menyelesaikan urusannya. Di sana dia bertemu dengan Nita. Lalu bersama Nita mencari alamat rumah Dewi.


~~~ 💋💓💔💓💋 ~~~


Dengan rasa kecewa Fendy tidak bertemu dengan Dewi karena perempuan yang dicarinya sedang ke luar rumah. Sore harinya Fendy datang seorang diri kerumah kost Dewi. Dan sore itu adalah puncak dari segala letupan kerinduannya. Dewi menyambut kedatangan Fendy dengan pelukan erat. Sejuta rasa bahagia menggebu dalam dada lelaki itu.

"Kau baik-baik saja, Dewi?" tanya Fendy.

"Seperti apa yang mas Fendy lihat. Dewi baik-baik."

Keduanya duduk berhadapan. Dewi menarik kursinya lebih dekat dengan Fendy. Supaya bisa memegangi jemari tangan lelaki itu. Fendy yang biasanya romantis kalau sedang beraction di depan camera, apalagi jika adegannya bertemu dengan kekasih hatinya, namun kali ini dia malah seperti patung. Termangu menatap Dewi yang duduk di depannya. Tingkahnya jadi kaku. Kendati hasrat di hatinya ingin menumpahkan kemesraan. Ingin melampiaskan kerinduannya dengan mengecup pipi perempuan itu. Atau meremas remas jemari tangan Dewi sembari mengucapkan... "Aku rindu sekali padamu".

"Dari mana mas Fendy tahu Dewi tinggal di sini?"

"Tuty yang memberi tahu."

"Mas Fendy tinggal di Jakarta bersama siapa?"

"De... dengan keluarga." suara Fendy agak berat.

"Dengan keluarga?"

Fendy mengangguk.

"Dengan istri dan anak?"

Lelaki itu mengangguk lagi. Dewi yang semula begitu bahagia jadi nampak kecewa. Tubuhnya bergerak mundur dan menyandar di kursi. Mas Fendy sudah mempunyai istri dan anak? Ah, kenapa jalan hidupku senantiasa tak pernah mulus? Padahal, padahal selama ini aku merindukan pertemuan dengan lelaki ini. Senantiasa berkhayal bisa menjalin cinta dan kasih sayang dengannya. Bahkan apa yang kubayangkan selama ini terlalu indah bersamanya. Mustikah segala khayal dan impianku hancur karena kenyataan? Dosakah aku mencintai mas Fendy yang sudah mempunyai istri dan anak? Dosakah?

"Dewi kecewa karena mas Fendy sudah berkeluarga?"

"Ah, tidak," sahutnya dalam desah.. Dua perempuan ke luar dari kamar yang berhadapan dengan kamar Dewi.

"Tika, Resti, kenalkan dulu nih sama teman Dewi," kata Dewi.

Kedua perempuan yang sudah berpakaian rapi dan bermake up tebal itu melangkah ke ruang tamu.

"Enggak usah kenalan juga sudah tahu namanya," sahut Tika tersenyum-senyum. "Siapa sih yang tidak kenal dengan aktor yang sedang top namanya."

Fendy tersenyum...

"Tapi lebih resminya jabatan tangan dulu dong." Dewi menarik lengan Tika dan Resti. Tika dan Resti bergantian berjabatan tangan dengan Fendy. Setelah itu kedua perempuan itu kembali masuk ke kamarnya. Di ruang tamu hanya tinggal mereka berdua. Fendy dan Dewi.

"Kamu kerja di mana?" tanya Fendy memecah kebisuan.

"Night club."

"Oh Tuhan," keluh Fendy sembari tertunduk.

"Memangnya kenapa?"

Fendy mengangkat kepalanya perlahan. Lantas ditatapnya wajah Dewi dalam-dalam. Tatapannya bentrok dengan pandangan mata perempuan itu. Saling berpandangan. Oh, mata itu terlalu sayu dan indah. Ingin rasanya Fendy mengecup mata itu. Tapi keinginan itu bisa dikendalikannya.

"Pekerjaan itu tidak baik untukmu, Dewi."

"Semua itu tergantung orang yang menjalani nya, Mas. Dewi bisa membatasi diri."

"Tapi lama-lama kau bisa terpengaruh dengan kehidupan lingkunganmu. Aku sanggup mencarikan pekerjaan yang lebih baik untukmu."

"Mau mengajakku jadi bintang film?"

"Kalau kau mau. Dan kau tidak kalah cantiknya bila dibandingkan dengan Meriam Bellina misalnya."

Dewi tertawa renyah..."Mas Fendy malam ini tidak punya acara kah?"

Fendy menggeleng sambil tersenyum.

"Pergi yuk sama Dewi. Mau?"

"Tentu."

"Tunggu sebentar ya, Dewi tukar pakaian."

Dewi beranjak masuk ke dalam kamarnya. Rasanya Fendy ingin berjingkrak-jingkrak saking girangnya. Pucuk dicinta ulam tiba. Bagaimana tidak? Sejak dari rumah memang tujuan Fendy ingin mengajak Dewi pergi. Sampai tak menghiraukan kalau penyakit darah tingginya sedang kumat. Dia paksakan juga pergi menemui Dewi dengan kondisi tubuh lesu. Berpamitan dengan istrinya mau membeli obat, tapi yang dituju bukannya apotik atau toko obat, melainkan tempat kost Dewi. Dan ternyata dia mendapatkan obat yang lain dari yang lain. Lebih mujarab. Rasa rindunya lenyap, ditambah lagi dengan ajakan perempuan itu pergi. Wah, perasaan Fendy senang banget. Penyakit darah tingginya langsung menurun seketika. Sekalian mengantar Tika dan Resti ke hotel Gajah Mada, mereka berempat pergi. Ternyata Tika dan Resti juga bekerja di night club bersama dengan Dewi. Tapi malam itu Dewi sengaja tidak masuk bekerja karena ingin pergi bersama Fendy. Setelah mengantar Tika dan Resti di depan hotel, Fendy membawa Dewi ke Ancol. Di sanalah tempat satu-satunya buat Fendy untuk memadu kasih. Dulu semasa di Surabaya belum tuntas kemesraan yang dirasakan olehnya. Terhalang oleh kesibukan shooting film. Dan sekaranglah waktunya untuk melampiaskan segala kerinduan dan kasih sayangnya. Mobil Fendy berhenti di pinggir pantai. Di bawah pepohonan nyiur yang bergoyang-goyang ditiup angin malam. Kemudian Fendy mengajak Dewi turun dari mobil. Udara dingin menerpa kulit mereka. Fendy merangkul bahu perempuan itu dan mengajaknya duduk di bawah payung rettauran. Mereka duduk berdampingan sambil memandang permukaan laut yang kelam. Suara debur ombak tak pernah berhenti.

"Kau mau pesan makanan dan minuman apa?" tanya Fendy. Ditatapnya wajah Dewi yang cantik kena cahaya lampu dari restauran. Rambutnya yang sebatas leher terurai disapu angin.

"Mas Fendy suka nasi goreng?"

"Apa yang kau suka, mas Fendy juga suka. Asalkan jangan daging kambing."

Pelayan restauran menghampiri. Dewi menyerahkan nota pesanannya. Lalu pelayan itu pergi dan menyerahkan nota itu kebagian dapur. Fendy memegang jemari tangan Dewi yang ada di atas meja. Lembut sekali dielus-elusnya.

"Apa yang menyebabkan keinginanmu pergi ke Jakarta dan bekerja di night club?"

"Setiap manusia mempunyai problem hidup masing-masing. Dan punya cara hidup masing-masing pula. Dan tentunya aku punya alasan kenapa pergi ke Jakarta, kemudian bekerja di night club."

"Boleh aku tahu problem apa yang kau alami?"

Dewi menarik napas berat sambil memandang lampu-lampu kapal yang di kejauhan berkedip-kedip. Seperti bintang di langit.

"Aku rasa tak ada gunanya mas Fendy tahu"... Desah Dewi.

"O, sangat berguna sekali bagiku. Siapa tahu di dalam air yang keruh bisa kita dapatkan sebutir mutiara. Itu misalnya. Jadi tidak ada jeleknya kalau problem yang kau hadapi bisa kita pecahkan bersama."

Dewi menggeleng..."Sulit."

"Apanya yang sulit?"

"Ah, lebih baik mas Fendy tidak usah mengerti. Biarlah problem hidupku akan kuatasi sendiri."

Fendy cuma mengangkat kedua bahunya. Apa boleh buat kalau memang dia berat untuk mengatakannya. Dan mungkin belum saatnya dia mau mengatakannya. Itu bisa jadi. Memang kebanyakan perempuan paling bisa menyimpan rahasia dalam hidupnya. Paling lebih berhati hati untuk mau menceritakan kehidupannya kepada orang lain. Pelayan datang mengantarkan hidangan dan dua botol teh Sosro. Lalu mereka berdua menyantap nasi goreng yang masih hangat itu. Sebentar-sebentar mereka saling bertukar pandang. Bertukar senyum. Mesra sekali.

"Shootingnya di Surabaya sudah selesai. Mas?"

Fendy mengangguk.

"Kapan shooting film barunya?"

"Mungkin bulan depan. Kau mau ya ikut main?"

"Mau dijadikan apa aku ini? Pelayan sexy?"

"Jelas tidak dong. Paling tidak bisa kuajukan sebagai peran pembantu. Pembantu yang dimaksud bukannya pembantu rumah tangga, melainkan sebagai lain mainnya tokoh dalam cerita. Kalau mainmu bagus langsung bisa ngetop."

Dewi tertawa renyah..."Tapi Dewi sejak kecil tidak punya keinginan jadi bintang film. Kepinginnya jadi ibu rumah tangga yang baik."

"0, itu bagus sekali cita-citamu."

"Cuma sayangnya sampai kini belum terlaksana."

"Dengan mas Fendy pasti bisa terlaksana."

"Ah!" desah Dewi.

"Kenapa?"

"Tidak kenapa-kenapa."

Selera makan Dewi jadi hilang. Perutnya mendadak jadi kenyang. Lantas dia menyudahi makannya. Beralih menyedot teh botol dengan pipet. Fendy jadi ikut-ikutan.

"Sudah pernah ke Theatre Mobil?"

Dewi menggeleng.

"Mau nonton di sana?"

Dewi mengangguk sambil berkata..."Sepulangnya nonton sekalian jemput Tika dan Resti ya?"

Lelaki itu yang kini giliran mengangguk. Arena theatre mobil memang sangat luas. Sebuah layar bioskop yang berukuran besar berdiri tegar. Barangkali ukuran layar itu dua kali atau tiga kali bila dibandingkan dengan layar digedung bioskop. Fendy cuma mengira-ngira lantaran tak tahu pasti. Sedang bagi Dewi merupakan pemandangan yang baru. Sebab baru pertama kalinya menginjak dan tahu keadaan di theatre mobil itu. Rembulan bergayut di langit. Cahayanya yang perak menerangi arena theatre itu. Maka dia bisa melihat berpuluh-puluh mobil berjejer menghadap ke arah layar bioskop. Pertunjukan sudah dimulai. Dia duduk di sebelah Fendy yang memeluk bahunya.

"Selama kita berpisah, pernahkah ada kerinduan di hatimu?" tanya Fendy. Jemari tangannya membelai rambut Dewi.

"Kalau di hati mas Fendy bagaimana?" Dewi balik bertanya.

"Aku rindu sama kamu."

"Dewi juga demikian. Tapi Dewi tak pernah terpikirkan kalau kita akan jumpa lagi di Jakarta."


~~~💋💔💓💔💋~~~


Pelukan Fendy makin erat pada tubuh perempuan itu. Perhatiannya tidak lagi tertuju ke layar bioskop. Namun ke wajah Dewi yang ada dalam pelukannya. Getaran jiwanya berkeinginan mencium bibir perempuan itu. Lalu dia menempelkan pipinya ke pipi yang berkulit halus itu. Digesek-gesekkan perlahan. Dan perempuan itu nampak diam. Pasrah apabila bibir lelaki itu akan mendarat di bibirnya.

"Aku ingin menciummu," kata Fendy lirih.

Dewi memejamkan matanya. Itu berarti dia tak menolaknya. Maka Fendy menggeser bibirnya mendekati bibir perempuan itu. Napas lelaki itu terasa hangat meniup pipi Dewi. Menyebabkan bulu romanya meremang. Dan darahnya mengalir menyentak-nyentak di jantung. Dan kebahagiaan bibir lelaki itu menempel di bibirnya. Kemudian melumat dengan lembut. Pijar-pijar dalam dirinya bagai disulut. Keter, ombang-ambingan menjalani nasib menyebabkan dirinya berusaha mencari pegangan. Dan ibarat terbawa arus air yang deras, dia berhasil menggapai sebuah tonggak. Tonggak itu kemudian dipegangnya agar tetap bisa bertahan memerangi arus kehidupan. Tonggak itu adalah Fendy. Lelaki itu diharapkan bisa menjadi pelindung dirinya. Yang semula Dewi ragu-ragu, tapi kemudian membalas ciuman lelaki itu. Memeluknya erat-erat. Selama ini dia cuma membayangkan bercumbu kasih dengan idaman hatinya itu, kini menjadi kenyataan. Bahkan seolah-olah dia merasakan jalinan cinta kasih mereka sudah terbina lama. Begitu pula seperti apa yang dirasakan Fendy. Padahal mereka berjumpa baru tiga kali. Tak tahu bagaimana jalan ceritanya film yang mereka tonton. Akan tetapi kalau ditanya bagaimana perasaan mereka, jawabnya pasti bahagia. Belaian dan paduan kasih sayang telah mereka resapi. Beberapa kali mereka berciuman sudah lupa untuk dihitung. Udara pantai makin terasa lain. Dingin sekali. Waktu sudah berganti dini hari. Pertunjukan di theatre mobil sudah selesai. Fendy dan Dewi meninggalkan Ancol. Mereka menjemput Tika dan Resti di samping hotel Gajah Mada. Tak lama mereka menunggu, Tika dan Resti muncul. Lantas Fendy memanggil kedua perempuan itu. Tika dan Resti segera menghampiri dan naik ke dalam mobil. Setelah mengantar Tika dan Resti sampai di depan tempat kost, lalu Fendy mengajak Dewi untuk bermalam di Puncak. Dan ternyata perempuan itu tidak menolak ajakannya. Di sebuah kamar hotel yang cukup mewah mereka menginap. Di satu tempat tidur mereka berbaring berdua. Kalau sudah demikian setan menggelitik gairah napsu mereka. Hawa Puncak yang dingin menyebabkan pijar-pijar dalam darah mereka mendidih. Menyentak-nyentak. Apalagi Fendy tak mau melepaskan dekapannya pada tubuh Dewi. Tubuh yang padat itu menyimpan sesuatu kenikmatan. Ditambah dengan ciuman Fendy yang bertubi-tubi. Beban derita yang selama ini dipendam dalam jiwa perempuan itu bagai lenyap. Saat-saat yang dilalui detik itu berubah indah. Mengesankan.

"Dewi, aku tak ingin berpisah lagi denganmu," ujar Fendy. "Aku mencintaimu."

"Tapi hidupmu tidak sendiri, Mas. Bagaimana dengan istrimu?"

"Dia dia" ucapan Fendy terhenti. Lelaki itu menarik napas berat. Memandang langit-langit kamar dengan pancaran mata murung.

"Istrimu kenapa?"

"Dia menderita penyakit kanker rahim."

Dewi terperangah. Lalu diperhatikan sepasang mata Fendy yang murung. Dia ingin melihat kejujuran dari sorot mata lelaki itu... "Mas Fendy tidak berbohong?"

"Demi Tuhan, apa yang kukatakan adalah benar."

"Kasihan," gumam Dewi. "Lantas dengan penyakit yang diderita istrimu, apakah mengurangi kebahagiaan rumah tangga?"

"Aku tidak mau memburukkan keadaan istriku di hadapanmu. Karena pada kebiasaannya apabila seorang laki-laki ada maunya dengan perempuan lain, dia akan menjelek-jelekkan istrinya. Semuanya itu hanya bertujuan agar perempuan itu mau membalas cinta dan kasih sayangnya. Tapi aku tidak mempunyai tujuan begitu. Pada kenyataannya, istriku tak bisa lagi melayani pelampiasan nafkah batinku."

"Sudah berapa lama istrimu menderita penyakit itu?"

"Dua tahun berselang."

"Sudah diperiksakan ke dokter secara rutin?"

"Sebulan dua kali periksa ke dokter spesialis. Sebelum dia menjalani operasi, dokter tidak mengizinkan untuk melakukan persetubuhan. Sedangkan kanker itu lambat laun akan menjalar kekandungan."

"Kenapa tidak operasi saja?"

"Istriku takut menjalani operasi. Dia takut mati," keluh Fendy dalam kesedihannya.

"Kematian manusia adalah milik Tuhan. Kalau memang Tuhan masih memberi umur panjang, sekalipun beratnya menjalani operasi akan tetap selamat."

"Tapi sifat istriku memang agak lain. Sejak dulu dia paling takut disuntik dokter kalau sedang sakit. Apalagi harus menjalani operasi rahim dan kandungan. Aku sudah seringkali membujuknya supaya mau menjalani operasi, namun dia selalu menolaknya."

"Jadi selama ini mas Fendy bisa menahan diri?"

Fendy menarik napas panjang. Masih tetap memandang langit-langit kamar. Masih nampak murung dalam kesedihannya... "Aku lelaki normal, Dewi. Salahkah aku bila kadang-kadang melampiaskan diri kepada gadis-gadis panggilan? Dua tahun aku menjalani hidup yang begitu."

Dewi menarik tangannya di dada lelaki yang berbaring di sisinya. Dia kemudian tidur terlentang memandang langit-langit kamar. Sedangkan Fendy memutar tubuhnya dan memeluk dada perempuan itu.

"Kau jijik setelah mendengar penjelasanku?" Tanya Fendy lunak. Diusapnya pipi perempuan itu dengan lembut.

"Aku cuma merasa seperti gadis-gadis yang pernah kau ajak tidur. Gadis panggilan," gumam Dewi yang diliputi perasaan kecewa.

"Kau jangan salah mengerti. Dewi. Sejak aku tinggal di Surabaya, lalu kita pergi bersama, sejak saat itulah aku punya keinginan untuk hidup bersamamu. Entah apa penyebabnya sampai timbul keinginanku yang begitu. Tapi yang jelas, kemungkinannya kau bisa menerimaku."

"Apa alasanmu?"

"Karena bagiku terlampau sulit untuk mendapatkan seorang gadis. Aku lebih optimis bisa mendapatkan seorang janda. Menurutku dia lebih matang cara berpikirnya."

"Jangan terlalu cepat menjatuhkan pilihan Mas. Kau belum tahu jelas siapa aku sebenarnya."

"Maka ceritakanlah."

"Belum saatnya untuk kuceritakan."

"Kenapa? Bukankah aku sudah secara terus terang menceritakan kehidupanku? Rumah tanggaku?"

Dewi menoleh. Dipandangnya wajah Fendy yang menghadap ke arahnya. Lalu mereka saling berpandangan. Di bibir Dewi tersungging senyum manis. Dan senyum itu seperti minta pengertian agar Fendy tidak mendesaknya. Mendesak untuk mengatakan kehidupannya. Kemudian bibir perempuan itu kian mendekat ke bibir Fendy. Hingga akhirnya bibir mereka saling melumat. Kabut yang bercampur dengan embun bertebaran di luar. Embun membasahi seisi alam yang terbuka. Sedang kabut terbang berarak dibawa angin. Dingin sekali udara di pagi buta itu. Namun di kamar hotel yang ditempati Fendy dan Dewi tidaklah sedingin di luar. Kehangatan yang pertama diperoleh Dewi. Ya, kehangatan itu datang lagi setelah dua tahun menghilang. Rasa dahaga yang selama itu pula menggerogoti usianya telah diteguknya air madu yang teramat manis sekarang. Sekalipun dalam status janda tak segampang apa yang diduga orang lain. Mudah diajak berkencan dan pada akhirnya bermuara di ranjang. Kesepian seorang janda akan dilampiaskan dalam pelukan lelaki. Inilah sementara anggapan masyarakat yang menilai seorang janda bila ketemu jejaka cuma lantaran kesepian. Ketemu dengan orang yang sudah beristri mau dijadikan istri simpanan. Atau istri kedua. Terlalu getir, memang. Namun selama ini Dewi bukanlah type janda semacam itu. Malam ini dia melayani Fendy karena rasa cinta. Rasa iba terhadap lelaki itu. Apa salahnya bila aku dapat membahagiakan hidup lelaki ini? Bukankah dia juga mencintaiku dan aku mencintainya? Barangkali dengan mengukir kenangan di malam ini akan punya arti lain. Dua hati yang sama-sama kesepian ternyata bisa mendapatkan sepercik kebahagiaan. Entah berapa kali jiwa Dewi terbang melayang-layang di awan. Entah berapa dia terlena dalam sentakan-sentakan kenikmatan. Yang sebentar dirasakan, yang sebentar hilang dan seterusnya. Seterusnya. Seterusnya sampai menjelang senja mereka baru meninggalkan hotel. Yang tersisa hanya keletihan. Namun selama diperjalanan pulang, seringkali mereka bertukar senyum. Bahagia sekali. Setibanya di tempat kost Dewi, cuma sebentar Fendy singgah di situ. Kemudian dia pulang ke rumah dengan keadaan tubuh yang teramat letih. Kendati sejuta rasa bahagia bergemuruh dalam dadanya. Seandainya dia lebih lama ngobrol dengan Dewi, itu seandainya, pasti dia akan bertemu dengan istrinya. Karena tak lama Fendy pulang dari tempat kost Dewi sudah keburu istrinya datang. Untung saja tidak sampai bentrok. Lantaran tidak bentrok itulah, Fendy bisa membohongi istrinya. Maka yang tersisa di perasaan lelaki itu hanyalah rasa berdosa.

"Kau belum tidur, Pa?" suara itu terdengar lunak.

Fendy tersentak dari lamunannya. Dipandang istrinya yang sudah berdiri di depannya sembari tersenyum. Senyum perempuan itu terasa damai dan sejuk di hati Fendy.

"Belum ngantuk, Ma."

"Papa barusan melamun ya?" tanya Yeti seraya menghampiri suaminya.

"Ah, tidak." Fendy tersenyum agar tidak kelihatan sehabis melamun.

"Tidurlah, Pa. Nanti kau jatuh sakit," kata Yeti. Kemudian direngkuhnya lengan Fendy perlahan. Sikapnya yang senantiasa lemah lembut seperti menghadapi seorang anak yang paling dicintai. Lalu dibimbingnya Fendy masuk ke dalam kamar. Yeti mengambilkan pakaian tidur untuk suaminya. Dengan penuh kesetiaan kancing-kancing kemeja Fendy dibukanya satu-satu. Kemudian dikenakan pakaian tidur itu ke tubuh suaminya. Tubuh yang kelihatan sudah letih sekali itu. Kesetiaan mana lagi yang bisa menandingi perempuan itu. Tapi kenapa Tuhan menjadikan perempuan itu menderita penyakit kanker rahim? Kenapa? Sejuta barangkali cuma satu perempuan yang memiliki kesabaran dan kesetiaan seperti perempuan itu. Maka Fendy mendekap istrinya. Ingin menjerit rasanya. Kesetiaan itu, kesabaran itu, dan sifat perempuan itu seperti kasih sayang seorang ibu yang tulus kepada anaknya.

"Maafkanlah papa, Ma. Tadi papa terlaku kasar dan menyakiti mama," kata Fendy dengan suara parau. Sementara hatinya bagai ditusuk-tusuk duri. Pedih. Dia merasa telah mendustai perempuan itu. Perempuan yang sebagai istrinya itu tak pernah sekalipun menyakiti perasaannya.

"Mama telah melupakannya, Pa. Tidurlah."

Fendy mengecup kening istrinya sesaat. Lalu dia merebahkan diri di atas tempat tidur. Yeti berada dalam dekapannya yang erat. Tak ingin rasanya dia melepaskan dekapan itu sampai dirinya tertidur lelap.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Sore itu, Tika dan Resti masuk ke kamar yang dihuni Dewi. Nampaknya kedua perempuan itu punya maksud lain. Mungkin bisa juga merasa iri hati atau memang hanya mau mencemooh.

"Dewi, kau yakin yang datang semalam itu adiknya Fendy?" tanya Tika sambil bersandar di tembok kamar, merokok. Sedangkan Resti senyum-senyum mengejek.

"Aku juga belum yakin." sahut Dewi. Dia pindah duduk di depan toilet. Menyisir rambutnya yang kusut.

"Mungkin juga bisa istrinya atau pacarnya. Di Jakarta ini kamu jangan main-main sembarangan pacaran sama orang. Apalagi sama Fendy yang jadi bintang film top. Untung saja kemarin kau tidak ngomong terus terang. Bisa bisa kau di maki-maki. atau mungkin saja bisa disilet muka mu."

Bulu roma Dewi jadi merinding. Ngeri juga kalau memang terjadi begitu. Apalagi Dewi tahu kalau Fendy sudah punya istri. Dia bisa dituduh mau menghancurkan rumah tangga orang.

"Sebaiknya kau jauhi saja lelaki itu. Di Jakarta ini masih banyak lelaki yang bujangan. Yang tampan pun segudang. Dan tujuan kita ke Jakarta ini cuma cari uang. Bukan cari cinta, Dewi"...Seru Tika mencoba mempengaruhi Dewi.

"Ah, sudahlah. Aku jadi bingung." keluh Dewi.

"Jangan bingung. Kau harus punya prinsip seperti aku. Semua lelaki itu kalau sedang ada maunya, wah, wah, rayuan dan janjinya selangit. Apalagi dia tahu kita ini hostes paling-paling hanya buat sekedar iseng. Kalau sudah puas ditinggalkan. Dasar semua lelaki itu gombal!" kata Tika sambil berlalu.

Gombal? Benarkah mas Fendy lelaki gombal? Ah, tidak. Lelaki itu punya hati dan perasaan yang polos. Dia jujur. Dan lelaki itu kukenal bukannya di night club. Kukenal dia sejak aku belum terjun menjadi hostes. Dewi menarik napas panjang. Melirik Resti yang masih duduk di pinggir tempat tidur.

"Bagaimana menurut pendapatmu mengenai mas Fendy?" tanya Dewi pada Resti.

"Mana aku tahu?"

"Yaah, paling tidak menurut penilaianmu."

"Dia orangnya tampan. Kalem dan sopan. Itu menurut penilaianku secara lahiriah."

"Mas Fendy memang nampaknya polos dan jujur."

"Kau mencintainya?"

"Aku tak tahu bagaimana musti menjawab nya."

"Apakah dia benar sudah mempunyai istri?"

Dewi mengangguk.

"Sudah punya anak?"

"Dua anaknya."

"Dewi, kita pergi ke Jakarta karena senasib. Aku tahu persis bagaimana kehidupanmu. Aku bukan melarangmu menjalin hubungan dengan Fendy. Aku cuma mengingatkan betapa getirnya hidup yang kau alami. Apakah kau akan menambah kegetiran itu?"

Dewi diam termenung..."Problemmu belum dapat kau selesaikan, tapi akan kau tambah lagi dengan problem yang lain. Jalinan- hubunganmu dengan Fendy akan menimbulkan problem baru buatmu. Percayalah." Lanjut Resti.

"Aku tahu." desah Dewi.

"Kalau kau tahu itu, kenapa ingin kau teruskan?"

Dewi menarik napas dalam-dalam. Lalu dihembuskan keras. Seolah-olah dia tak bisa mengambil keputusan. Fendy telah begitu lekat dihatinya. Sedangkan dia tahu, apa yang akan terjadi di hari kemudian. Dua orang lelaki masih ada di dalam hidupnya. Siapa? Siapa yang nantinya akan jatuh pada pilihannya? Dewi tak tahu. Dia cuma bisa menghela napas berat. Lalu dia memutuskan. Lebih baik menjauhi Fendy. Tapi dengan cara bagaimana? Mampukah aku melupakan lelaki itu? Barangkali jika dibandingkan dengan kedua lelaki yang masih ada di dalam hidupnya, terasa mudah melupakannya. Tapi dengan Fendy, oooh terlalu sulit. Lelaki itu memiliki segala apa yang diidamkan. Ketampanannya, sifatnya yang kalem dan sopan, kejujurannya dan masih banyak yang lainnya lagi. Pokoknya yang ada pada diri lelaki itu menjadi dambaannya. Tapi bagaimanapun sukarnya, aku harus bisa menjauhi lelaki itu. Harus. Dari pada kelak aku menyakitinya, meninggalkannya, lebih baik sekarang saja kuputuskan. Maka Dewi mengambil buku dan menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Fendy. Dengan cara itulah dia bisa menjauhkan diri. Kendati dia menulis surat itu tak kuasa menahan tetesan air mata. Hatinya bagaikan diiris-iris sembilu.

"Kau menulis surat untuk siapa?" tanya Resti.

"Mas Fendy. Tolong nanti berikan surat ini kepada mas Fendy. Malam ini dia berjanji mau datang," kata Dewi dengan suara parau.

"Terus kau mau pergi?"

"Tidak. Aku sengaja tidak mau menemui dia. Katakan saja aku tidak ada di rumah." Dewi menyobek selembar kertas yang ditulisnya itu. Lalu dimasukkan ke dalam amplop. Resti ke luar dari kamar itu setelah menerima surat Dewi. Dewi mengunci kamarnya rapat-rapat dari dalam. Lantas perempuan itu menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Wajahnya dibenamkan ke permukaan bantal. Pecahlah tangisnya. Oh, Tuhan. Kenapa baru sekejap kuperoleh kebahagiaan bersama mas Fendy akan hancur? Kenapa setelah kutemukan seorang lelaki yang menjadi idamanku, ternyata dia sudah beristri? Kenapa? Kenapa? Di manakah dapat kuperoleh kebahagiaan yang tanpa perintang? Sepanjang perjalanan hidupku senantiasa kutemui duri-duri. Apakah ini karma? Karma yang diturunkan dari ayahku lantaran doyan kawin? Istrinya empat namun hidup rumah tangganya tak pernah tenteram. Tuhan, jangan jatuhkan karma itu pada diriku lagi. Untuk kali ini jangan takdirkan aku gagal lagi membina rumah tangga. Ratap Dewi di dalam hati.

Selepas senja sebuah mobil sedan Honda Accord berhenti di pinggir jalan. Di depan pagar halaman tempat kost Dewi. Dan ternyata Fendy yang bergegas turun dari dalam mobil itu. Tetangga yang ada di sekitar rumah itu memperhatikan aktor populer yang berjalan menuju ke pintu rumah. Lalu Resti buru-buru menyambut kedatangan Fendy.

"Selamat malam, Resti. Dewi ada di rumah?" Tanya Fendy sesampainya di ambang pintu.

"Dewi sejak tadi siang pergi belum pulang. Tapi dia meninggalkan surat untuk mas Fendy," Sahut Resti sambil menyerahkan surat itu kepada Fendy.

Fendy menerimanya dan termangu seperti patung. Lalu buru-buru amplop itu dibukanya dan isi surat itu dibacanya sambil berdiri.

Yang tercinta : Mas Fendy.

Mas Fendy, aku mohon kepadamu untuk menjauhiku. Aku akan pergi ke mana saja yang kusukai. Mas Fendy tak perlu mencari. Ternyata baru sekejap aku merasakan kebahagiaan di sampingmu, terpaksa harus pergi dari sisi mas Fendy.

Mas Fendy, bila Tuhan memang akan mempertemukan kita, suatu ketika kita akan bisa bersama lagi. Dari temanmu : Dewi Rosinta

Seperti ada sembilu yang mengiris hatinya. Seperti menelan empedu yang paling amis. Itu dirasakan oleh Fendy ketika selesai membaca surat itu. Dan kedua tangannya yang memegangi surat itu jadi gemetar. Lalu tanpa bicara.sepatah katapun dia memutar tubuhnya. Terus mengayunkan langkah nya yang gontai meninggalkan Resti yang berdiri seperti patung. Perempuan itu menjadi iba memandang kepergian Fendy yang menghampiri mobilnya. Bergegas Resti masuk ke kamar Dewi. Ditemuinya Dewi nampak gelisah dan salah tingkah.

"Sudah kau berikan suratku tadi?" tanya Dewi.

"Sudah."

"Apa katanya?"

"Ah, aku tak sampai hati melihatnya. Setelah membaca suratmu, dia nampak sedih dan kecewa sekali. Lalu dia melangkah pergi tanpa bicara sepatah katapun."

Dewi tambah kacau dan bingung. Rasa menyesal timbul dalam hatinya. Kenapa aku menulis surat begitu? Kenapa? Padahal aku sangat membutuhkannya. Aku mencintainya.

"Mas Fendy sudah pulang?" Resti melongok ke luar. Tika ikut-ikutan melongok ke luar.

"Belum. Mobilnya masih berhenti di luar."

"Akan kutemui dia. Akan kutemui dia," kata Dewi tak sabar. Ingin rasanya dia berhambur ke luar kamar, tapi Resti menahannya.

"Kau ini bagaimana sih? Tadi suruh bilang tidak ada di rumah, tapi sekarang mau menemuinya. Kau mau bikin aku malu ya?" sergah Resti.

"Aku.... aku menyesal membuat surat untuknya," keluh Dewi hampir menangis.

"Itu sudah terlanjur. Bagaimanapun juga malam ini jangan kau temui dia," kata Resti tegas.

"Jangan bikin aku malu, Dewi."

"Iya, kau ini bagaimana sih? Sudah menyuruh Resti bilang tidak ada di rumah, tapi sekarang mau menemuinya." Tika mencemooh dengan sengit.

"Tolong Resti, tolong temui mas Fendy. Katakan besok dia suruh datang ke mari lagi. Cepat Resti. Cepat. Nanti keburu mas Fendy pergi," pinta Dewi dengan perasaan tak sabar. Resti langsung saja berlari ke luar. Fendy sudah menghidupkan mesin mobilnya tinggal tancap gas saja.

"Mas Fendy, tunggu!" teriak Resti.

Fendy mengoper persneling kembali prai. Tak jadi tancap gas kabur dari tempat itu. Resti mengetuk kaca jendela mobil minta supaya Fendy membukakan pintunya. Fendy buru-buru membuka pintu mobil. Resti duduk di jok sebelahnya.

"Cobalah besok siang mas Fendy datang ke mari. Mungkin Dewi sudah kembali," kata Resti.

"Kau tahu pergi ke mana?"

"Dia bilang mau menginap di rumah tantenya yang ada di Krawang. Tapi besok dia pasti pulang."

"Ah, untuk apa aku datang ke mari kalau Dewi tidak mau menemuiku?"

Dia pasti mau menemui mas Fendy. Percayalah." kata Resti meyakinkan.

"Kau yakin?"

Resti mengangguk. Dia berusaha menahan tawanya. Bagaimana tidak kepingin tertawa, sebab dia cuma bersandiwara.

"Tolong katakan kepadanya, bahwa aku bersungguh-sungguh. Tidak ingin mempermainkannya," kata Fendy setulus hatinya.

Resti mengangguk lagi..."Besok siang mas Fendy benar-benar mau datang kan?"

"Mudah-mudahan tidak ada halangan."

Resti kemudian turun dari mobil sambil menghempaskan pintunya. Fendy baru meluncurkan mobilnya meninggalkan tempat itu. Segumpal rasa hampa mengganjal di lekuk hatinya. Lalu di tempat yang sepi dia menghentikan mobilnya Dia baca kembali isi surat dari Dewi. Rasa kehilangan makin meroyak perasaannya. Remuk redam harapannya. Dengan perasaan kesal dirobek-robeknya surat itu. Kemudian robekan surat itu dibuangnya ke jalan. Kembali dia meluncurkan mobilnya. Sungguh tak disangka akan terjadi begitu. Dewi memutuskan tali cintanya. Dan Fendy mencari-cari penyebabnya. Barangkali karena kedatangan Yeti kemarin?. Sebab itukah Dewi memutuskan hubungannya? Mungkin. Mungkin lantaran itu. Maka setibanya di rumah, Fendy jadi murung. Malas untuk bertegur sapa dengan istrinya. Terus saja nyelonong masuk ke dalam kamar. Tentu saja perubahan sikapnya menimbulkan tanda tanya bagi Yeti. Apalagi Fendy langsung masuk ke kamar. Tidak seperti biasanya bersenda gurau dengan kedua anaknya. Yeti membuntuti suaminya masuk ke kamar. Fendy menghenyakkan pantat di kursi. Meremas-remas rambutnya. Kelihatan nampak pusing menghadapi persoalan yang begitu rumit.

"Papa kenapa?" tegur Yeti mendekati suaminya. Kemudian bahu lelaki itu dipijit-pijitnya.

"Penyakit papa kumat lagi ya?"

"Tidak."

"Ada persoalan yang sedang papa hadapi?"

"Tidak."

"Tapi nampaknya papa begitu murung dan kecewa. Terus teranglah pada mama. Ada apa sebenarnya, Pa?" tanya Yeti penuh perhatian. Membelai rambut suaminya yang kusut.

"Mama tidak berbohong pada papa?"

"Berbohong? Berbohong apa, Pa?"

"Mama tidak marah-marah sama Dewi?"

"Demi Tuhan tidak, Pa. Memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa."

"Papa habis menemui Dewi?"

Fendy menggeleng.

"Papa kok tidak percaya sama mama?"

Fendy menarik napas dalam-dalam. Dipandang wajah istrinya. Wajah itu mencerminkan ketulusan. Seperti wajah seorang bayi yang belum mengenal dosa. Wajah yang bukan munafik. Lalu Fendy merengkuh bahu perempuan itu. Didekapnya erat.

"Papa sangat percaya padamu, sayang. Namun di hari-hari belakangan ini perasaan papa sedang kacau. Gampang sekali murung dan maunya marah terus," keluh Fendy.

"Mama tahu perasaan papa. Papa terlalu memikirkan Dewi."

Fendy tidak menyahut. Dia membelai rambut istrinya dengan rasa haru.

"Dewi bilang besok dia mau pulang ke Surabaya, temuilah dia dan antarkan ke stasiun kereta api. Kalau masih bisa dicegah, mama ingin bertemu dengannya. Mama ingin berbicara dengannya dari hati ke hati," kata Yeti lunak.

"Apa yang mama ingini?"

"Yang mama ingini agar dia mencintai papa. Menyayangi papa. Mama sudah merasa tak mampu lagi membahagiakan hidup papa," suara Yeti terdengar serak dan parau.

"Jangan berkata begitu mama." Fendy mendekap erat tubuh istrinya. Di mata perempuan itu merembes air bening. Sebening hatinya.

"Habis mama harus berkata apa, Pa? Mama benar-benar ingin melihat hidup papa bahagia. Bagi mama asalkan papa bisa hidup bahagia, mama turut bahagia juga. Jangan terlalu memikirkan keadaan mama yang begini. Karena mama sendiri tak bersedia menjalani operasi. Mama takut, Pa."

Meledaklah tangis perempuan itu. Fendy membelai rambutnya..."Papa tahu. Papa tak mau memaksa mama untuk menjalani operasi. Tapi papa juga tidak mau meninggalkan mama walau dalam keadaan apa pun. Tiada yang dapat memisahkan kita selain Tuhan. Hentikanlah tangismu, sayang."

Cahaya matahari menerangi kamar tidur yang dihuni Dewi dan Resti. Pagi itu, tidak seperti biasanya Dewi sudah bangun. Semalam pikirannya sangat kalut. Dia tak masuk kerja. Namun di dalam kamar, dia tak dapat tidur sampai Resti dan Tika pulang dari night club. Di luar kamar, penghuni tempat kost itu mulai ramai. Ada yang bercanda. Ada yang berjalan mondar-mandir. Tempat kost itu dihuni berbagai ragam manusia. Ada karyawati perusahaan, perawat, capster sampai hostes night club. Tapi semua penghuni di tempat kost itu perempuan. Jumlah seluruhnya ada dua puluh orang. Wah kalau semuanya sedang kumpul, ramainya seperti pasar. Apalagi kalau ada tamu lelaki senantiasa jadi pusat perhatian. Dan untunglah mereka selama ini belum pernah melihat Fendy datang ke situ. Kalau saja mereka tahu, pasti jadi tontonan dan pergunjingan. Dewi memperhatikan Resti yang masih tertidur nyenyak. Tak sampai hati dia membangunkan perempuan itu. Meskipun semalam Resti bersedia mengantar Dewi pergi ke Krawang pagi ini. Resti menarik napas panjang. Tubuhnya mengeliat. Maka Dewi segera membangunkan perempuan itu.

"Resti, Resti, bangun."

"Aaaah," perempuan itu mendesah sambil melikukkan pinggangnya. Kelopak matanya terbuka, ia berkata..."Jam berapa sekarang?"

"Jam delapan. Kau jadi mengantarkan aku tidak?"

Resti mengusap-usap matanya..."Ya, ya, ya."

"Yuk, kita cepat-cepat mandi. Nanti kita bisa kesiangan sampai di sana."

Dengan bermalas-malasan Resti bangun. Tubuhnya nampak letih dan lesu lantaran semalam pulang dari bekerja dini hari. Dewi terlebih dulu pergi ke kamar mandi, sedangkan Resti masih duduk bermalas-malasan di pinggir tempat tidur. Matanya masih kelihatan mengantuk. Waktu menunggu giliran Dewi selesai mandi, dia kembali berbaring.

"Ayo cepat mandi," kata Dewi ketika masuk ke kamar itu.

Resti bangun. Lalu dia ke luar dari kamar dan menuju ke kamar mandi. Dewi mengenakan celana jeans dan kaos merah. Di depan cermin dia menyisir rambutnya yang kusut. Aku harus bisa mendapatkan kepastian pada hari ini juga, tekad Dewi. Aku tak ingin terus terombang-ambing begini. Kalau memang statusku janda harus secara resmi diselesaikan. Perempuan manapun tak akan mau mengalami nasib seperti aku. Resti masuk ke kamar dengan tubuh menggigil.

"Aku tak berani mandi, takut masuk angin"... Ujar perempuan itu.

"Jadi?"

"Ya cuma cuci muka saja."

"Kalau misalnya nanti aku tidak ketemu David di rumahnya, kita temui dia di kantornya ya?"

"Boleh saja. Lalu kita ke sana mau naik apa?"

"Kan ada mobil Dedy. Kita sewa mobilnya hari ini."

"Kamu yang mau nyetir?" tanya Resti sambil mengenakan pakaian.

"Sewa sekalian dengan sopirnya."

"Wah borongan."

"Tika sering begitu kok sama Dedy."

"Ya, sudah."

Dewi bangkit karena sudah selesai berdandan. Giliran Resti yang berdandan di depan kaca. Dewi ke luar kamar memanggil Minah yang sehari-harinya membantu penghuni tempat kost itu. Minah ke luar dari dapur dan menghampiri Dewi.

"Ada apa, non?"

"Nanti siang kalau ada tamu yang bernama Fendy mencari saya, tolong beri tahu suruh menunggu. Bilang sama dia, saya pergi ke rumah tante ya?"

"Baik, Non."

Minah kembali ke dapur. Resti yang sudah selesai berdandan telah siap untuk pergi. Lalu mereka berdua menemui Dedy yang tinggal di sebelah tempat kost itu. Kebetulan pagi itu Dedy juga sudah siap untuk mengoperasikan mobilnya jadi taxi gelap.

"Dedy, antarkan kita yuk?" kata Dewi.

"Ke mana?" "Ke Krawang."

"Boleh, boleh. Nampaknya ada bisnis ya?"

"Ah, cuma ke rumah tante."

"Silakan." Dedy membukakan pintu mobil. Dewi dan Resti duduk di jok belakang. Lalu Dedy duduk di belakang stir. Dia menghidupkan mesin mobil.

"Untung saja aku belum berangkat." lanjut Dedy sambil meluncurkan mobilnya.

"Semalam aku lupa memberi tahu kamu kalau pagi ini aku ada urusan penting." sahut Dewi.

Mobil itu meluncur cepat di jalan Bypas. Sinar matahari pagi terasa hangat menyentuh kulit Dewi. Pada pagi seperti ini, kendaraan memadati jalan raya. Namun Dedy yang begitu lincah mengendarai mobilnya paling pintar mengambil jalan pintas yang tidak macet. Cuma satu jam perjalanan itu ditempuh.Di kota Krawang sudah dihafal betul oleh Dewi jalan menuju ke rumah David. Sebab hampir setahun dia pernah tinggal di kota itu. Menjalani hidup yang serba kesulitan bersama David. Malah dia pernah menjadi buruh di sebuah pabrik tekstil di perbatasan kota Krawang. Untuk membantu David yang pada saat itu masih nganggur. Pahit sekali keadaannya kala itu. Pekerjaan David sebagai seniman pembuat patung dan relief sukar sekali dipastikan memperoleh order. Memang, sekali dapat order lumayan penghasilannya, tapi hanya bisa untuk membiayai hidup selama tiga bulan. Itupun harus irit. Menjalani hidup dengan penghasilan yang tidak menentu. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah kontrakan. Rumah yang sederhana itu pernah ditempati Dewi bersama David dulu. Dan rumah itu sudah ditinggalkannya enam bulan yang lalu. Dia merasa tak tahan hidup bersama lelaki itu. Sudah hidup serba kekurangan, lelaki itu adatnya keras sekali. Sering menampar Dewi bila punya kesalahan. Padahal dia sudah bersusah payah ikut membantu mencari nafkah bekerja di pabrik tekstil. Dewi bersama Resti turun dari mobil. Seorang laki-laki berambut gondrong melongok ke luar dari pintu rumah. Lantas lelaki itu tanpa keramahan menyambut kedatangan Dewi dan Resti.

"Mas David, apa kabar?" tegur Dewi.

"Baik. Duduklah," sahut lelaki itu tak acuh. Dewi dan Resti duduk di kursi rotan. Keadaan rumah itu masih seperti dulu. Banyak patung-patung yang beraneka macam. Tempatnya berantakan. Kanvas dan cat berserakan di ruang tamu itu. Ada sebuah lukisan foto perempuan yang nampaknya belum selesai dilukis. David menyulut sebatang rokok. Lelaki itu nampaknya enggan bersitatap dengan Dewi. Lebih senang mengamati lukisannya yang belum selesai.

"Mas David tidak senang aku datang ke mari ya?" tanya Dewi sambil memperhatikan lelaki itu Wajahnya memang ganteng. Karena kegantengan itulah Dewi tertarik pada lelaki itu. Lalu menikah.

"Mau apa kau ke mari? Mau menyakiti perasaanku lagi?"

"Jangan berkata begitu, Mas. Tentunya kau tahu aku ini siapa?"

"Ya aku tahu kau itu siapa. Perempuan yang gila kemewahan dan hanya suka menuruti kemauan hatimu sendiri." kata lelaki itu seperti menyimpan dendam. Sorot matanya berkilat-kilat.

"Bukan itu yang kumaksudkan. Aku kan masih berstatus istrimu," balas Dewi lunak. Sebab dia tahu kalau ucapan lelaki itu dibalas dengan keras, maka pertengkaran akan timbul.

"Sejak kau tinggalkan rumah ini, aku sudah tidak menganggapmu sebagai istriku lagi."

Seperti ditampar muka Dewi dengan ucapan lelaki itu. Sedari pertama dia lunak, tapi sekarang jadi berubah sengit. Emosi kemarahannya meluap.

"Kalau kau tidak lagi menganggapku sebagai istri, ceraikan aku secara resmi!" kata Dewi lantang..."Aku datang ke mari memang sengaja berniat minta keputusan perceraian. Aku mau menikah dengan laki-laki lain. Laki-laki yang hidupnya serba kecukupan, tahu?!"

David tersenyum sinis..."Aku percaya. Percaya kalau kau bisa mendapatkan lelaki yang melebihi hidupku. Melebihi segala-galanya dariku. Tapi ingat, selama kau belum bisa membuang kebiasaan burukmu, hidup cuma bersenang-senang, membandingbandingkan lelaki satu dengan lelaki lainnya, hidupmu tidak akan bisa tentram dan bahagia. Karena kau terlalu membanggakan kecantikanmu."


"Sudah, sudah! Jangan ungkit-ungkit masa lalu. Sekarang buatkan surat pernyataan, bahwa kau mau menceraikan aku. Biar nanti urusan perceraiannya di pengadilan agama Surabaya bisa kuselesaikan sendiri. Karena aku tahu, kau tak mungkin mau pulang ke Surabaya cuma karena urusan begini !"

Resti diam seperti patung. Tak berani ikut campur membuka suara.

"Okey, okey. Kau boleh datang lagi ke mari seminggu lagi untuk mengambil surat pernyataan itu," kata David sembari berdiri dari tempat duduknya.

"Kenapa tidak sekarang saja?"

"Sekarang aku mau pergi."

"Ke mana?"

"Ke Jakarta." David menyambar ranselnya yang sudah dipersiapkan di atas meja. Lalu tali ransel itu digayutkan ke pundaknya. Dewi dan Resti berdiri bersama.

"Dewi juga tinggal di Jakarta sekarang," kata Dewi memberi tahu.

"Aku tidak mau tahu kau tinggal di mana sekarang." David melangkah ke pintu. Nampaknya tak ingin lebih lama ngobrol dengan perempuan itu. Cepat pergi, itu lebih baik. Dari pada rasa sakit meroyak dalam hatinya lagi.

Dewi bergegas melangkah ke luar. Betapa kesal dalam hatinya menghadapi sikap David yang begitu. Sikap yang bagai menghadapi anjing kurapan. Tanpa permisi lagi, Dewi melangkah ke mobil diikuti Resti. David buru-buru mengunci pintu rumahnya. Lelaki itu melangkah pergi tanpa menoleh ke arah Dewi yang duduk di dalam mobil. Mobil itu meluncur meninggalkan tempat itu. Seonggok rasa kesal dan jengkel menguasai perasaan Dewi. Belum jua mau hilang ketika sampai di tempat kostnya. Dan belum lama dia melepaskan lelah di atas tempat tidur sudah kedatangan tamu. Minah memberi tahu kalau Fendy datang. Maka dia menemui lelaki itu di ruang tamu. Fendy mengamati wajah Dewi yang murung. Tidak nampak ceria seperti hari-hari yang lalu.

"Kemarin malam aku sudah menerima suratmu," kata Fendy.

Dewi tak bereaksi...

"Apa benar kalau hari ini kau mau pulang ke Surabaya?"

"Dari mana kau tahu?"

"Yeti yang bilang."

"Dia istrimu bukan?"

Fendy mengangguk.

"Semula aku sudah menduga dia adalah istrimu. Tapi dia mengatakan adikmu. Bagaimana dia bisa datang ke mari mencarimu?" kata Dewi memperlihatkan rasa tak senang.

"Waktu pertama aku mencari alamat tempat ini bersama Nita. Rupanya Nita memberi tahu pada istriku."

"Siapa Nita itu?"

"Teman dekatku."

"Teman dekat atau pacarmu?"

"Teman dekat."

"Lantas bagaimana tanggapan istrimu terhadapku?"

"Biasa-biasa saja. Dia bilang kau orangnya ramah dan baik."

Dewi tersenyum hambar..."Dia tidak menaruh prasangka buruk padaku?"

"Tidak. Malah dia ingin ketemu kau."

"Untuk apa?"

"Bicara dari hati ke hati."

"Apa yang mau dibicarakan?"

"Mengenai hubungan kita."

Dahi perempuan itu berkerut. Matanya tersorot penuh tanda tanya..."Hubungan kita? Mas Fendy sudah menceritakan pada mbak Yeti?"

"Tidak. Aku tidak menceritakan apa-apa padanya. Tapi naluri wanitanya sudah dapat merasakan sesuatu dalam diriku. Aku menaruh hati padamu."

Perempuan itu menarik napas panjang. Binar-binar di matanya tersimpan kebimbangan. Namun terlihat juga keangkuhannya..."Jangan. Jangan ceritakan apa-apa padanya. Aku tak mau dia tahu hubungan kita selama ini. Dan mungkin untuk seterusnya tak usah diberi tahu."

"Tapi dia menaruh respek terhadap hubungan kita. Dia merelakan aku hidup bersamamu." Merelakan? Ah, agaknya terlalu aneh kalau seorang istri merelakan suaminya menikah lagi. Perempuan mana yang bisa begitu? Secuil rasa berat pasti ada. Suami adalah belahan jiwa. Mungkinkah serela itu diserahkan pada perempuan lain? pikir Dewi sembari tersenyum hambar.

"Aku tidak sepenuhnya percaya kalau mbak Yeti merelakan mas Fendy hidup bersama denganku," kata Dewi.

"Itu terserah tanggapanmu. Barangkali kalau kau sudah semakin intim bergaul dengan Yeti akan tahu isi hatinya. Dia seorang istri yang jujur. Apa yang dikatakan setulus hatinya."

"Aku tidak ingin menghancurkan perasaan mbak Yeti. Karena aku pernah merasakan betapa sakitnya hati ini, ketika mengetahui suamiku berpacaran dengan perempuan lain. Apalagi sampai mau nikah lagi. Makanya aku kemarin bilang, bahwa hari ini aku akan pulang ke Surabaya. Supaya dia tidak selalu mencurigai aku menjalin hubungan dengan mas Fendy. Aku khawatir setiap kali mas Fendy pergi, dugaan mbak Yeti selalu pergi bersamaku. Aku tidak mau begitu."

Fendy merenungi ucapan perempuan itu. Benar juga. Tapi Yeti selama membina rumah tangga dengannya, perempuan itu memang lain dibandingkan dengan perempuan manapun. Entah itu lantaran dia tak mampu lagi membahagiakan hidupku atau terlalu percaya padaku? Memang, rasa saling percaya adalah kunci ketentraman hidup berumah tangga. Namun kalau orang yang dipercayai seperti aku dan ternyata mengkhianatinya, mendustainya, apakah hal ini tidak terlalu kejam? Kejam? Benarkah aku kejam? Dan lelaki manakah yang hidupnya selalu jujur dan polos terhadap istrinya? Aku rasa di mana pun lelaki itu sama saja. Mungkin termasuk diriku. Seringkah mendustai istri hanya sekedar mencari kepuasan diri di luar rumah. Itulah yang dinamakan liku-liku-laki-laki. Jadi bagaimana dengan pendapat Dewi? Kurasa itu ada baiknya agar Yeti tidak menilainya sebagai perusak rumah tangga orang lain. Perusak kebahagiaan.

"Kalau hal itu memang kau anggap baik. aku setuju saja."

"Kurasa itu memang baik. Jika ingin mendapatkan ikan di kolam, jangan dibikin keruh dulu airnya," ujar Dewi sembari tersenyum.

"Aiii, tepat betul istilah itu."

"Setuju?"

"Setuju."

"Nah, sekarang mas Fendy pulanglah kerumah."

Fendy terbengong. "Mengusirku ya?"

"Bukan. Aku khawatir mbak Yeti akan menyusulmu ke mari."

"Ah, itu tidak mungkin."

"Mungkin saja, karena mbak Yeti tahu mas Fendy ada di sini sekarang. Setulus apa yang diucapkan dengan bibir, hati seorang wanita sangatlah peka. Jadi aku belum mempercayai sepenuhnya kerelaan mbak Yeti mengizinkan mas Fendy menempuh hidup bersama denganku. Karena aku juga seorang perempuan. Pernah membina hidup berumah tangga. Pernah mengalami hal seperti Ini."

Fendy jadi bimbang. Ketegangan dalam diri membuat mukanya berkeringat dingin. Lelaki itu kalau tegang dan terlalu banyak berpikir pasti berkeringat. Apalagi kalau sedang dilanda gelisah.

"Dan aku harapkan mas Fendy juga harus bisa menjaga agar mbak Yeti jangan sampai datang lagi ke mari. Aku malu dengan teman-teman yang tinggal di sini. Apa kata mereka? Pasti akan mengejek dan mencemooh. Seperti waktu mbak Yeti pulang dari sini, aku jadi malu dan korban perasaan."

"Aku tahu, aku tahu."

"Nah, mas Fendy sekarang pulanglah dulu ya?"

Dengan berat hati lelaki itu mengangguk.

"Kapan mas Fendy mau datang ke mari lagi?"

"Besok malam."

Dewi tersenyum. Matanya berseri-seri..."Jangan bohong ya? Besok malam Dewi mbolos kerja dan kita pergi. Okey?"

Fendy mengangguk. Keduanya lalu berdiri. Sebelum Fendy berlalu, Dewi sempat mencium kedua pipi lelaki itu. Perasaan Fendy jadi berbunga. Maka dia meninggalkan tempat itu dengan merekuh lagi harapan. Harapan yang diduga akan hancur, ternyata tetap kembali utuh dan berseri. Dewi masuk ke kamarnya. Resti yang sedang membaca novel sambil berbaring di atas tempat tidur menatapnya.

"Mas Fendy sudah pulang?" tanya Resti.

"Ya."

"Kenapa buru-buru."

"Aku yang menyuruhnya pulang. Soalnya sore ini pak Narto mau datang menjemputku. Aku takut kalau bentrok dengan mas Fendy," kata Dewi sambil tertawa renyah.

"Memangnya ada janji sama pak Narto mau ke mana?"

"Dia mau menjemputku ke tempat les dansa."

"Nanti malam kamu tidak masuk kerja?"

"Masuk dong. Masak mau mbolos terus"... Kata Dewi sambil berbaring di sisi Resti.

"Kamu sih enak karena banyak tamu yang menyukaimu di night club. Sampai-sampai seorang bintang film populer mengejarmu. Jatuh cinta padamu."

"Barangkali inilah saatnya aku bisa membalas sakit hatiku kepada lelaki. Selagi aku dapat kesempatan akan kukuras habis kantong-kantong mereka," ujar Dewi sambil tertawa.

"Tapi kalau dapat jangan lupa bagi-bagi aku ya?" Keduanya tertawa gembira.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Matahari pagi bersinar kemerahan. Pagi itu seperti pagi yang kemarin. Cerah tanpa tanda-tanda mendung. Sinarnya yang hangat menyentuh kulit Fendy yang sedang berjemur di pinggir kolam renang. Sedang senam pagi. Lalu dia berlari-lari mengelilingi kolam itu. Kesegaran jasmani tak pernah dilupakan apabila sedang tidak ada kesibukan shooting film. Kalau ingin mengambil ikan, jangan dibikin keruh dulu airnya. Ucapan Dewi yang demikian tak bisa dilupakan Fendy. Bahkan kalimat itu selalu berputaran di benaknya manakala dia sedang dalam keadaan sendiri. Ya, kalau memang mau mengambil ikan jangan dibikin keruh dulu airnya.Istilah itu sangat tepat sekali. Maka Fendy terjun ke kolam renang. Bukan kolam ikan yang senantiasa dipikirkan. Lalu dia berenang kian ke mari. Segar nian. Yeti muncul dari dalam rumah sambil membawa dua buah telur setengah matang. Dua potong roti yang sudah diberi mentega dan gula. Segelas kopi susu. Semua itu merupakan kebiasaan yang disenangi suaminya kala pagi. Di meja yang ternaung tenda hidangan pagi itu di taruhnya. Lalu dia duduk di kursi malas. Memperhatikan suaminya yang sedang berenang di tengah kolam.

"Anak-anak sudah berangkat ke sekolah, Ma?" tanya Fendy setelah berada di tepi kolam.

"Sudah, Pa."

"Mama yang mengantar?" Fendy naik tangga ke luar dari kolom renang.

"Ginah yang mengantarnya."

"Kok tidak minta cium papanya dulu?" Fendy menghenyakkan pantatnya di kursi malas. Bersebelahan dengan istrinya. Yeti mengambil handuk dan menyeka air yang membasahi tubuh suaminya.

"Tadi mereka bangunnya kesiangan jadi buru buru berangkat setelah berpakaian."

Fendy mengangguk-angguk. Dia membiarkan istrinya menyeka tubuhnya sampai kering.

"Papa kemarin sudah mengantarkan Dewi ke stasiun kereta api?" tanya Yeti.

"Dia tidak mau kuantar. Dia lebih senang naik taxi," jawab Fendy berdusta.

"Kenapa begitu?"

"Nampaknya dia orangnya susah-susah gampang. Kalau nampak dikejar malah lari. Aku jadi sangsi, apakah dia mau membalas rasa simpatiku."

"Papa musti sabar. Perempuan manapun kalau dikejar jadi lari atau jadi malah jual mahal. Apalagi papa bukan lagi seorang jejaka. Bisa saja dia bersikap begitu karena tidak mau merusak kehidupan rumah tangga kita."

Fendy tersenyum. Padahal perasaannya serasa tertusuk. Munafik!

"Makan dulu roti dan telurnya, Pa." Yeti menyodorkan hidangan itu kepada suaminya. Fendy menerimanya lalu memecah kulit telur setengah matang itu. Ke dalam gelas telur setengah matang itu ditaungnya. Kemudian diteguknya setelah dicampur dengan garam dan merica.

"Makanya mama kepingin sekali ketemu dengan Dewi. Mama ingin menyampaikan isi hati mama kepadanya, supaya dia tidak ragu-ragu mencintai papa," tutur Yeti.

"Ah. sudah terlambat, Ma." Fendy mengambil sepotong roti dan mengunyahnya.

"Kapan dia bilang mau kembali ke Jakarta lagi?"

"Mana papa tahu? Dia tidak bilang mau kembali ke Jakarta."

"Papa tahu alamat rumahnya di Surabaya?"

Fendy terdiam. Dia pura-pura mengingat-ingat. Padahal dia tahu alamat rumah Dewi..."Sayang papa lupa," desah Fendy. "Kalau papa tahu alamat rumahnya, Mama mau apa?"

"Kirim surat."

Jangan, tak usah." Fendy nampak jadi gusar.

"Daripada nanti papa berubah jadi pemurung, mama ikut sedih."

"Ah, tidak. Masak papa sampai begitu. Malu dong, Ma."

Mereka bertukar senyum. Pamo pengurus taman terbungkuk-bungkuk..."Ada tamu, tuan."

"Siapa?"

"Tuan Bahrun."

"Ooo, suruh tunggu sebentar."

"Baik."

Parno melangkah pergi terburu-buru. Fendy bersama istrinya segera masuk ke dalam rumah. Fendy masuk ke kamar mandi, sedangkan Yeti menemui Bahrun di ruang tamu.

"Selamat pagi, Bu."

"Pagi."

Yeti duduk di kursi tamu. Berhadapan dengan Bahrun dan temannya. Yeti kenal mereka sebagai unit manager disetiap produksi film yang dibintangi suaminya.

"Mau mengantar surat calling. Bu. Besok bapak sudah mulai dubbing."

"Sebentar ya, mas Fendy sedang bertukar pakaian."

"Baik, Bu."

Tak lama kemudian Fendy muncul. Dia sudah berpakaian rapi..."Ada surat calling, boss." Bahrun berkata sambil tersenyum.

"Calling pengisian suara ya?"

"Benar boss. Dan Produser kita memanggil boss untuk menghadapnya siang nanti. Bisakan boss?"

"Tentu."

Bahrun dan temannya segera bangkit... "Begitu aja ya, boss. Kami buru-buru mohon diri karena masih banyak surat calling yang musti diantarkan."

"Okey dah."

"Permisi, Bu."

"Mari, mari," balas Yeti dengan senyuman ramah. Setelah kedua tamunya itu berlalu, Fendy dan Yeti duduk berdua di kursi panjang.

"Ada urusan penting dengan produser, Pa?"

"Paling-paling suruh teken kontrak film yang baru."

"Papa sudah mempelajari cerita yang akan difilmkan?"

"Belum,"

"Papa harus selektif ya? Jangan asal tekan kontrak saja. Mama khawatir kalau tema ceritanya tidak menarik dan baik, bisa menghancurkan kepopuleran papa."

Fendy tersenyum membelai rambut istrinya. Sebagai seorang suami tentunya sangat senang kalau dalam banyak hal diperhatikan istrinya. Dan Yeti senantiasa mengingatkan, apabila suaminya akan membintangi film yang baru. Semua itu dilakukan demi menjaga keharuman nama suaminya. Jangan mudah tergiur oleh 'aji mumpung' selagi populer.

"Itu tentu, Ma. Papa sadar, menjaga kepopuleran lebih sulit dibandingkan dengan mencapai puncak ketenaran."

Fendy mencium kening istrinya.

"Papa pergi dulu ya, Ma."

Yeti mengangguk.

"Kalau misalnya urusan papa belum selesai, mungkin akan papa beritahu melalui telpon...Kata Fendy. Di dalam benaknya sudah punya rencana kalau nanti malam dia akan pergi bersama Dewi. Maka terlebih dahulu dia berpamitan begitu.

"Papa nanti malam tidak pulang?"

"Siapa tahu kan, Ma? Siapa tahu produser itu mengajak papa pergi ke Puncak atau ke tempat peristirahatan lainnya. Papa kan perlu banyak berbincang-bincang dengannya."

"Terserah papa saja. Yang penting papa kalau jadi menginap di luar rumah harus telpon mama ya? Supaya mama tidak gelisah dan khawatir."

"Tentu, sayang."

Fendy berdiri. Yeti ikut berdiri dan mengikuti suaminya sampai di garasi mobil. Parno membukakan pintu garasi begitu melihat tuannya hendak pergi.

"Daaaa, mama." Fendy meluncurkan mobilnya.

"Daaaa, papa."

Yeti berdiri memperhatikan mobil suaminya sampai hilang dari pandangannya. Lalu dia berjalan masuk ke dalam rumah. Di dapur dia membantu masak mbok Ginah.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Sorenya ternyata Fendy pulang ke rumah untuk mandi dan bertukar pakaian. Yeti sama sekali tidak menaruh prasangka apa-apa kepada suaminya yang sudah bersiap-siap untuk pergi. Perempuan itu tetap mengajari kedua anaknya yang sedang mengerjakan PR.

"Mama." panggil Fendy sambil menghampiri istrinya. Yeti menoleh memperhatikan suaminya yang sudah berpakaian rapi.

"Papa mau pergi?" tanya Yeti seraya berdiri dari tempat duduknya.

"Papa mau ke mana?" tanya Dino.

"Papa mau ke mana?" tanya Ria Ikut-ikutan.

"Papa mau pergi ke luar kota. Dino dan Ria tidak boleh nakal ya?" kata Fendy dengan kedua tangan mengelus-elus rambut kedua anaknya itu.

"Papa nggak pulang lagi?"

"Besok papa pasti pulang, Dino."

Fendy mencium pipi Dino. Menyusul pipi Ria. Lalu berjalan meninggalkan ruang tengah itu. Yeti membarengi langkah suaminya. Di dekat pintu rumah Fendy menghentikan langkahnya. Yeti juga ikut berhenti. Lantas Fendy memeluk tubuh istrinya. Mencium kedua pipi perempuan itu.

"Papa pergi ya, Ma. Papa malam ini nginap di Puncak bersama produser film. Banyak permasalahan yang hendak kami bicarakan. Mama jaga anak-anak baik-baik ya?"

Yeti mengangguk dengan bibir tersenyum.

"Hati-hati dijalan, Pa."

Sekali lagi Fendy mencium pipi istrinya penuh kasih sayang. "Tentu, Ma." Kemudian Fendy naik ke dalam mobil. Sambil menghidupkan mesin mobil, dipandang wajah istrinya. Perempuan itu berdiri di teras dengan seulas senyum damai. Senyum seorang istri yang senantiasa tidak menampakkan adanya tanda menaruh curiga. Tulus. Dan selalu mempercayai, bahwa selama ini suaminya tak pernah berdusta. Sebagai seorang bintang film tentunya pintar beracting. Bisa mempermainkan beberapa watak. Dan pasti pintar main sandiwara. Tapi perlukah dia bersandiwara di depan istrinya? Pura-pura tidak memperdulikan Dewi. Membohongi Dewi sudah pulang ke Surabaya. Padahal di senja ini dia sedang menuju ke tempat kost perempuan itu. Dasar lelaki, umpatnya di hati kecil. Dan dia tersenyum sendiri sambil mengendarai mobilnya yang meluncur di jalan raya. Rasa pening mulai dirasakan. Keringat dingin membasahi mukanya. Dan ketika dia sampai di tempat kost Dewi, penghuni tempat itu jadi galau. Kebetulan malam itu semua penghuni kamar kost ada di tempat. Maka kedatangan Fendy membuat mereka sibuk memperhatikan. Maklum bintang film top yang datang. Dewi menemui Fendy dengan perasaan bangga. Betapa tidak? Dia merasa bangga lantaran dikejar bintang film itu. Di antara mereka ada yang nampak iri hati dan ingin mencari perhatian aktor top itu. Namun Fendy telah tercurah perhatiannya pada Dewi. Memang di antara penghuni tempat kost di situ yang paling cantik cuma Dewi.

"Jadi kita pergi malam ini?" tanya Dewi bermanja.

Fendy mengangguk.

"Aku ganti pakaian dulu ya?"

Fendy mengangguk lagi. Dewi bergegas masuk ke dalam kamar. Fendy ditinggal duduk seorang diri di ruang tamu. Sementara penghuni kamar lainnya berjalan mondar-mandir ke luar masuk rumah. Entah apa yang dikerjakan. Yang jelas mereka mencari perhatian Fendy. Dan kalau mereka tersenyum, Fendy membalas senyum mereka. Supaya nampak ramah. Meskipun hatinya mendongkol juga. Bayangkan, sampai terasa capai juga membalas senyuman perempuan-perempuan di situ. Sampai lupa mengingatnya berapa kali dia membalas senyuman dan anggukan mereka. Rasa pening di kepalanya makin jadi. Di asbak sudah terdapat empat puntung rokok filter. Berarti hampir setengah jam dia menunggu. Dan manakala yang ditunggu sudah selesai berpakaian, ke luar dari kamar. Dia berpamitan dengan Tika dan Resti. Lalu menghampiri Fendy yang duduk di kursi tamu. Fendy cukup terpana. Dewi yang mengenakan celana putih, kemeja putih berlengan panjang dan switer hitam, laksana jelmaan Dewi khayangan yang turun ke bumi. Wah, anggapan Fendy agaknya terlampau berlebihan. Namun yang dirasakan Fendy malam itu lebih indah dari malam yang pernah dilaluinya. Karena Dewi tak kalah bila dibandingkan dengan kecantikan aktris yang sedang disanjung-sanjung.

"Yuk," ajak Dewi.

Fendy berdiri dari tempat duduknya. Dewi langsung merengkuh lengan lelaki itu. Menggandengnya meninggalkan tempat kost. Semua penghuni di tempat kost itu berhambur ke luar. Memperhatikan kepergian Dewi dengan aktor top itu. Mereka saling membicarakan Dewi dengan perasaan iri. Namun Dewi tak menghiraukan mereka. Dan dia tahu kalau dirinya sedang dibicarakan mereka. Biasa, ditempat kost atau asrama yang dihuni perempuan-perempuan pasti begitu. Tidak senang dan iri hati bila melihat temannya bahagia.

"Selamat malam, Pa." Dewi mencium pipi Fendy saat mobil meluncur. Papa? Alangkah bahagianya aku dipanggil papa. Fendy tersenyum bahagia. Malam itu semakin indah dirasa.

"Malam, Ma." Sahut Fendy sambil meluncurkan mobilnya di jalan raya.

"Ke mana kita?" tanya Dewi. Suaranya lembut dan manja. Seperti suara l'in Parlinanya Bimbo.

"Ke mana mama ingin?"

"Terserah papa."

"Papa ingin mengajak mama ke Puncak. Istirahat di sana. Bagaimana, Ma?"

Mata perempuan itu berbinar-binar sekejap.

"Kau setuju, Ma?"

Perempuan itu mengangguk. Fendy tersenyum lega. Mobil terus meluncur di jalan Jagorawi. Musik yang terdengar di dalam mobil begitu lembut. Dewi meletakkan tangannya di bahu lelaki itu. Merangkulnya. Sesekali dia mencium pipi Fendy.

"Kemarin sepulangnya mas Fendy dari tempat kost, mbak Yeti tidak bertanya apa-apa?"

"Tidak. Tapi besok pagi dia baru bertanya apa kah kau jadi pulang ke Surabaya. Aku bilang ya. Tapi Dewi tak mau kuantar ke stasiun kereta."

"Lalu tanggapannya bagaimana?"

"Dia menanyakan alamat rumahmu di Surabaya."

"Untuk apa?"

"Dia mau kirim surat padamu."

Dewi tersenyum. Memandang jalanan yang membujur di depannya. Sepi. Jarang terlihat mobil yang meluncur searah.

"Terus papa bilang apa?"

"Aku bilang lupa alamat rumahmu."

Dewi senang. Perempuan itu mencium pipi Fendy lagi.

"Papa pintar deh. Kalau mbak Yeti benar-benar kirim surat ke alamat rumahku yang di Surabaya, wah bisa berabe."

"Memangnya kenapa?"

"Karena keluargaku punya keinginan lain."

"Boleh aku tahu?"

"Belum saatnya untuk memberi tahu."

"Kenapa begitu?"

"Sabar dong, Pa. Papa mau bersabar kan?" Bujuk Dewi sambil mengelus-elus bahu Fendy.

"Okey deh. Papa mau sabar."

Hawa sudah mulai terasa dingin. Kabut berarak di depan jalan yang akan dilalui mobil itu.Tapi wajah Fendy tetap saja berkeringat. Pertanda penyakit darah tingginya mulai kumat.

"Seminggu lagi mama mau pulang ke Surabaya," kata Dewi.

"Ada urusan yang penting?"

"Ya. Rita akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh. Dua tahun lagi anak itu akan diambil oleh ayahnya." Keceriaan Dewi lenyap seketika, wajahnya jadi berubah murung dan sedih. Seolah-olah dia akan menghadapi sisa hidupnya dengan rasa kesepian. Kesepian karena kehilangan anak satu-satunya yang paling dicintai. Disayangi.

"Dan akan kau serahkan anak itu kepada ayahnya?" tanya Fendy sambil menancap gas di jalan yang menanjak dan berbelok-belok.

"Dengan berat hati kuserahkan Rita kepadanya. Sebab ketika kami dalam sidang pengadilan sudah membuat surat pernyataan, bahwa setelah usia Rita menginjak sembilan tahun, anak itu menjadi kewajiban ayahnya untuk mengasuhnya"... Suara Dewi parau. Kesedihan makin meroyak dalam dada.

Fendy, ikut merasa sedih. Dia dapat membayangkan betapa sedihnya seorang ibu yang melahirkan anaknya, namun setelah anak itu berusia sembilan tahun harus diserahkan pada ayahnya. Inilah ironisnya perceraian yang terjadi pada kehidupan rumah tangga. Fendy membelokkan mobilnya ke sebuah hotel. Hotel itu yang dulu pernah untuk menginap bersama Dewi. Mereka segera turun. Fendy menghubungi seorang pelayan hotel. Kemudian pelayan itu mempersiapkan kamar yang akan ditempati oleh tamunya. Kemurungan masih nampak di raut wajah Dewi ketika memasuki kamar hotel. Fendy berusaha menghibur Dewi agar kembali ceria.

"Rita adalah darah dagingmu, Ma. Meskipun kelak dia akan ikut ayahnya, tapi pada suatu ketika dia akan tetap mencari mamanya," tutur Fendy.

"Sisa hidupku akan sepi tanpa Rita."

"Aku tahu. Mungkin papa bisa memberikan pengganti Rita yang lain pada mama?" Fendy memeluk tubuh perempuan itu. Lalu membaringkannya di atas tempat tidur. Dewi menatap wajah Fendy dalam-dalam. Benarkah Fendy bisa memberikan Rita yang lain dalam hidupnya? Ah, kalau seandainya memang bisa, alangkah bahagianya hidupku. Aku akan mempunyai keturunan dari seorang laki-laki yang tampan. Seorang bintang film yang sedang populer. Biarlah. Biarlah apa pun yang akan terjadi asalkan aku bisa mempunyai keturunan lagi. Dewi memeluk Fendy. Jemari tangannya mengupas-usap kulit punggung lelaki itu. Hangat kulitnya. Dan wajah lelaki itu berkeringat. Dewi tahu kalau Fendy begitu, pasti lelaki itu sedang kambuh penyakitnya.

"Papa sakit ya?" tanya Dewi.

Fendy mengangguk. Dia terlentang tidur disisi perempuan itu. Sementara dia pulang dari Surabaya kerapkali penyakit darah tingginya kumat. Maka yang dirasakan pada kepalanya seperti ditusuk-tusuk dengan sejuta jarum. Nyeri. Sakit sekali. Tubuhnya terasa hangat walau dalam hawa yang dingin sekalipun. Dewi tahu keadaan Fendy sejak di Surabaya. Waktu lelaki itu kambuh penyakitnya seperti kerbau yang disembelih. Bersujud di atas tempat tidur sambil memijit-mijit kepalanya. Bahkan lelaki itu sampai menangis karena tak tahan mengalami rasa sakit. Bergulung-gulung di atas tempat tidur sembari merintih kesakitan. Baru kemudian penyakitnya terasa berkurang setelah meminum daun seledri atau blimbing wuluh. Muka Dewi jadi ngeri. Dipeluknya lelaki itu sambil berkata.

"Papa jangan sakit. Papa jangan sakit" desahnya.

"Tidak, sayang. Bersamamu aku tidak akan sakit."

"Sungguh ya?"

Fendy mengangguk. Bibirnya tersenyum. Lalu bibir lelaki itu dikecupnya oleh Dewi dengan mesra. Keduanya saling berpelukan erat dan berguling-guling di atas tempat tidur.

"Dewi," panggil Fendy lirih.

"Ya?"

"Aku mencintaimu."

"Dewi juga."

"Maukah kau hidup berumah tangga denganku? Bulan Desember mendatang kita menikah. Mau?"

"Bulan Desember?" Dewi merenung. Menghitung urutan bulan dari September sampai Desember. Berarti kurang empat bulan lagi.

"Empat bulan lagi?"

"Ya. Empat bulan lagi kita menikah."

"Ah, bagaimana ya?"

"Masih ada yang kau ragukan?"

"Tentu. Lantas bagaimana dengan mbak Yeti? Apakah dia benar-benar merelakan mas Fendy menikah denganku?"

"Makanya supaya kau percaya, kapan waktu kau temui mbak Yeti. Jalinkan pendekatan sebagaimana dengan seorang saudara. Setelah kau dekat akan tahu perasaannya. Betapa dia ingin melihat suaminya hidup berbahagia dengan perempuan yang dicintainya. Dan perempuan yang dicintai suaminya bisa diajak menjalin persaudaraan yang baik. Jangan saling menyakiti, melainkan saling pengertian. Cuma itu yang diharapkan darinya."

Dewi merenungi ucapan Fendy. Bisakah seseorang yang hidupnya dimadu saling pengertian? Saling bisa menjalin persaudaraan? Dimanapun seorang perempuan tak ingin cinta dan kasih sayang suaminya terbagi dua. Dan sanggupkah aku menjalani hidup dimadu? Setiap malam harus menanti giliran untuk dapat tidur bersama suaminya. Bisakah aku? Mampukah aku? Sedangkan cintaku terhadap Fendy kian dalam. Walau sebenarnya di dalam hatiku ada cinta yang lain. Cintaku terhadap lelaki lain. Namun jika dibandingkan dengan cintaku terhadap Fendy lebih besar. Melebihi segala-galanya.

"Bagaimana, Ma?"

"Aku belum bisa memberikan keputusan, Pa. Tapi mama sangat mencintaimu. Cuma mama terasa berat kalau sampai menghancurkan kebahagiaan mbak Yeti. Itu saja yang selalu mama pikirkan," keluh perempuan itu.

Fendy menarik napas panjang..."Aku tak bisa seratus persen meyakinkan, Mama. Seandainya kemarin mama tidak bilang mau pulang ke Surabaya, papa menghendaki mama terlebih dahulu akrab dengan mbak Yeti. Dengan demikian mama baru akan yakin, kalau mbak Yeti menaruh perhatian kepadamu. Dia merasa terkesan dengan sikapmu yang ramah dan mengajak persaudaraan. Itu kesan pertama yang didapat dari mu. Dia juga merasa menyesal kenapa mama buru-buru pulang ke Surabaya. Padahal mbak Yeti masih ingin ketemu kau," tutur Fendy.

"Tapi menurut mama lebih baik begitu. Mencegah supaya mbak Yeti selama ini tidak menaruh curiga kepadaku. Apalagi mbak Yeti sampai tahu kalau mama kerja di night club. Mama jadi malu."

"Aku tahu. Makanya mepurut papa, sebaiknya mama berhenti saja dari pekerjaan itu. Papa sanggup membiayai kebutuhan dan hidup mama. Papa akan carikan tempat kontrakan rumah yang sederhana. Kita hidup bersama."

Dewi menimbang nimbang tawaran lelaki itu. Masih belum dapat memutuskan juga. Ya, dia belum dapat memutuskan lantaran semuanya itu sama sekali tidak pernah diduga. Tidak pernah diduga kalau Fendy ternyata bersungguh-sungguh ingin menikahi. Padahal, padahal, Dewi tak bisa meneruskan kata hatinya lebih terperinci. Sebab dia ke Jakarta sebenarnya cuma untuk pelarian. Bukan untuk mencari cinta. Apalagi untuk mencari suami.

"Baiklah, papa tidak akan memaksamu. Kau memang perlu memikirkan masak-masak, karena papa keadaannya sudah berisstri." Fendy mencium pipi perempuan itu. Terus ciuman itu merembet ke bibir merah yang senantiasa mengulum basah itu. Bibir Dewi yang lembut itu dilumatnya mesra. Malam semakin larut. Hawa dingin di Puncak semakin mencekam. Penduduk kampung yang sedang tidur tak lupa memakai selimut tebal. Namun di kamar hotel yang dihuni Fendy dan Dewi terasa hangat. Bahkan tanpa selimut pun mereka tidak kedinginan. Malahan berkeringat. Dengus napas mereka seperti sedang berlari jauh. Desah dan suara rintihan perempuan itu bagai menggelitik pijar-pijar darah Fendy. Keagresipan perempuan itu melebihi perempuan manapun yang pernah diajak tidur bersama oleh Fendy. Menyebabkan lelaki itu tak akan bisa melupakan sampai kapanpun. Atau lantaran selama ini Dewi kesepian? Selama menjadi janda tak pernah menerima tetesan air yang menyuburkan jiwanya? Benarkah begitu? Lantas kesempatan yang tak pernah diperoleh ini dilakukan dengan menggebu-gebu. Memang sudah sepatutnya kalau begitu. Karena kegaringan dalam jiwa yang kesepian gampang sekali meledak bila mendapatkan sedulang air. Dan akan direguknya air itu sepuas hatinya. Menghilangkan rasa dahaga yang selama ini mencekik hidupnya. Malam yang mereka lalui terasa cepat berganti pagi. Kendati matahari bersembunyi di balik awan putih. Di antara kabut-kabut yang berarak. Fendy dan Dewi baru meninggalkan hotel itu. Sepanjang perjalanan menuju ke Jakarta tak henti-hentinya mereka saling bertukar senyum bahagia.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Dewi duduk di ruang yang penuh dengan perempuan-perempuan bergincu merah. Bau parfum menyeruak di ruangan itu. Karena setiap perempuan yang duduk di ruang kaca itu memakai parfum. Di sebelah Dewi duduk Tika dan Resti. Sembilan puluh persen perempuan yang ada di ruang kaca itu merokok. Terasa pedas juga mata Dewi. Sebab ruangan itu ber-AC. Asap rokok jadi bagai kabut yang menghalangi pandangan. Di luar ruang itu, beberapa laki-laki mengamati perempuan-perempuan yang ada di dalam. Mereka seperti raja karena punya kuasa untuk menentukan selera. Di tempat seperti ini, tamu adalah raja. Tinggal menunjuk perempuan mana yang disukai. Dan nampak dua orang tamu menyuruh petugas yang melayani tamu-tamu untuk membooking hostes memanggil Dewi bersama Tika. Tak lama kemudian Dewi dan Tika ke luar dari ruang kaca itu. Kedua tamu itu segera menyambutnya. Lalu mereka berempat menuju ruang night club yang cahayanya remang-remang. Lalu mereka duduk mengelilingi meja. Seorang pelayan datang.

"Dewi dan Tika mau pesan apa?" tanya salah satu tamu itu.

"Es jeruk," kata Dewi.

"Bir hitam," ujar Tika.

"Es jeruk satu, bir hitam satu dan bir bintang empat. Jangan lupa kacang dan empingnya," lanjut tamu itu kepada pelayan. Lalu pelayan itu segera pergi.

"O ya, kenalkan dulu namaku," tamu itu menyodorkan telapak tangannya ke arah Dewi. Dewi menyalaminya. "Namaku Batara."

Lalu menyusul tamu satunya mengajak Dewi dan Tika bersalaman..."Namaku Hadi Sanjaya." Irama musik mengalun lembut mengiringi penyanyi wanita. Di arena melantai beberapa pasang lelaki dan perempuan saling berdekapan. Tubuh mereka yang rapat bergoyang-goyang seirama dengan alunan lagu. Lampu-lampu yang beraneka warna berkedip-kedip. Menambah suasana ruangan itu jadi syahdu dan romantis. Dewi melirik Batara yang duduk di sampingnya. Cukup tampan juga. Tapi masih kalah bila dibandingkan dengan Fendy. Ah, kenapa aku selalu memikirkan lelaki itu? keluhnya dalam hati. Di sini bukan lagi tempatnya untuk memikirkannya. Tapi bukan di sini saja aku memikirkannya. Dimanapun aku tak mampu melupakannya. Sehingga rasanya enggan untuk melayani tamu-tamu di sini setiap malam kalau sedang ingat padanya.

"Kok melamun?" tegur Batara.

"Ah, tidak." Dewi melirik Tika yang asyik ngobrol dengan Hadi. Dia merasa tak dapat seramah itu kepada tamunya.

"Kamu baru ya di sini?"

Dewi mengangguk.

"Pantas. Sebulan yang lalu aku datang kemari Kamu belum ada di sini. Darimana asalmu?"

"Semarang," Dewi berbohong. Dia selalu berbohong dengan tamunya kalau ditanya darimana asalnya. Cuma dengan Sunarto dia tidak berbohong. Soalnya lelaki setengah baya itu berasal dari Surabaya juga. Dan lelaki itu sangat baik padanya. Tidak sedikit pemberiannya kalau dinilai dengan uang. Baik itu berupa perhiasan dan pakaian.

"Kenapa sampai kerja di sini?"

"Setiap perempuan yang bekerja di sini pasti ada problem."

"Boleh aku tahu problemmu?"

"Yaaah, problemnya paling-paling soal butuh biaya hidup."

Batara manggut-manggut. Padahal alasan yang dikemukakan Dewi tidak benar. Dia bekerja di night club cuma sebagai pelarian saja. Sebenarnya hatinya meronta menjalani hidup begitu. Namun untuk menghilangkan kekalutan pikirannya dia terjun sebagai hostes sembari mencari hiburan. Barangkali dengan begitu kekalutan pikirannya bisa berkurang. Pandangan mata Dewi menangkap Resti yang memasuki ruang night club bersama Sunarto. Lalu mereka berdua duduk di pojok ruang. "Kita turun yuk?" ajak Batara.

Dewi tersentak. Lalu cepat-cepat mengangguk. Barata bangkit diikuti Dewi. Mereka berjalan bergandengan menuju arena dansa. Hadi dan Tika tidak mau ketinggalan ikut pula turun melantai.

"Jangan begitu ah," desah Dewi manakala Batara memeluknya. Merapatkan tubuhnya ke tubuh Dewi.

"Kenapa?"

"Aku tak biasa melantai dengan tubuh berdekapan."

"Kepada setiap tamumu juga begitu?"

"Ya. Malah aku biasanya cuma mau melayani kalau berdisco saja."

"O, begitu ya?"

Dewi memaksakan diri untuk tersenyum. Supaya kelihatan ramah. Kendati hatinya gundah. Andainya lelaki itu Fendy akan lain lagi masalahnya. Dia akan memeluknya erat. Mesra dan hangat.

Musik yang berirama lembut terus mengalun. Suara penyanyi laki-laki mengumandang merdu. Bagai membuai kelembutan insan-insan yang berpelukan di arena dansa. Tapi apa yang dirasakan Dewi cuma seonggok keresahan. Sebab dia tak kuasa mengusir bayangan wajah Fendy. Kemesraan lelaki itu. Kelembutan belaiannya dan sikapnya yang tenang. Pendiam. Segalanya yang dimiliki lelaki itu adalah dambaannya. Dewi sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya mengedarkan pandang. Dia melihat Sunarto sedang melantai dengan Resti. Saling berdekapan erat. Dewi tersenyum. Musik yang lembut berakhir. Group band dengan tiba-tiba merubah suasana yang romantis menjadi semarak. Hentakan musik berirama disco memecah suasana. Ditambah dengan suara penyanyinya yang melengking. Maka Dewi segera menarik lengan Batara untuk meninggalkan lantai dansa. Lelaki itu menuruti kemauan Dewi. Lalu mereka duduk di tempat semula. Tika masih berjingkrak-jingkrak bersama Hadi di arena dansa. Begitu pula Resti dan Sunarto.

"Bagaimana kalau kau pindah kerja di tempat night clubku?" tanya Batara.

Dahi perempuan itu berkerut. Dipandangnya wajah Batara yang pada saat itu sedang mengamati wajah Dewi. Mereka saling bersitatap di bawah cahaya lampu yang remang-remang.

"Kau punya night club?"

"Ya. Tak kalah ramainya dibandingkan di sini."

"Di mana?"

"Di Menteng. Mau pindah kerja di sana?"

"Akan kupertimbangkan dulu."

Dewi meneguk minumannya. Tak lama kemudian Tika bersama Hadi kembali duduk di sebelahnya. Mereka ngobrol sambil bercanda. Diam-diam Batara semakin tertarik pada Dewi. Perempuan yang satu ini agak lain sikapnya. Tidak genit dan manja. Selalu pendiam dan nampak murung. Sebagai pemilik night club yang setiap malamnya bergaul dengan hostes-hostes, tidak pernah ditemui hostes seperti Dewi. Artinya perempuan ini punya daya tarik yang kuat. Di samping wajahnya cantik, barangkali kemurungan yang bertengger di wajahnya itulah yang menyebab kan dia menarik.

"Pulangnya aku antar mau?" tanya Batara.

"Tanyalah pada Tika."

"Bagaimana Tika?"

"Ada apa nih?" tanya Tika.

"Nanti kita pulang sama-sama ya?"

"Okey. Tapi nanti mampir ke jalan Sabang dulu."

"Ngapain?"

"Makan sate ayam."

"0, beres."

Tika mendaratkan ciuman ke pipi Batara. Batara senang. Lebih senang lagi kalau yang mencium pipinya adalah Dewi. Tapi perempuan yang duduk di sebelahnya itu senantiasa dingin. Pendiam sekali. Waktu terasa cepat bergeser. Batara melihat jarum jam tangannya. Sudah jam dua pagi. Sebentar lagi night club akan tutup. Maka dia segera mengajak Hadi meninggalkan ruangan itu.

"Aku tunggu di samping hotel ya?" kata Batara kepada Dewi.

Perempuan itu cuma mengangguk. Lalu Batara dan Hadi memanggil seorang pelayan. Dia membayar nota yang disodorkan pelayan itu. Tak lupa memberi sepuluh lembar uang sepuluh ribuan kepada Dewi sebagai uang tip. Kemudian Batara dan Hadi meninggalkan ruangan itu. Sungguh royal lelaki ini, pikir Dewi. Memberi uang tips sebesar seratus ribu rupiah. Wah, semalam aku mimpi apa sampai kebagian rejeki nomplok. Selama dia bekerja di night club itu, baru kali ini menerima tip sebanyak itu. Ah, mungkin ini suatu cara untuk memikatku? Dengan pemberian uang ini berarti dia akan bisa menguasai diriku? Tidak. Di night club aku melayaninya sebagai tamu, dan di luar night club tak lebih dari sebagai teman. Ketika Dewi bersama Tika ke luar dari hotel, ternyata Batara dan Hadi sudah menunggunya. Lalu mereka berempat naik ke dalam mobil. Dewi duduk di jok depan di samping Batara yang mengemudikan mobil. Sedang Tika duduk di jok belakang bersama Hadi. Kedua manusia itu nampak mesra. Selalu bercanda penuh keriangan.

"Resti pulang sama siapa?" tanya Tika di dalam mobil yang sedang meluncur.

"Mungkin sama pak Narto."

"O ya, aku tadi melihatnya dibooking pak Narto."

"Biarkan saja."

Penjual sate ayam berderet di pinggir jalan Sabang. Pembelinya kebanyakan orang-orang yang suka begadang. Rata-rata mereka naik mobil datang ke situ. Setiap mobil pasti ada perempuannya. Mudah diterka bagi orang awam, bahwa perempuan yang datang ke situ suka keluyuran malam. Apalagi di waktu dini hari seperti ini. Di situlah mobil yang dikemudikan Batara berhenti. Dewi melihat Resti dan Sunarto sedang makan sate di dalam mobil. Lalu Dewi bergegas turun dari mobil untuk memesan empat porsi sate ayam. Di samping dia ingin supaya Sunarto melihatnya. Memang, Sunarto melihatnya, tapi lelaki itu nampak tak acuh kini. Ah, perduli apa pak Narto tak menegurku. Mungkin dia sedang asyik dengan Resti. Aku cemburu? O, tidak. Tapi ada perubahan yang mencolok pada lelaki itu. Atau barangkali Resti telah menceritakan kehidupanku yang sebenarnya? Wah, kalau memang benar, lelaki itu pasti akan menjauhiku, pikir Dewi sambil duduk di sebelah Batara.

"Dewi, kau lihat mobil itu?" kata Tika menunjuk ke arah mobil Sunarto.

"Ya. Resti sama pak Narto. Biarkan saja."

"Siapa Resti?" tanya Batara.

"Teman satu kost denganku."

"Ooo," Batara manggut-manggut sambil memandang Resti yang sedang bersenda gurau dengan Sunarto. Penjual sate menghantarkan pesanan mereka. Lantas mereka menyantap hidangan itu dengan lahapnya.

"Bagaimana kalau kita sehabis makan sate beristirahat ke Puncak?" ajak Hadi.

"Setuju aja," balas Tika.

"Kamu bagaimana Dewi?" Hadi pindah bertanya pada Dewi.

"Kalian sajalah yang pergi. Aku sedang tak enak badan."

"Lho di sana kita kan istirahat. Siapa tahu badanmu jadi sehat?" kata Hadi tertawa renyah, sambil mencubit paha Tika. Tika menggelinjang senang.

"Nggak ah. Lain kali saja."

"Lain kalinya kapan?" tanya Batara.

"Ya kapan-kapan."

Batara menarik napas panjang. Dewi memperhatikan mobil Sunarto yang meluncur meninggalkan tempat itu. Selesai makan Batara membayar kepada penjual sate. Lalu dia bertanya sekali lagi.

"Bagaimana? Kita jadi beristirahat ke Puncak?"

"Aku mau pulang saja."

"Jangan begitu dong. Ikut sajalah Dewi,"

bujuk Tika.

"Aku lagi tak enak badan. Kalian sajalah yang pergi."

"Kalau begitu kapan-kapan saja deh kita pergi ya?" kata Tika kepada Hadi dan Batara.

"Nggak enak dong, masak ceweknya cuma aku seorang."

"Kita berdua yang pergi."

"Lalu Batara mau dikemanakan?"

"Dia pulang setelah mengantar Dewi ke rumah."

"Terserah."

"Okey Tara, kita cabut."

Batara menghidupkan mesin mobilnya. Lalu meluncurkan meninggalkan tempat itu. Jalan raya nampak sepi. Hawa pagi yang dingin bercampur embun menyusup ketika Dewi menghirup ke dalam paru-parunya. Dia kembali teringat pada Fendy. Malam ini tentunya dia sedang tidur bersama istrinya. Maka perasaannya jadi perih. Ketika mobil telah sampai di depan tempat kost, Dewi bergegas turun.

"Terima kasih, Tara. Yuk Hadi. Selamat berhappy dengan Tika," kata Dewi di dekat pintu mobil yang mesinnya masih hidup.

"Daaaa. Selamat malam, selamat tidur"... Balas Batara sambil meluncurkan mobilnya.

Kemudian Dewi melangkah. Sepatunya yang berdetuk-detuk menginjak halaman rumah itu. Lalu dia mengetuk pintunya. Mbok Minah yang setiap dini hari seperti ini selalu terbangun dan membukakan pintu rumah.

"Resti belum pulang, Mbok?"

"Belum, Non."

Dewi melangkah masuk. Membuka pintu kamarnya. Dilempar tasnya ke atas meja sambil membuka sepatu. Lantas dia berbaring di atas tempat tidur tanpa bertukar pakaian tidur lagi. Ke mana Resti pergi? Barangkali pak Narto membawanya ke Puncak? Ah, biarkan saja. Biarkan saja, asalkan dia tidak mencerita apa-apa tentang diriku. Sesuatu bagai ada yang menyentak ulu hatinya. Sesuatu itu adalah kerinduan kepada anaknya. Lalu dia bergegas bangun dan mengambil selembar foto Rita yang ada di dalam laci meja. Dipandangnya foto Rita yang sedang mengikuti karnafal perayaan tujuh belas Agustus. Foto itu diambil gambarnya oleh Agus Nuryanto. Dan dibelakangnya ada tanggal dan tanda tangan lelaki itu. Agus Nuryanto. Bibir Dewi menyebut nama lelaki itu dengan pelan. Sepertinya mendesah. Dan sebenarnya lelaki itu juga telah hadir dalam hidupnya. Bahkan lelaki itu tak pernah mau menyerah untuk mendapatkan dirinya. Usahanya mendekati Rita, mengambil hati anaknya cukup sabar. Apalagi mengambil hati kedua orang tuanya. Namun ada perintang yang dirasakan oleh Dewi. Perintang itu berasal dari kedua orang tua Agus yang sampai saat ini belum mengetahui kalau Dewi berstatus janda. Janda yang sudah beranak satu. Itulah yang menyebabkan Dewi pergi ke Jakarta. Mencari tempat pelarian. Juga sebagai menguji cinta Agus sampai seberapa besarnya. Dan bukan itu saja yang menjadi tujuan Dewi. Dia ingin tahu perjuangan lelaki itu terhadap orang-tuanya agar Dewi bisa diterima di tengah-tengah keluarganya. Sebagai menantu dengan keadaan sudah janda dan mempunyai anak perempuan satu. Namun, di Jakarta hati Dewi telah terpaut dengan Fendy. Membuat dirinya jadi terombang-ambing di antara dua pilihan. Sementara dirinya belum resmi diceraikan David. David adalah suami yang kedua setelah dia bercerai dengan Prasetio. Prasetio ayah kandung dari Rita. Berarti untuk ketiga kalinya Dewi akan menikah lagi, setelah dua kali gagal membina hidup berumah tangga. Dan manakah calon suaminya yang tepat untuk dipilihnya? Agus atau Fendy? Kalau Agus memang masih bujangan walau usianya sudah menginjak tiga puluh tahun. Sifat lelaki itu keras. Namun paling pintar mengambil hati siapa pun. Namun ada perintang di mana keluarganya tidak menghendaki Agus menikah dengan seorang janda. Bahkan sebenarnya lelaki itu sudah dicalonkan oleh orangtuanya dengan gadis pilihannya. Kendati setelah menjalin hubungan dengan Dewi, Agus memutuskan hubungannya dengan gadis pilihan orang tuanya. Itu atas kemauan Dewi. Dan Agus menuruti kemauan Dewi memutuskan hubungan itu. Sedangkan Fendy, lelaki itu sudah mempunyai istri dan dua anak. Mungkinkah dia bisa tahan menjalani hidup dimadu? Ya, dapatkah aku menjalani hidup dimadu? Pertanyaan itu menyentak-nyentak dalam rongga dadanya Dewi cuma bisa menarik napas panjang, lantaran cintanya terhadap lelaki itu mengalahkan segala-galanya.

Perempuan macam apakah aku ini? Dewi membalikkan tubuhnya. Memandang foto dirinya yang terpampang di dinding. Dalam foto itu terlihat cantik. Penuh pesona. Namun belum tentu wajah yang cantik dan mempesona itu bernasib baik. Lalu Dewi mengintropeksi diri. Selama hidupku cuma sebentar merasakan bahagia, lalu sekian lama menderita. Pernikahan dengan Prasetio dalam usianya yang belum matang menyebabkan sering terjadi percecokan. Dan kalau saja dia tidak hamil duluan, pernikahan dalam usianya yang belum matang itu, tak mungkin terjadi. Sehingga hidupnya menderita lantaran tidak diakui sebagai anak oleh orang tuanya lagi. Karena makin tak tahan hidup menderita, maka perceraianpun terjadi. Lalu setahun dia menjalani hidup menjanda. Baru kemudian bertemu dengan David. Saling jatuh cinta. Hubungannya dengan David ditentang kedua orang tuanya karena pada saat itu David masih mempunyai istri tapi belum mempunyai anak. Kala itu David hidupnya kaya. Punya empat mobil tengki minyak. Semua kekayaan itu memang diwariskan dari orang tuanya yang sudah meninggal. Lantas Dewi mau hidup berumah tangga dengan David, asalkan David mau menceraikan istrinya. Dan karena David tergila-gila pada Dewi, akhirnya dia tega menceraikan istrinya. Lalu... lalu... Dewi tak tahan diserang rasa mengantuk. Pikirannya sudah terasa lelah sekali. Begitu juga sekujur tubuhnya. Foto yang dipegang terjatuh di atas tempat tidur. Dewi tak ingat apa-apa lagi. Dia tertidur pulas.

Esok sorenya Dewi tidak menegur Resti ke mana perempuan itu pergi bersama Sunarto. Dia berpendapat setiap tamu yang dikenal di night club punya kebebasan bergaul intim dengan siapa pun. Punya kebebasan mengajak pergi ke mana pun asalkan sama-sama mau. Dan itu tergantung pribadi orang yang bersangkutan. Kalau memang Resti mau diajak Sunarto ke hotel, apa haknya Dewi untuk melarang? Tapi di hari-hari berikutnya Sunarto memang sering datang menjemput Resti. Mengajak Resti keluar makan siang atau berbelanja pakaian. Dewi semakin dapat merasakan perubahan Sunarto yang kian tak acuh padanya. Kalau malam datang ke night club selalu membooking Resti. Bila kebetulan berpapasan dengan Dewi tak mau menyapa. Tentu saja Dewi jadi merasa tak enak. Padahal dulu lelaki itu sangat baik padanya. Tapi kenapa sekarang berubah begitu? Dewi tetap berusaha untuk menyimpan ketegangan dalam jiwanya. Keintiman bergaul dengan Resti mulai dirasa renggang. Sekalipun mereka berangkat dari Surabaya bersama-sama. Susah senang selama tinggal di tempat kost dirasakan berdua. Kendati masing-masing mempunyai problem yang berlainan. Dan di siang itu, Resti yang mulai menegur Dewi ketika sedang bersama-sama di dalam kamar.

"Kapan jadi pulang ke Surabaya, Dewi?"

"Hari Sabtu. Kenapa?" sahut Dewi bermalas-malasan.

"Kita pulang bersama-sama ya? Aku juga sudah kangen sama anakku."

Dewi tak ada reaksi.

"Ada apa sih pak Narto nampaknya kok lain terhadapku?"

"Mungkin dia cemburu waktu kamu dibook sama Batara."

"Aku rasa bukan itu penyebabnya. Pasti ada orang yang mempengaruhinya."

Bunyi telpon berdering. Suara Tika menerima pembicara di telpon itu. Dewi bergegas turun dari tempat tidur karena namanya disebut-sebut oleh Tika.

"Dewi ada interlokal dari mas Agus," teriak Tika memanggilnya. Dewi berhambur ke luar dari kamarnya. Lalu mengangkat gagang telpon yang diletakkan Tika di atas meja. Tika melangkah masuk ke kamarnya.

"Hallo," suara Dewi keras.

"Dewi ya?"

"Ya. Ini Dewi."

"Apa kabar, Ma?"

"Baik-baik."

"Hari Sabtu mama jadi pulang kan? Papa dan Rita di sini sudah rindu menanti kedatangan mama."

Dewi sesaat termenung. Hatinya gundah. Sebaiknya pulang ke Surabaya atau tidak? Dewi masih bingung untuk mengambil keputusan.

"Bagaimana, Ma? Rita setiap saat menanyakan mama kapan pulang. Kasihan dia, Ma. Mama pulang dulu ya? Masak mama tega tidak mau menghadiri pesta ulang tahun papa."

"Ya, ya, ya, aku pasti pulang."

"Nah, begitu dong sayang. Itu baru namanya sayang sama papa. O ya, ada kabar baik untukmu, Ma."

"Kabar apa?"

"Selama mama tinggal di Jakarta, papa senantiasa membujuk orang tuaku agar mau menerima kehadiran mama di tengah-tengah keluarga. Dan nampaknya usaha papa sudah mulai berhasil. Maka untuk itu, papa harapkan sekali kehadiran mama dalam pesta ulang tahunku nanti. Mami dan papi-ku ingin kenal lebih dekat denganmu."

Perasaan Dewi bercampur aduk di dalam dada. Dia tak dapat merasakan kebahagiaan yang utuh lagi, lantaran hatinya bercabang dua. Antara Agus dengan Fendy. Andaikan kabar itu diterimanya sebelum dia jatuh cinta terhadap Fendy, alangkah tak terkiranya rasa kebahagiaan di hatinya. Namun kabar itu menjadikan perasaannya gundah dan bingung.

"Mama senang mendengar kabar itu bukan? Karena hubungan kita tidak akan ada perintang lagi."

"Ya, ya."

"Okey, Ma. Sampai jumpa hari minggu distasiun Pasar Turi Surabaya. Papa akan jemput mama di sana."

Dewi meletakkan gagang telpon ke induknya. Lalu dia berjalan lesu menuju kamar. Duduk termenung di pinggir tempat tidur. Resti yang sedang ngobrol dengan Tika memperhatikan kemurungan Dewi.

"Ada kabar buruk dari mas Agus?" tanya Resti.

Dewi menggeleng..."Kamu jadi pulang hari Sabtu?"

"Ya." Dewi menarik napas berat.

"Kok jadi kelihatan murung? Mestinya senang dong mau ketemu pacar di Surabaya," kata Tika mengajak bersenda gurau.

"Aku bingung," desah Dewi.

"Kenapa bingung?"

"Karena baru sekarang orang tua mas Agus merestui hubunganku. Sedangkan aku sudah terlanjur mencintai mas Fendy."

"Kalau menurut pendapatku, sebaiknya kau menikah saja dengan mas Agus. Sudah cukup besar pengorbanannya untukmu. Dia sampai memutuskan hubungannya dengan calon istrinya, berusaha membujuk orang tua agar mau menerimamu sebagai menantunya. Dan dia sangat sayang kepada anakmu," kata Resti yang selama ini tahu persis jalinan hubungan Dewi dengan Agus.

"Menurutku juga begitu Dewi. Aku bisa menilai Agus seorang laki-laki yang penuh pengertian sewaktu dia mengantarmu ke mari. Tiga hari dia menginap di sini, terasa cukup bagiku untuk menilai calon suamimu itu." Tika ikut menimpali.

Dewi merenungi saran kedua temannya itu. Sementara hatinya masih bercabang dua. Gejolak dalam dadanya merasa berat berpisah dengan Fendy. Lelaki itu adalah dambaan kalbunya. Telah mampu memberikan arti dalam hidupnya. Sedangkan Agus, selama dia menjalin hubungan cinta dengan lelaki itu, senantiasa tak menemui kedamaian. Selalu berselisih pendapat. Selalu bertengkar, walau kemesraan tumbuh di sela-sela ketidak serasian itu.

"Ah, aku masih bingung." Dewi beranjak meninggalkan kamar itu. Lalu dia duduk melamun di kursi tamu. Sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah. Batara dengan Hadi turun dari mobil itu.

"Tika ada tamu!" teriak Dewi.

Tika berhambur ke luar. Dia jadi girang melihat Hadi datang bersama Batara..."Selamat siang," sapa Batara begitu masuk diruang tamu bersama Hadi.

"Siang. Silakan duduk," balas Tika.

Kedua tamu itu duduk di kursi tamu. Batara melempar senyum pada Dewi yang nampak resah. Dewi membalasnya dengan terpaksa.

"Sedang melamun?" tanya Batara.

"Ah, tidak."

"Siang ini tidak ada acara?" tanya Hadi pada Tika.

"Lagi bengong aja."

"Yuk kita ke luar makan siang," ajak Hadi.

"Kebetulan kami memang belum makan siang"...Tika menarik lengan Dewi masuk ke dalam kamar. Dewi nampak bermalas-malasan.

"Ayoh, tukar pakaian."

"Mau ngapain?"

"Ditraktir makan siang kok tidak mau. Ayo cepat," ajak Tika tak sabar lagi.

Dewi tetap bermalas-masalan ganti pakaian.

"Kau mau ikut?" tanya Tika pada Resti.

"Aku sudah ada janji sama pak Narto siang ini. Kalian sajalah yang pergi duluan."

Dewi sambil mengenakan pakaian melirik Resti. Apakah dia sengaja mau memancing emosiku? Kayaknya dia terlalu membanggakan sekali dapat pak Narto. Mentang-mentang sekarang dia bisa mengambil hati lelaki itu. Merasa bangga lantaran dibelikan perhiasan dan pakaian. Sering diberi uang oleh pak Narto.

"Jangan ganggu keasyikan dia sama pak Narto. Dia kan sedang berhappy," sindir Dewi sambil tersenyum sinis.

"Iya dong. Soalnya aku tidak pernah mengecewakan setiap tamu yang kukenal di night club."

Berdesir darah Dewi. Ucapan Resti seperti mengupas perbuatan Dewi selama ini. Dia yang senantiasa mengecewakan tamu-tamu di night club. Tidak pernah ramah. Selalu dingin. Dan maunya cuma morotin uangnya saja. Barangkali pak Narto pernah mengeluh begitu kepadanya.

"Ucapanmu secara tidak langsung menyinggung perasaanku, Resti." Dewi mendamprat Resti dengan sengit.

"Lho kamu kok jadi marah sama aku?"

"Karena kau seolah-olah menuduhku sebagai perempuan yang cuma mau morotin uang para tamu yang kukenal di night club."

"Sudah, sudah. Kok malah kalian jadi bertengkar," sergah Tika.

"Habisnya kalau ngomong pakai nyindir segala," gerutu Dewi. Tika langsung menarik Dewi ke luar dari kamar itu.

"Ada apa kok ribut-ribut di dalam kamar?" Tanya Batara.

"Biasa, salah pengertian. Yuk, kita berangkat," ajak Tika masih memegangi lengan Dewi. Lalu mereka berempat berjalan menuju ke mobil. Siang yang kerontang. Mobil yang dikemudikan Batara meluncur pergi. Membelah teriknya sinar matahari yang menyengat bumi. Tapi di dalam mobil itu terasa sejuk lantaran ada ac. Dewi duduk di jok depan bersebelahan dengan Batara yang memegang kemudi. Seperti biasa Tika dan Hadi duduk di jok belakang sambil bermesraan. Mereka singgah untuk makan siang di rumah makan ayam goreng. Batara selalu memperhatikan sikap Dewi yang pemurung. Kadang-kadang perasaan lelaki ini merasa iri bila melihat Tika begitu manja dan mesra kepada Hadi. Dia kepingin seperti itu. Kepingin Dewi bermanja kepadanya. Namun perempuan itu selalu dingin dan tak acuh.

"Apa yang sebenarnya kau pikirkan. Dewi?"

"Ah, tidak ada yang sedang kupikirkan."

"Biasa-biasa saja."

"Tapi kau selalu murung."

"Barangkali memang begitulah sifatku."

"Biasanya kalau orang selalu murung sedang menghadapi persoalan rumit. Persoalan yang belum bisa terselesaikan."

Dewi melempar pandang ke luar. Memperhatikan mobil yang berlalu lalang di jalanan.

"Katakanlah, barangkali aku bisa membantumu?"

Dewi menggelengkan kepala. Lalu dia meneruskan menyantap makanannya...

"Terlalu sulit?"

"Ya."

Batara diam. Dia mengamati kulit di wajah perempuan itu. Halus. Mulus. Tanpa dipoles make up sudah memikat. Matanya yang indah selalu sayu. Bibirnya yang merekah seperti bunga mawar tanpa lipstik. Betapa indahnya. Sedang perempuan yang diamati tetap tak acuh. Membuat lelaki itu jadi makin penasaran.

"Bagaimana kalau kau ke luar dari tempat pekerjaanmu?"

"Terus mau ngapain?"

"Mengurus rumah tangga?"

"Rumah tangga siapa?"

"Rumah tangga kita."

"Wah, aku masih belum kepingin hidup berumah tangga. Masih ingin sendiri."

Batara agak kecewa. Baru kali ini tawarannya ditolak secara terang-terangan. Padahal biasanya dia malah diburu oleh perempuan-perempuan seperti Dewi. Batara semakin kecewa ketika selesai makan siang ajakannya ditolak oleh Dewi.

"Siang ini aku tidak ingin pergi ke mana. Ingin di rumah saja," kata Dewi di dalam mobil yang sedang meluncur di jalan raya.

"Tidak suka kuajak pergi?" balas Batara.

"Suka sekali. Tapi kalau lagi malas kepinginnya di rumah saja."

"Mau dong sekali-kali kita pergi ke Puncak" ... Tika menimpali.

Dewi tak menyahut. Sejak dia bergaul intim dengan Tika sudah dapat menyelami sifat perempuan itu. Dia selalu dipengaruhi agar mau dijadikan patner dengan teman pasangannya. Ini terjadi bukan Sekali. Sudah seringkali begitu. Namun Dewi selalu mencari alasan untuk tidak bersedia ikut menemani teman pasangannya. Ketika sampai di rumah, Dewi cuma sendirian. Tika bersama Hadi dan Batara pergi entah ke mana. Resti juga pergi. Maka dia berbaring di atas tempat tidur dengan menghabiskan waktunya untuk membaca majalah. Sebenarnya konsentrasi untuk membaca majalah kabur. Sebab pikirannya sedang menghitung-hitung hari. Empat hari Fendy tidak datang menjenguknya. Sibukkah dia? Atau barangkali penyakit darah tingginya sedang kumat? Ah, jangan. Dia tidak boleh sakit-sakitan lagi. Kasihan. Tapi kenapa dia tidak datang? Rasa rinduku sudah tak tertahankan lagi. Dan bagaimana seandainya sampai hari Sabtu dia belum juga datang? Keresahan menggeluti hatinya. Lalu dia memutuskan kalau sampai besok malam lelaki itu belum muncul, dia akan nekad mencarinya dikantor-kantor film.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Di studio dubbing PFN sedang berlangsung Pengisian suara film "Luruhnya Nestapa". Fendy nampak terkurung di dalam kamar kaca bersama Sirena. Keduanya adalah bintang film yang pegang peranan utama di film itu. Mereka sedang latihan menghafalkan dialog. Menyesuaikan dialog sesuai dengan gerakan bibir pada gambar yang diproyeksikan ke layar putih. Supaya sinkron dengan pengucapannya. Tapi sudah berkali-kali dia menghafalkan dialog masih lupa kalau sedang mengucapkan. Sutradara yang menggarap film itu segera menghampiri Fendy. Dia merasa kesal juga lantaran pada hari ini Fendy sering salah mengucapkan dialognya. Sutradara itu masuk ke ruang kaca.

"Ada apa Fendy? Hari ini kau nampaknya kurang konsentrasi." tegur Maruli. Sutradara itu memperhatikan Fendy dengan nanar. Mencari-cari dalam sorot mata lelaki itu apa yang menjadi penyebabnya. Barangkali dengan cara begitu dia bisa menemukan jawabannya.

"Sory, Mas. Hari ini keadaan tubuhku kurang sehat," sahut Fendy sambil menarik napas berat.

"Tapi kulihat dari sorotmu kau sedang gelisah."

"Aaa, mungkin. Karena kondisiku kurang baik. Tapi akan kucoba terus sampai dapat."

"Iya dong. Masak aktor top salah melulu mengisi suara sendiri," Sirena menimpali sambil tertawa renyah.

"Okey, kita mulai lagi." Maruli segera ke luar dari ruang kaca. Di depan mike Fendy mengucapkan dialog lagi. Dia berusaha sepenuhnya berkonsentrasi. Namun dia merasa terganggu bila bayangan wajah Dewi menyelinap ke dalam benaknya.

"Nah ya, salah lagi kan?" kata Sirena.

"Ah, kenapa jadi begini? Kenapa jadi begini?"

Fendy mengeluh dengan jengkel. Lalu dia bersandar di dinding ruang itu.

"Tenang. Usahakan pikiranmu jadi tenang."

"Sial. Sial. Hari ini pikiranku benar-benar kacau," keluh Fendy.

"Dari pagi sampai siang belum dapat satu lop-pun."

"Mari kita coba lagi," ajak Sirena. Fendy menuruti ajakan aktris itu. Dia kembali berdiri di depan mike. Sirena mulai mengucapkan dialog lalu dialog itu disahut oleh Fendy. Di layar yang diproyeksikan gambar Fendy dengan Sirena sedang duduk di taman. Dialog yang diucapkan Fendy memang panjang. Itulah sebabnya dia sering salah. Padahal selama ini dia dikenal sebagai dubber yang jempolan. Tidak pernah menyusahkan sutradara ataupun penata suara. Tapi kali ini dia benar-benar kacau. Lantaran di benaknya tak mau hilang bayangan Dewi. Dewi yang besok akan kembali ke Surabaya. Dan pada hari ini merupakan kesempatan terakhir untuk bertemu dengan perempuan itu. Akhirnya berkat kemauan keras Fendy melupakan sejenak perempuan itu, satu dialog panjang itu bisa diselesaikan dengan baik. Lega juga hatinya. Lantas dia ke luar dari ruang kaca itu dengan tubuh lemas. Sirena mengikutinya.

"Break makan siang," kata Maruli.

Ruang studio itu jadi terhenti kegiatannya untuk sementara waktu. Seluruh crew film beserta artisnya beristirahat untuk makan siang. Fendy merasa tak ada napsu makan di siang itu. Dia malah duduk menyendiri di luar studio. Maruli menghampirinya.

"Kau tidak makan siang dulu?"

"Selera makanku hilang."

"Nanti kondisimu makin buruk. Ayolah isi perutmu walau cuma sedikit," desak Maruli sambil menarik lengan Fendy. Fendy dengan bermalas-malasan beranjak pergi. Ikut bergabung dengan crew film dan artis lainnya. Bagian konsumsi mengantarkan sebungkus nasi kepada Fendy dan Maruli. Fendy menyantap hidangan itu nampak kurang lahap. Bermalas-malasan.

"Masih banyak bagian lop saya hari ini?" Tanya Fendy pada Maruli.

"Lumayan,"

"Kira-kira sampai jam tujuh malam bisa selesai?"

"Kalau kau tidak sering salah pasti selesai. Memangnya nanti malam kau ada acara?"

"Tidak. Aku mau periksa ke dokter."

Maruli manggut-manggut. Padahal itu cuma alasan Fendy supaya bisa pulang sore. Lalu malam ini dia bisa menemui Dewi. Bisa mengajak perempuan itu pergi. Maka setelah selesai makan siang pengisian suara film diteruskan lagi. Untuk mengejar supaya cepat selesai, Fendy berusaha penuh konsentrasi. Dari lop dua sampai lop berikutnya dapat diselesaikan dengan mulus pengisian suaranya. Sirena senang. Sutradanya lebih-lebih senang. Namun, sebenarnya tak ada satupun yang tahu apa sebabnya Fendy berusaha cepat menyelesaikannya. Karena terdorong oleh rasa ingin lekas bertemu dengan Dewi. Fendy ke luar dari ruang kaca sambil menghela napas lega. Dia melihat jarum jam tangannya. Sudah jam enam sore. Wah, kalau tidak buru-buru menemui Dewi sekarang, perempuan itu sudah duluan pergi.

"Sudah selesai bagian lop saya. Mas?" tanya Fendy pada sutradara.

"Sudah."

"Okey dah. Aku duluan pulang kalau begitu."

"Silakan."

"Yuk, semuanya. Aku pulang duluan."

"Buru-buru amat sih?" kata Sirena.

"Mau periksa ke dokter." balas Fendy sembari tergesa-gesa melangkah ke luar. Di luar, alam sudah diselimut kelam. Fendy berlari-lari menghampiri mobilnya yang diparkir di dekat gardu penjagaan. Beberapa teman menegurnya, dan Fendy cuma membalas dengan lambaian tangan. Dia begitu tergesa-gesa seperti takut ketinggalan pesawat. Membuka pintu mobil, lalu duduk di belakang kemudi sambil menghempaskan pintunya. Mobil itu meluncur bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Setiap mendekati rambu lalu lintas menyala merah. Dia mengeluh sambil menginjak rem. Dan kalau kendaraan di depannya macet, kepingin rasanya mobil yang dikemudikan bisa melayang. Melayang dan cepat sampai di tempat kost Dewi. Ketika mobilnya telah sampai di tempat tujuan, tetap saja dia nampak terburu-buru ingin bertemu Dewi. Jangan-jangan dia sudah berangkat bekerja? kata Fendy dalam hati. Langkahnya terayun cepat menginjak halaman rumah itu. Dan ketika dari dalam rumah nongol wajah Dewi, maka segumpal kekhawatiran di dalam dada Fendy jadi sirna.

"Mas Fendy!" teriak Dewi girang sekali. Disambutnya kedatangan lelaki itu dengan penuh kerinduan.

"Belum berangkat kerja?" tanya Fendy. Padahal dia sudah kepingin memeluk tubuh perempuan itu.

"Belum." Dewi menarik lengan Fendy. Mengajak duduk di kursi tamu. Penghuni rumah itu berhamburan dari dalam kamar. Lalu mereka bergerombol di depan kamar sambil memperhatikan Fendy. Saling berbisik. Ada juga yang senyum-senyum kepada aktor top itu.

"Kamu jadi pulang besok?"

"Ya. Papa tak penah menjenguk mama ke mana sih?"

"Sedang sibuk dubbing."

"Pasti kan ada waktu senggangnya?"

"Pagi sudah dijemput dan pulangnya tengah malam. Sulit untuk menemui mama. Waktunya sudah habis. Kalau pulang tengah malam badanku sudah terlalu capai."

Dewi tersenyum. Menatap wajah Fendy dalam-dalam. Rindu sekali perempuan itu pada lelaki yang duduk di depannya. Begitupun lelaki itu. Sesaat mereka saling bertatapan, bertukar senyuman.

"Apakah malam ini mama mau bekerja?" Tanya Fendy dengan suara berat.

Perempuan itu menggelengkan kepala..."Mau pergi sama papa. Papa mau mengajak pergi mama bukan?"

Bibir lelaki itu tersenyum. Wajahnya yang berkeringat jadi berseri-seri.

"Usaplah keringatmu. Pa."

Fendy mengambil sapu tangan dalam saku celananya. Lalu diusap keringat yang membasahi mukanya.

"Mama ganti pakaian dulu ya?"

Fendy mengangguk. Dewi beranjak pergi ke kamar. Fendy mengambil sebatang rokok dari dalam bungkusnya lalu disulutnya. Dia mengisap rokok itu sambil melepaskan lelah. Rasa penat dan pegal di kedua kakinya seperti menggigit-gigit. Sejak daru pagi dia berdiri di hadapan mike untuk penyisian suara film. Persis sebatang rokok habis diisapnya. Dewi sudah selesai berdandan dan bertukar pakaian Harum bunga sedap malam masih kalah dengan wanginya Dewi. Sirena yang dipuja kecantikannya masih kalah dengan kecantikan Dewi pada malam ini. Pokoknya dalam penilaian Fendy, perempuan yang berdiri di hadapannya itu melebihi segala-galanya.

"Kita pergi sekarang?" tanya Dewi sembari tersenyum. Duh, senyumnya menggetarkan perasaan lelaki itu.

Fendy berdiri..."Tunggu apa lagi?" balas Fendy dengan menyodorkan sikutnya agar Dewi merengkuhnya. Dan Dewi tahu apa yang dikehendaki lelaki itu. Langsung saja Dewi merengkuh lengan Fendy. Berjalan bergandengan menuju ke mobil.

"Badanku bau karena belum mandi."

"Biarin."

"Nanti bau wewangianmu bisa hilang."

"Biarin."

Fendy tertawa renyah. Dia membukakan pintu mobil untuk Dewi. Dewi segera duduk di jok depan. Giliran dia yang membukakan pintu untuk Fendy. Fendy duduk di belakang kemudi sambil menghempas pintunya, lalu menstater mobilnya.

"Selamat malam, Papa." Perempuan itu tersenyum ceria.

"Selamat malam, Mama," balas Fendy sembari memasukkan prosneling satu. Mobil itu meluncur meninggalkan asap dan debu.

"Sejak siang papa belum pulang Ke rumah?"

"Belum. Dari studio langsung menemui mama. Papa takut kalau mama sudah berangkat bekerja. Ini kan malam terakhir buat kita, Ma."

Dewi tersenyum. Lalu dia mencium pipi lelaki itu dengan penuh kasih sayang. Fendy merasa senang.

"Tapi mama pasti kembali."

"Berapa lama mama tinggal di Surabaya?"

"Mama kembali ke Jakarta tanggal dua puluh dua."

"Berarti seminggu di sana?"

"Ya. Tanggal dua puluh dua papa mau jemput mama di stasiun Gambir?"

"Tentu. Papa akan menjemput mama."

Sekali lagi Dewi mencium pipi Fendy.

"Kita berhenti sebentar di gardu telpon ya?"

"Untuk apa?"

"Papa mau memberi tahu mbak Yeti melalui, telpon kalau malam ini papa tidak bisa pulang." Dewi mengangguk.

Fendy meluncurkan mobilnya perlahan di jalur lambat. Pandangannya mengawasi pinggiran jalan barangkali dilihat ada gardu telpon.

"Itu pa, sebelah sana."

"O ya."

Di dekat gardu telpon, Fendy menghentikan mobilnya.

"Sebentar ya, Ma."

Fendy membuka pintu mobil dan melangkah turun. Dewi memperhatikan Fendy yang berdiri menunggu. Menunggu salah seorang yang sedang telpon di dalam gardu itu. Setelah orang itu ke luar dari gardu, giliran Fendy yang masuk. Di ambil dalam sakunya uang logam lima puluhan rupiah. Empat sekaligus disediakan dekat kotak telpon itu. Diambilnya satu lalu dimasukkan ke dalam kotak itu sambil mengangkat gagang telponnya. Ujung jarinya memutar nomor telpon di rumahnya.

"Hallo, mama ya?" sapa Fendy setelah mendengar suara istrinya.

"Benar. Papa sekarang ada di mana?"

"Di studio dubbing, Ma. Papa cuma mau memberi tahu mama kalau malam ini papa tidak bisa pulang. Karena papa harus menyelesaikan bagian-bagian papa sampai selesai."

"Tapi jangan terlalu diforsir, Pa. Nanti badan papa sakit."

"Habis maunya sutradara begitu. Papa jadi harus nurut. Soalnya Sirena besok pagi akan berangkat ke London. Sedangkan pasangan dubbing papa yang paling banyak sama dia. Maka aku dan Sirena harus harus menyelesaikannya sampai besok," kata Fendy berdusta. Sementara hati kecilnya menjerit. Mengutuk kedustaannya terhadap seorang istri yang jujur dan setia.

"Kalau memang begitu apa boleh buat. Tapi papa harus bisa menjaga kondisi badan ya? Mama sedih kalau papa jatuh sakit."

"Tentu, Ma. Mama tidur yang nyenyak di rumah sama anak-anak ya? Jangan terlalu mikirin papa yang sedang dubbing nanti mama sukar tidur." Fendy berkata dengan suara serak. Dia merasa paling kejam. Paling tega membiarkan istrinya tidur seorang diri di dalam kamar. Hanya menuruti kesenangan hatinya dapat bermalam di Puncak bersama Dewi.

"Baik, Pa."

"Selamat malam, Ma. Selamat tidur."

"Malam, Pa."

Fendy meletakkan gagang telpon ke induknya Lalu dia ke luar dari gardu itu. Seorang perempuan ganti masuk ke dalam gardu. Fendy tak menghiraukan dan menuju ke mobil.

"Sudah?" tanya Dewi begitu Fendy duduk di belakang stir. Fendy mengangguk. Menstater mobilnya.

"Papa bilang kalau malam ini tidak pulang?"

"Ya." Fendy meluncurkan mobilnya. Di jalan Bypas mobil itu meluncur kencang.

"Apa alasan papa sama mbak Yeti?"

"Papa harus menyelesaikan dubbing sampai besok siang."

Dewi tersenyum senang. Fendy juga tersenyum senang. Mobil yang dikemudikan memasuki jalan Jagorawi. Jalan kenangan bagi mereka.

"Hadiah ulang tahun apa yang pantas kuberikan pada Rita?"

Pertanyaan Fendy bagai sembilu yang menggores hati perempuan itu. Betapa tidak, karena yang berulang tahun sebenarnya bukan Rita. Bukan anaknya. Melainkan Agus. Dewi telah sengaja berdusta, sebab dia takut kalau Fendy akan meninggalkannya. Selama ini dia merahasiakan kemelut hidupnya lantaran terlalu mencintai lelaki itu. Dia takut kehilangan Fendy.

"Terserah apa yang pantas dihadiahkan kepada Rita menurut papa," sahut Dewi dengan perasaan gundah.

"Boneka yang bagus?"

Dewi hanya mengangguk.

Mobil meluncur cepat. Menyusuri jalanan yang menanjak dan berbelok-belok. Angin bertiup membawa kabut yang tebal.

"Hati-hati, Pa."

"He'eh."

Fendy mengurangi kecepatan mobil. Matanya nyaris tak berkedip memperhatikan jalanan di depannya yang berbelok-belok. Kabut yang berarak tebal terasa mengganggu pandangannya. Padahal jalanan berbelok-belok menanjak. Di kiri jalanan terdapat jurang yang curam. Di kanan jalanan bukit yang ditumbuhi pepohonan teh. Perasaan Fendy menjadi lega ketika perjalanannya telah melewati puncak pas. Di kiri jalanan banyak terdapat villa. Lalu Fendy memasukkan mobil ke halamannya. Seorang lelaki penjaga villa itu langsung menghampirinya.

"Mau pakai villa, Tuan?" tanya lelaki itu.

"Ya. Tolong bukakan garasinya."

"Baik, Tuan." Lelaki itu berlari ke pintu garasi. Dengan cepat dia membukanya. Kemudian mobil Fendy masuk ke situ. Keadaan di dalam villa itu sangat bersih dan rapi. Seperangkat perabotannya yang mengisi di setiap ruang sangat apik. Modelnya ukir-ukiran Jepara. Lalu Fendy dan Dewi menghenyakkan pantatnya di kursi itu. Pelayan villa dengan sopan terbungkuk-bungkuk masuk.

"Mau pesan makanan atau minuman apa, Tuan?"

"Mau pesan apa, Ma?"

"Mama ingin pesan sayur asam dengan ikan mas panggang. Papa suka?"

"Okey. Minumnya?"

"Teh hangat saja."

Fendy memesan sesuai permintaan Dewi kepada pelayan itu. Pelayan itu kemudian terbungkuk-bungkuk pergi. Dewi langsung memeluk Fendy dan menghujani ciuman. Lalu keduanya saling bergumul di atas kursi panjang itu. Saling berciuman untuk melepaskan kerinduannya. Ciuman mereka terhenti. Sama-sama terengah-engah. Saling berpandangan mesra.

"Empat hari tidak bertemu rasanya setahun"... Kata Dewi.

"Apalagi seminggu bisa serasa sewindu"...Balas Fendy.

"Kalau mama tidak kembali ke Jakarta lagi?"

"Akan papa susul."

Dewi tersenyum. Dikecupnya pipi lelaki itu..."Mama jadi malas pulang ke Surabaya."

desah perempuan itu.

"Jangan. Kau harus pulang demi Rita. Kasihan dia kalau merayakan pesta ulang tahun tanpa kehadiran mamanya."

Perempuan itu menarik napas panjang. Seolah-olah ingin mengurangi beban keresahan yang menindih dadanya. Keresahan yang disebabkan oleh kedustaannya. Terdengar suara ketokan pintu. Bergegas mereka kembali duduk seperti semula.

"Masuk," seru Fendy.

Dua orang pelayan masuk mengantarkan pesanannya. Lalu hidangan itu diatur di meja makan dengan rapi. Fendy mendekati. Pelayan itu menyerahkan nota sewa villa beserta hidangan yang dipesan. Fendy membayarnya. Kedua pelayan itu mohon diri. Fendy mengunci pintu samping.rapat-rapat.

"Ayo Ma, kita makan malam dulu." ajak Fendy.

Dewi bangkit dan menuju ke ruang makan. Dia menarik kursi duduk bersebelahan dengan Fendy. Melayani lelaki itu dengan senang hati. Lalu keduanya bersantap malam dengan perasaan bahagia.

"Apakah kita akan dapat selamanya begini?" Gumam Fendy.

"Maksud papa?"

"Berdua dalam suka dan duka. Mengarungi hidup bersama."

Dewi terdiam. Dapatkah? Ya, dapatkah apa yang baru saja diucapkan Fendy? Sedangkan di Surabaya sudah menanti orang-orang yang mencintainya. Agus telah berhasil mempengaruhi orang tuanya untuk menerima Dewi sebagai menantu. Dan lelaki itu sangat mencintainya. Rita yang selama ini mendambakan perhatian dan kasih sayangnya. Serta seluruh keluarganya yang tidak menghendaki dia bekerja di Jakarta. Semua nya itu menjadi perintang yang kukuh bagi diri nya untuk mewujudkan hidup bersama Fendy Termasuk istri lelaki itu.

"Kenapa diam, Ma?"

"Ah, tidak kenapa-kenapa." sahut Dewi berusaha tersenyum. Sebenarnya perasaan perempuan itu kacau balau. Tapi Dewi berusaha menciptakan suasana malam itu begitu mesra dan harmonis. Membuang segumpal keresahan dan kekacauan dalam perasaannya. Bukankah ini malam perpisahan? Siapa tahu aku tidak dapat kembali ke Jakarta lagi. Siapa tahu sesampainya aku di Surabaya terjadi hal-hal yang diluar dugaanku. Maka akan kuukir kenangan yang paling indah bersama lelaki yang paling kucintai ini. Dan keinginan Dewi benar-benar dilakukan. Malam itu dia berusaha membuat kenangan yang teramat manis. Teramat indah. Seolah-olah seluruh kemesraan dan kehangatan diberikan kepada Fendy. Bermuara di ranjang dalam pelukan erotis. Terlalu berlebihan apa yang dilakukan Dewi agaknya. Ya, walaupun berlebihan telah membuat Fendy terbuai di awang-awang. Dan ibarat dia menghadapi kuda binal telah mampu menunjukan ketangguhannya. Ketangguhannya sebagai penunggang kuda yang lihay.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Siang itu dengan tubuh letih Dewi turun dari mobil. Fendy memperhatikan dengan pancaran mata penuh harap.

"Papa mau jemput mama jam berapa nanti?" Tanya Dewi sambil berdiri membungkuk di jendela mobil. Memandang Fendy yang duduk di belakang kemudi.

"Jam tiga papa akan menjemputmu. Okey?"

"Okey. Daaaa."

"Daaaa." Fendy meluncurkan mobilnya. Terlampau indah dan berkesan kenangan semalam, pikir Fendy sambil mengemudikan mobilnya di jalan raya. Dia sedang menuju ke rumahnya. Begitu mobilnya hendak memasuki halaman rumah, kedua anaknya berlari-lari ke luar dari dalam rumah. Keduanya bersorak-sorak gembira di teras rumah.

"Papa datang. Papa datang," teriak kedua anak itu sambil berjingkrak-jingkrak. Yeti ikut ke luar dari dalam rumah. Parno menutup kembali pintu pagar halaman. Fendy menghentikan mobilnya di depan pintu garasi dan bergegas turun setelah mematikan mesinnya. Kedua anaknya langsung berhambur ke arahnya. Dino di tangan kanan dan Ria di tangan kiri ayahnya. Kedua anak itu bermanja sambil berayun di lengan Fendy.

"He! Ayo turun! Papa kan masih capai"... Perintah Yeti yang melihat suaminya nampak keletihan. Tapi kedua anak itu tetap saja membandel. Tetap bergayut di lengan ayahnya yang berjalan masuk ke rumah. Dan Yeti cuma menggelengkan kepala mengikuti di belakang suaminya.

"Mana oleh-olehnya, Pa?" pinta Dino.

"Iya, mana oleh-olehnya permen buat Ria? Papa ngebohong melulu sama kita," cetus Ria mengikuti sampai ayahnya duduk di kursi.

Fendy tersenyum. Dielus-elusnya rambut kedua anaknya.

"Dino sama Ria tidak boleh mengganggu papa yang capai sehabis kerja lembur ya? Sana main dulu sayang"... Bujuk Yeti dengan lemah lembut.

Kedua anak itu berlalu sambil menggerutu. Fendy jadi tersenyum. Senyumnya itu bukan karena mendengar gerutu anaknya, melainkan karena ucapan Yeti. Istrinya benar-benar percaya kalau tadi malam dia kerja lembur. Memang kerja lembur, tapi bukan lembur pengisian suara film. Namun kerja lemburnya di atas tempat tidur dengan perempuan lain.

"Papa capai?" tanya Yeti sambil memijit-mijit bahu suaminya.

"Tentu. Semalaman papa tidak tidur."

"Penyakit papa tidak kumat?"

"Kumat juga, tapi berusaha papa tahan."

"Tapi sudah selesai kan dubbingnya?"

Fendy mengangguk.

"Nah, papa istirahat sekarang. Mama panggil tukang pijit ya?"

"Tidak usah. Jam tiga papa ada urusan lagi."

"Papa kan masih capai. Apakah urusan itu tidak bisa ditunda besok?"

"Tidak bisa, Ma. Urusan itu penting sekali."

Yeti mendesah. Dia merasa kasihan melihat suaminya sibuk mengurus pekerjaan tanpa mengenal istirahat yang cukup.

"Makanya waktu dua jam bisa papa gunakan untuk tiduran di kamar. Ayolah, Pa," ajak Yeti sambil merengkuh lengan suaminya. Lalu membimbingnya masuk ke dalam kamar. Fendy berbaring di atas tempat tidur. Yeti melepaskan pakaian di tubuh suaminya.

"Pakaian ini minta ampun baunya," kata Yeti sembari nyengir.

Fendy tersenyum. Untung pakaian itu kotor dan bau. Kalau tidak akan ketahuan bau parfum perempuan lain. Dan tentunya Yeti akan menaruh perasaan curiga.

"Papa sudah mandi?"

"Belum."

"Mau mandi pakai air hangat?"

Fendy menggeleng..."Nanti saja kalau papa mau pergi baru mandi."

"Mama siapkan makan siang ya?"

"Papa sudah makan waktu mau pulang dari studio." Nyeri perasaan Fendy ketika mengucapkan itu. Sebab dia berdusta lagi pada istrinya. Bukannya di studio dia makan, melainkan di sebuah restauran khas Sunda bersama Dewi.

"Ya sudah. Waktu dua jam gunakanlah untuk tidur."

Lalu Yeti mengenakan pakaian tidur di tubuh suaminya. Kemudian menidurkan suaminya seperti seorang ibu yang menidurkan anaknya yang masih kecil. Keletihan memang gampang membuat orang mengantuk. Apalagi seperti Fendy yang semalaman bagai penunggang kuda yang lihay. Memerlukan ketangguhan menjinakkan kuda betina yang binal. Dan seluruh tenaganya terkuras di situ. Sekarang, dia bagai pohorv pisang yang terkulai di atas tempat tidur. Mendengkur lagi. Rasanya baru sekejap dia tertidur ketika jemari tangan yang halus dan lembut mengusapusap kulitnya. "Pa, jadi pergi tidak?" terdengar suara perempuan pelan sekali.

Fendy membuka kelopak matanya. Lalu diamati wajah istrinya yang tersenyum. Sentuhan halus membelai keningnya.

"Jam berapa sekarang, Ma?"

"Jam tiga kurang sepuluh menit."

Bersejingkat lelaki itu bangun dari tidurnya. Lalu buru-buru turun dari tempat tidur.

"Sudah kusiapkan air hangat di kamar mandi."

Fendy mengangguk. Dia berjalan menuju ke kamar mandi. Dari handuk sampai celana dalam sudah disediakan oleh istrinya di situ. Dan tubuhnya yang letih menjadi segar setelah diguyur air hangat. Selesai mandi istrinya tetap setia menunggu sampai dia berpakaian. Perempuan itu membetulkan pakaiannya bila ada yang kurang rapi. Menyiapkan sepatu yang hendak dipakainya..."Apakah nanti malam papa tidak pulang lagi?" Tanya Yeti sambil membetulkan kragh kemeja suaminya.

"Sore papa sudah pulang. Cuma mau menemui tamu di Mandarin hotel."

"Minum dulu kopinya."

Fendy berjalan ke luar kamar diikuti Yeti. Diatas meja ruang tengah telah tersedia secangkir kopi hangat. Lalu Fendy meneguk minuman itu. Dadanya terasa segar.

"Anak-anak di mana?"

"Sedang main di taman barangkali."

"Papa pergi dulu, Ma."

Yeti mengantar suaminya sampai di teras?..Fendy naik ke dalam mobil lalu menstater mesinnya. Pamo buru-buru membuka pintu pagar halaman. Dengan lambaian tangan, Yeti mengiringi kepergian suaminya. Ternyata Dewi sudah menunggu. Perempuan itu sudah berdandan rapi. Namun menyambut kedatangan Fendy dengan wajah tidak ceria. Masih terlihat sisa-sisa kemarahan di wajah perempuan itu. Dan kelihatan lusuh.

"Sudah siap mau berangkat?" tanya Fendy.

"Ya." Lalu Dewi berpamitan pada Tika.

Setelah itu berjalan di sebelah Fendy yang menjinjing tasnya. Memang tidak terlalu banyak barang yang dibawa Dewi. Cuma sebuah tas koper dan tas plastik yang di dalamnya berisi oleh-oleh buat Rita. Ada juga sebuah boneka yang bagus pemberian Fendy.

"Rasanya aku enggan untuk pulang ke Surabaya." kata perempuan itu sambil mendesah. Di saat mobil yang dikemudikan Fendy meluncur di jalan raya.

"Demi Rita, mama harus pulang."

Dewi menghembuskan napas keras-keras. Hatinya pedih. Tak ingin. Tak ingin. Tak ingin pulang ke Surabaya. Tapi ah, bagaimana jadinya kalau tidak pulang ke Surabaya. Pasti akan mengecewakan Agus. Perjuangan dan pengorbanan lelaki itu telah disia-siakan. Sedangkan lelaki itu akan merayakan pesta ulang tahunnya. Apa salahnya kalau aku menyenangkan hatinya sesekali. Sebagai imbalan atas pengorbanannya. Sementara di belahan perasaannya ada keraguan. Ada keresahan. Sebab dia habis menerima ancaman dari Resti. Ya, sebelum berangkat tadi dia bertengkar dengan Resti. Pokok timbulnya pertengkaran lantaran Sunarto. Lelaki itu ketika ditelpon oleh Dewi telah menanggapi dengan sinis. Bahkan sempat mengucapkan selamat berbahagia kepada Dewi yang akan menjalani pertunangan dengan Agus. Tak salah lagi. Pasti Resti telah membeberkan rahasia hidupnya kepada lelaki itu. Dan karena itulah Dewi mendamprat Resti. Memaki-maki Resti, sehingga timbul pertengkaran. Lalu Resti mengancam akan memperpanjang persoalan itu sesampainya di Surabaya. Maka Resti terlebih dulu pergi meninggalkan tempat kost. Mereka batal pulang bersama-sama.

"Kenapa melamun, Ma?"

"Ah, tidak." Dewi berusaha tersenyum.

Dipandangnya wajah Fendy. "Papa baik-baik di Jakarta ya? Jangan sering keluyuran malam. Kasihan mbak Yeti dan anak-anak."

"Tentu. Dewi juga baik-baik di Surabaya."

Dewi mengangguk...

"Kalau misalnya ada sesuatu telponlah papa."

Fendy memberikan salah satu nomor telpon di rumah Martinus. Martinus merupakan sahabat kentalnya. "Dua hari sebelum mama berangkat ke Jakarta telponlah dulu."

"Ini nomer telpon siapa?" tanya Dewi sambil memperhatikan kartu nama yang diberikan Fendy.

"Martinus itu sahabat kental papa. Jadi lebih enak kalau kita berbicara di sana. Papa tunggu telpon dari mama tanggal dua puluh ya?"

"Jam sepuluh siang mama akan telpon papa."

"Sungguh lho. Papa akan menunggu telpon mama di rumah Martinus."

"Tapi...."

Rambu lalu lintas di jalan Gunung Sahari menyala merah. Fendy menghentikan mobilnya. "Tapi kenapa?"

"Kalau misalnya mama tidak menelpon papa pada jam dan hari itu, berarti mama mengalami hal yang diluar dugaan." Alasan itu dikemukakan oleh Dewi lantaran ingat ancaman Resti. Cemas juga perasaannya.

Fendy termangu..."Mengalami hal di luar dugaan? Kira-kira itu apa?"

"Tunggu sajalah kabar dari mama."

"Mama mau kirim surat?"

"Kalau memang harus demikian."

Suara klakson mobil yang di belakang mengagetkan Fendy. O, rambu lalu lintas sudah menyala hijau. Maka dia segera tancap gas. Mobil meluncur lagi.

"Ada apa sebenarnya? Terus teranglah pada papa"... Kata Fendy penuh harap.

"Tidak ada apa-apa. Ini cuma perasaan mama saja."

Fendy menarik napas panjang dalam desah. Adakah kemelut dalam hidupnya? Aku rasa ada. Tapi dia selalu merahasiakan. Tak mau mengutarakannya. Tapi biarlah. Yang penting selama ini dia baik terhadapku. Aku membutuhkannya. Aku mencintainya.

"Dewi, aku harapkan kau kembali ke Jakarta lagi. Jangan biarkan papa di sini kesepian tanpa mama."

"Mama pasti kembali."

Mobil itu masuk ke tempat parkir di samping gedung stasiun kereta api. Fendy dan Dewi bergegas turun. Keduanya berjalan bergandengan menuju loket penjualan karcis. Di depan loket terpampang tulisan 'Karcis habis'. Fendy mengeluh. Tapi dia malah dikerubungi para calo. Mereka menawarkan karcis. Permainan macam apa ini? pikir Fendy. Apa gunanya spanduk-spanduk yang bertuliskan : Jangan membeli karcis pada calo. Apa gunanya di depan loket di pasang tulisan 'Karcis habis?'

Fendy terpaksa membeli karcis pada calo itu. Harganya cukup mahal lantaran dia dikenal sebagai bintang film top. Menjadi pusat perhatian seluruh orang di stasiun kereta api itu. Yah, karena gengsi karcis itu dibelinya juga dari tangan calo. Meskipun calo itu mengambil karcis itu dari loket melalui pintu belakang. Dengan sembunyi-sembunyi. Dan hal itu sudah bukan rahasia lagi. Kayaknya cara dan permainan ini sudah membudaya di tanah air. Menyedihkan, memang. Dewi tak mau terlepas menggandeng Fendy. Mereka berjalan menuju ke peron sepur sebelas. Gerak-gerik Fendy menjadi perhatian semua orang. Malah ada beberapa gadis minta difoto bersama dengannya. Minta tanda tangannya. Semua dilayani oleh Fendy dengan ramah. Tak ingin mengecewakan penggemarnya. Sementara Dewi merasa bangga bukan saja sebagai penggemar, melainkan sudah memiliki hati dan perasaan top star itu.

Gerbong kereta api Mutiara bergerak mundur di sepur sebelas. Para penumpangnya bergegas naik. Fendy masih nampak sibuk melayani para penggemarnya. Dewi merengkuh lengan Fendy.

"Ayo, Pa. Cari tempat duduknya dulu."

"Ng, maaf ya. Apabila ada yang belum mendapat tanda tangan saya, kapan waktu kita masih bisa bertemu lagi. Daaaa," kata Fendy kepada seluruh penggemarnya.

"Daaaa," balas mereka secara beramai-ramai. Namun ada juga yang mengeluh karena belum mendapat tanda tangan top star itu. Fendy dan Dewi naik ke dalam gerbong. Mereka mencari nomor tempat duduk sesuai dengan karcis. Di dalam gerbong pun para penumpangnya tak hentinya memperhatikan Fendy.

"Di sini tempat duduknya, Ma."

"Ya."

Fendy menaruh koper Dewi di tempat barang. Lalu dia duduk di kursi sebelah Dewi yang masih kosong. Kedua jemari tangan mereka saling meremas. Seolah-olah mereka akan berpisah sekian lama.

"Tanggal dua puluh mama jangan lupa interlokal papa ya?" kata Fendy penuh harap.

"Jam sepuluh mama akan interlokal.".

"Salamku untuk Rita.".

Dewi mengangguk. Sementara pengeras suara memberi tahu bahwa kereta api Mutiara akan segera diberangkatkan. Fendy berdiri dari tempat duduknya diikuti Dewi. Lalu mereka berjalan kepintu kereta..

"Selamat jalan, Ma." Fendy mencium kedua pipi perempuan itu. Dewi membalasnya. Bukan cuma membalas dengan mencium pipi, melainkan melumat bibir Fendy. Memeluk tubuh lelaki itu erat-erat..

Cuma sesaat ciuman itu, tapi membuat Fendy terkesan. Sedangkan di dalam hati Dewi berkata lain. Mungkinkah ini perjumpaanku yang terakhir dengan lelaki ini? Lelaki yang sangat kucintai? Kalau memang demikian, apa salahnya kucium dia sekali lagi? Maka Dewi mencium bibir lelaki itu sekali lagi. Wah, persis adegan di dalam film. Tanpa malu-malu berciuman di dekat pintu gerbong kereta. Namun Dewi tak ambil pusing ada beberapa lelaki dan perempuan menyaksikannya. Pluit bagai menjerit. Ciuman mereka terlepas..

"Selamat tinggal. Pa. Jangan sering sakit sakitan lagi ya?" kata Dewi dengan kedua mata berkaca-kaca. Kepingin rasanya dia menangis. Kereta bergerak. Fendy melompat turun. Lantas dia melambaikan tangan mengiringi lajunya kereta. Dewi membalasnya sambil berdiri di pintu. Semakin jauh kereta itu meluncur. Hilang sudah lambaian tangan perempuan itu. Dan Fendy melangkah gontai meninggalkan peron stasiun. Suara laju kereta api semakin jauh. Tak terdengar lagi. Maka hidup Fendy menjadi terasa sepi, meskipun jadi pusat perhatian orang banyak. Perpisahan memang selalu menimbulkan perasaan kehilangan dan kesepian. Apalagi berpisah dengan orang yang paling dicintainya. Seolah-olah dalam hidupnya cuma sendiri. Dan didalam mobil yang meluncur memang Fendy sendiri. Di sebelahnya tidak lagi duduk Dewi yang selalu mesra, selalu sayang kepadanya. Rasanya dia kehilangan ucapan "Selamat siang, Pa." atau "Selamat malam, Pa." yang diucapkan dengan suara lembut dan merdu oleh perempuan itu.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Seorang laki-laki berbadan gemuk duduk dikursi panjang. Sebentar-sebentar melihat jarum jam tangannya, lalu mendesah karena sudah tak sabar menunggu kereta api datang. Laki-laki itu tidak tergolong jelek. Wajahnya cukup simpati dan potongan tubuhnya gagah. Ada kumis tebal di atas bibirnya. Punya mata bagai elang. Kelihatan angker. Sudah satu jam laki-laki itu menunggu di stasiun Pasar Turi. Nampak dia sudah tidak sabar lagi ingin ketemu dengan Dewi. Sebulan mereka tidak saling ketemu, sehingga rasa rindu di dalam dada lelaki itu nyaris mau meledak. Pengeras suara memecah suasana. Berdebar-debar jantung lelaki itu karena pengeras suara itu memberi tahu, kalau kereta api Mutiara akan segera tiba. Bersejingkat dia bangun dari tempat duduknya. Membuang puntung rokok yang nyaris habis. Lalu dia berdiri di pinggir jalan kereta api. Lokomotip kereta api Mutiara sudah menampakan mukanya. Disusul oleh suara signalnya yang menggetarkan jantung. Kereta api itu semakin pelan dan berhenti. Para penjemput saling berlarian ke sana ke mari. Sama halnya dengan lelaki yang sejak tadi menunggu kereta itu datang.

"Dewi!" panggil lelaki itu sambil menghampiri seorang perempuan yang baru saja turun dari gerbong. Dewi tersenyum. Lalu keduanya saling berpelukan sesaat.

"Kau baik-baik saja?" tanya lelaki itu.

"Seperti yang kau lihat. Dan kau bagaimana?"

"Sama-sama sehat walafiat."

Agus membawakan tas Dewi. Mereka berjalan sambil bergandengan ke luar dari gedung stasiun Pasar Turi. Sengatan sinar matahari pagi terasa lain dibandingkan dengan Jakarta. Di sini rasanya lebih menyengat. Itu yang dirasakan Dewi ketika sampai di tempat parkir. Dan Agus membukakan pintu mobil untuk perempuan yang sangat dicintainya itu. Dewi duduk di jok depan. Agus duduk dibelakang stir, lalu menstater mobilnya. Mobil Agus memang kalah mewahnya dibandingkan mobil Fendy. Sekarang mobil yang Dewi naiki cuma Peugeot keluaran tahun 1975.

"Senang tinggal di Jakarta?" tanya Agus sambil meluncurkan mobil.

"Senang sekali. Kenapa Rita tidak diajak menjemputku?"

"Dia kan masuk sekolah."

"O ya."

"Resti tidak ikut pulang bersamamu?"

"Kau lihat kan aku pulang sendiri. Itu berarti Resti tidak ikut pulang bersamaku. Dan kalau kau sempat ketemu dia, jangan mudah percaya apa yang diucapkannya."

"Kalian bertengkar?"

Dewi mengangguk. Mobil terus meluncur di jalan Tunjungan. Cukup ramai kendaraan di jalan searah itu. Tapi belum mampu mengalahkan kepadatan kendaraan di kota Metropolitan.

"Soal apa kalian bertengkar?"

"Dia menuduhku yang tidak-tidak."

"Maksudnya apa?"

"Ya seperti dia. Kau tentunya kenal Resti bagaimana orangnya."

Agus mendesah. Membelokkan mobilnya ke Jalan Opak.

"Yaah, aku tahu. Aku kan sudah sering melarangmu supaya menjauhinya, tapi kau tetap tak mau menurut. Malah nekad pergi ke Jakarta dengan Resti."

"Kau percaya, kalau aku melakukan pekerjaan seperti Resti?"

Agus menginjak rem. Mobil mereka telah sampai di depan rumah Dewi..."Tidak. Aku tidak mudah percaya dengan omongan orang lain. Karena selama ini aku menilaimu bukan perempuan gampangan. Yuk, kita turun."

Dewi membuka pintu mobil dan melangkah turun. Bagaimana tidak percaya, selama Dewi menjalin hubungan dengan Agus selalu menunjuk kan kepribadian yang baik. Sekalipun dia seorang janda, tapi bukan perempuan yang gampangan. Itu sering dibuktikan setiap kali mereka pacaran. Dewi melayani Agus dalam batas-batas tertentu. Cuma sebatas ciuman, tidak lebih dari itu. Sering juga Agus membawanya ke Kaliurang atau ke Tretes. Namun Dewi tetap menolak kalau diajak tidur seranjang. Dia mau menuruti kemauan lelaki itu, asalkan sudah resmi menikah. Dinilai dari keteguhan hati Dewi, maka Agus percaya kalau Dewi bisa menjaga diri baik-baik. Tidak sampai melakukan perbuatan nista. Tapi apa kenyataannya? Dewi yang tetap dianggap Agus memiliki keteguhan iman, ternyata di luar sepengetahuannya telah melakukannya dengan Fendy. Agus tetap beranggapan bahwa Dewi tetap Dewi yang sejak pertama dikenalnya. Dan itulah kemenangan Dewi, karena telah mampu memberi kesan yang baik kepada Agus. Kedatangan Dewi disambut oleh ayah dan ibunya. Kali ini Dewi menjumpai kelainan pada sikap kedua orang tuanya itu. Kalau dulu cuma masa bodoh, tapi kini penuh perhatian dan kasih sayang. Dia merasa diharapkan sekali kedatangannya.

"Siang amat sampainya, Dewi," ujar ayahnya.

"Keretanya terlambat, Yah."

Dewi bersama ibunya berjalan masuk ke kamar. Sedangkan Agus ngobrol di ruang tamu dengan ayah Dewi. Kelihatan akrab sekali. Seperti anak sedang ngobrol dengan ayahnya. Dewi juga sedang ngobrol dengan ibunya di kamar. Dia sambil berbaring melepaskan lelah mendengarkan ucapan ibunya.

"Agus telah berterus terang pada ayah dan ibu ingin melamarmu. Selama kau tinggal di Jakarta, setiap dua hari sekali datang kemari. Kadang-kadang mengajak Rita pergi ke tempat-tempat rekreasi. Dia begitu sayang dan penuh perhatian pada Rita."

Dewi tak bersuara. Dia memijit-mijit keningnya yang dirasa pening.

"Ayah dan ibu sangat senang kalau kau mau menerima lamaran Agus. Dia bakal menjadi suamimu yang baik. Karena keluarganya juga dari keturunan orang baik-baik pula."

"Tapi orang tuanya belum mengetahui statusku janda, Bu. Belum mengetahui kalau aku sudah punya anak perempuan yang berumur tujuh tahun."

Sekarang giliran ibunya yang terdiam..."Selama ini kami memang merahasiakan hal itu. Dan sejauh mana ibu tidak mengetahui keadaan orang tua mas Agus. Mereka adalah keturunan priyayi. Mungkin bukan seperti kita, kalau anaknya sudah sama-sama mencinta, orang tua tinggal merestui. Mereka nampaknya kurang menyukai kalau anaknya menikah dengan seorang janda."

"Semua tinggal kemauan Agus," gumam ibunya.

"Memang, tapi kalau Dewi tidak disukai orang tuanya, bukankah itu sama saja Dewi minum racun?"

"Jadi maumu bagaimana?"

"Jika mas Agus benar-benar mau menikahi Dewi, dia harus bisa menundukkan hati orang tuanya. Agar mereka benar-benar mau menerima Dewi dengan apa adanya. Dan diterima bukan hanya di luarnya saja. Juga di dalam hati dan kehidupan mereka. Itu yang Dewi inginkan."

Celepak-celepak suara sandal kian mendekat. Lalu ayah Dewi melongok ke kamar itu.

"Ealaaaah, enak-enakan ngobrol di sini. Kasihan tuh nak Agus. Ayo temani dia di ruang tamu, Dewi."

Dewi bermalas-malasan turun dari tempat tidur..."Iya, temanilah dia ngobrol." Ibunya menimpali.

Dewi menuju ke ruang tamu. Begitu muncul ditanya Agus... "Capai?"

"He'eh." Dewi menghenyakkan pantatnya di kursi.

"Kalau begitu istirahat saja dulu. Besok malam datanglah ke pesta ulang tahunku." Agus bangkit dan mencium pipi Dewi. "Aku pulang ya?"

Dewi mengangguk. Lalu dia berdiri dan mengantar Agus sampai di teras rumah. Lambaian tangannya mengiringi kepergian lelaki itu.


~~~💋💔💓💔💋~~~


Tamu sudah mulai berdatangan, walau tidak semeriah pesta perkawinan. Tapi pesta ulang tahun Agus yang hadir tentunya teman-teman sekantor dan teman dekatnya. Di samping pesta ulang tahun, sekaligus semacam pengukuhan Agus sebagai direktur perusahaan. Perusahaan yang selama ini dikelola ayahnya akan dilimpahkan kepada Agus. Tentu saja para relasi perusahaan itu ikut hadir untuk saling berkenalan dengan Agus yang dikukuhkan menjadi direktur utama. Sulistiawan dan istri memperkenalkan para relasi pada anaknya. Agus menyalami para relasi yang diperkenalkan oleh kedua orang tuanya. Di samping nyonya Sulistiawan berdiri seorang gadis manis. Gadis itu bernama Rury yang selama ini dekat sekali dengan kedua orang tua Agus. Rambutnya yang terurai sebatas punggung, hitam mengkilat. Kulitnya kuning langsat dan kelihatannya ramah sekali. Kalau tersenyum aduhai manisnya. Rury adalah gadis pilihan yang dicalonkan oleh orang tua Agus. Namun Agus lebih cenderung memilih Dewi ketimbang gadis itu. Memilih sebagai pendamping hidupnya. Kecenderungan itu kian terlihat ketika Dewi muncul di antara para tamu yang hadir. Agus nampak gembira menyambut kedatangan perempuan itu.

"Selamat berulang tahun, Mas. Semoga panjang umur dan sukses dalam segal hal." Dewi memberi ucapan selamat sambil menjabat tangan Agus. Lalu dia mencium kedua pipi lelaki itu.

"Terima kasih. Dewi." Agus berkata pelan di dekat telinga perempuan itu. Lalu dia mengajak Dewi berkumpul dengan orang tuanya. Dewi memberi salam kepada orang tua Agus. Sulistiawan mengangguk ramah, sedang nyonya Sulistiawan cuma tersenyum kecil. Sepintas saja memperhatikan Dewi. Lebih semarak memperhatikan semua tamu yang hadir di ruangan itu. Dan lebih senang berbicara dengan Rury daripada bersikap ramah kepada Dewi. Dewi jadi merasa tak nyaman. Kikuk dan tak bebas bergerak. Pokoknya menimbulkan perasaan tak senang. Tamu-tamu telah berkumpul di ruang pesta. Kiranya tak ada tamu yang perlu ditunggu lagi. Semua relasi dan karyawan kantor sudah lengkap. Maka Sulistiawan segera memulai acara itu. Lelaki berbadan gemuk itu berpidato ala kadarnya, sementara Agus yang mengenakan pakaian stelan jas hitam berdiri di depan kue ulang tahun. Dua buah lilin menyerupai angka tiga dan satu berjejer di atas kue itu. Di sampingnya berdiri Dewi yang sejak tadi tertunduk saja. Nyonya Sulistiawan dan Rury juga ada di sebelah Agus. Kedua perempuan itu merasa kurang menyenangi kehadiran Dewi. Dari lirikan kedua perempuan itu pada Dewi sudah bisa dinilai tak menyenangkan. Selama Sulistiawan berpidato, tak pernah sedikitpun Dewi mengangkat mukanya. Dia selalu tertunduk. Suasana di sekitarnya dirasa mengekang kebebasannya. Apalagi tanggapan nyonya Sulistiawan begitu dingin padanya. Membuat perasaan Dewi ingin secepatnya meninggalkan tempat itu. Sulistiawan telah menyelesaikan pidatonya. Dewi tersentak oleh tepuk tangan para tamu. Lalu dia jadi ikut bertepuk tangan, supaya tidak menimbulkan kesan buruk. Kesan tidak menghormati keluarga yang sedang berbahagia. Apalagi gerak-geriknya selalu diawasi oleh nyonya Sulistiawan dan Rury. Memang sungguh tidak menyenangkan. Sekarang giliran Agus yang berpidato. Suaranya begitu mantap. Matanya mengedarkan pandang ke seluruh tamu-tamu membuat dia nampak berwibawa. Namun sesekali dalam pidatonya mengajak bercanda. Para tamu jadi tertawa. Dewi terpaksa ikut tertawa, walau dia tidak tahu apa yang mesti ditertawakan. Apa yang diucapkan Agus sehingga para tamu tertawa? Karena selama Agus berpidato, pikiran Dewi melayang-layang tak karuan. Perasaannya gundah. Akhirnya pidato Agus selesai. Para tamu bertepuk tangan. Dewi tidak ketinggalan ikut bertepuk tangan. Lalu para tamu secara bersamasama menyanyikan lagu "Selamat ulang tahun".

Suasana rang pesta jadi meriah sekali. Setelah berulang-ulang para tamu menyanyikan lagu 'Selamat ulang tahun', tibalah saatnya peniupan lilin yang menyerupai angka tiga puluh satu itu. Huuuup! Agus meniup kedua lilin itu. Kedua lilin itu pun mati. Dan para tamu bertepuk tangan lagi. Sulistiawan memeluk Agus.

"Jadilah seorang direktur yang cekatan, Nak."

"Terima kasih, Pi."

Nyonya Sulistiawan yang giliran memeluk anaknya..."Semoga kau sukses dalam segala hal. Nak. Panjang umur dan hidup berbahagia." Nyonya Sulistiawan mencium kedua pipi anaknya.

"Terima kasih, Mi."

Rury segera memeluk Agus. Mencium kedua pipi lelaki itu mesra sekali. Dewi tertunduk. Bahkan memejamkan matanya.

"Selamat ulang tahun, Mas. Selamat atas dikukuhkannya mas Agus sebagai direktur dan semoga sukses dalam segala hal," kata Rury. Agus cuma mengangguk. Matanya melirik Dewi yang sedang tertunduk. Begitu Rury melepaskan pelukannya, Agus menghadap ke arah Dewi.

"Dewi," panggil Agus.

Dewi baru mengangkat kepalanya. Memberanikan diri memandang lelaki yang berdiri di hadapannya itu..."Se... selamat ulang tahun. Mas. Semoga panjang umur dan sukses selalu," kata Dewi dengan terputus-putus. Dia berdiri kaku seperti patung.

Bukan Dewi yang memeluknya. Bukan Dewi yang mencium kedua pipi lelaki itu. Melainkan yang memeluk dan mencium pipinya malah Agus. Lelaki itu memeluk Dewi dan mencium kedua pipi perempuan itu dengan lembut. Mesra.

"Kenapa kau kelihatan kurang bahagia. Dewi?" tanya Agus lirih di telinga perempuan itu.

"Aku... aku, bahagia." Dewi berkata gugup.

"Agus, ayo cepat potong kuenya," perintah nyonya Sulistiawan. Dewi mendorong dada Agus supaya pelukan lelaki itu terlepas. Lalu Agus memutar tubuhnya. Mengambil pisau dan memotong kue itu. Bersamaan dengan itu, lampu di ruang itu padam. Semua bertepuk tangan dibarengi dengan suara musik gembira yang dimainkan group band. Suasana di dalam rumah Sulistiawan jadi santai. Musik mulai mengiringi orang-orang berdansa. Agus menarik lengan Dewi ke lantai dansa, tapi perempuan itu menolak. Dia lebih senang duduk di samping rumah. Agus terpaksa meninggalkan ruang pesta dan mengikuti perempuan itu. Mereka duduk di kursi menghadap ke taman.

"Mamimu nampaknya tidak menyukai kehadiranku," kata Dewi dengan wajah tertunduk murung. Duduknya tak enak karena gelisah.

"Ah, tidak. Kurasa biasa-biasa saja."

"Tapi Dewi merasakannya. Sungguh, merasakan kalau mamimu tak menyukai kehadiranku di pesta ini."

Agus memeluk bahu Dewi. Dia berusaha menentramkan perasaan perempuan itu yang nampak gelisah. Lalu dibelai rambutnya..."Jangan rusak kebahagiaan kita malam ini. Dewi percayalah padaku, kalau mami sudah merestui hubungan kita. Selama kau ada di Jakarta, kami sekeluarga sudah berembuk mengenai pertunangan kita. Dan kedua orang tuaku tidak mengutarakan apa-apa. Itu berarti mereka setuju."

"Lantas mengenai Rury?"

"Aku mengatakan terus terang sudah punya pilihan hati. Kaulah orangnya."

"Apakah mas Agus juga sudah menceritakan keadaanku yang sebenarnya?"

"Belum."

"Berarti hubungan kita masih ada perintang. Tidak seperti apa yang aku bayangkan, kalau mas Agus sudah berterus terang mengenai keadaanku. Dewi ingin semuanya jelas. Dewi ingin tahu apakah keadaan Dewi yang sudah janda dan beranak satu ini dapat diterima oleh keluarga mas Agus. Itu saja yang ingin Dewi tahu. Kepastian itu yang Dewi inginkan," kata Dewi dengan dada naik turun lantaran napasnya tersendat-sendat. Berusaha mengendalikan emosinya.

"Sabar. Sabar. Sedikit demi sedikit aku akan terus berusaha memberikan pengertian pada orang-tuaku. Supaya mereka mau mengerti perasaanku, bahwa gadis ataupun janda bukan ukuran kebahagiaan hidup berumah tangga. Tapi yang terpenting adalah hati dan perasaan, di mana keduanya sudah saling mencintai dan menyayangi."

Dewi tertunduk diam.

"Satu bukti kalau aku bersungguh-sungguh padamu, kiranya tak perlu kujelaskan lagi. Bagaimana aku telah memutuskan pertunangan dengan Rury. Tidak kecil tantangan yang aku hadapi dari pihak keluarga. Dan tentunya engkau bisa lihat sendiri kalau aku tak menggubris Rury. Lebih berat padamu. Karena aku sangat mencintaimu,"

Rury duduk sendiri di sudut ruang. Ruang yang luas itu penuh dengan tamu-tamu yang sedang bergembira. Sedang melantai. Sedang saling tukar menukar gossip. Terutama nyonya-nyonya yang seperti biasanya bergunjing soal kehidupan dan pribadi orang lain. Dan nampak segerombol nyonya-nyonya sedang membicarakan Dewi. Rupanya dua di antara nyonya-nyonya itu ada yang mengenal Dewi. Sengaja kedua nyonya itu mengajak bicara nyonya Sulistiawan.

"Wah, kelihatannya putra ibu akrab sekali sama Dewi." kata nyonya Ida.

Nyonya Sulistiawan tidak menimpali. Cuma alisnya yang berkerut.

"Apa ibu Sulis sudah tahu keluarga Dewi?" Tanya nyonya Mia.

"Jangankan keluarga perempuan itu. Sedang yang namanya Dewi baru kulihat dua kali ini," Jawab nyonya Sulistiawan tak acuh.

"Jadi bu Sulis belum tahu siapa dia?"

Nyonya Sulistiawan mengangguk.

"Dewi itu 'kan sudah janda, Bu. Sudah punya anak satu."

Nyonya Sulistiawan terbengong..."Oya?" gumam nyonya Sulistiawan yang kemudian menoleh dan memperhatikan Dewi. Melalui jendela yang terpentang, terlihat Dewi sedang duduk dalam pelukan Agus.

"Dan kalau bu Sulis mau tahu ayah Dewi, ouw, lelaki itu doyan kawin. Istrinya ada empat." Lanjut nyonya Ida sambil mencibir.

Ucapan nyonya Ida seperti api yang membakar sumbu bahan peledak. Seperti mencoreng muka nyonya Sulistiawan dengan arang hitam. Menyebabkan dada perempuan itu naik turun lantaran menahan gejolak kemarahan.

"Darimana bu Ida tahu semuanya itu?" nada tanya nyonya Sulistiawan sudah geregetan.

"Rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Bu. Jadi saya tahu persis kehidupan keluarganya. Malahan Dewi sudah dua kali kawin, tapi selalu gagal."

Nyonya Sulistiawan langsung berdiri. Sumbu yang dibakar oleh nyonya Ida telah meledak. Dan perempuan itu menghampiri Agus..."Agus!" panggilnya dengan emosi.

Agus melepaskan pelukannya di bahu Dewi. Dia menoleh ke arah ibunya..."Ada apa. Mi?"

"Sini!"

Agus berdiri mendekati ibunya, sedang Dewi tertunduk. Tidak berani memandang nyonya Sulistiawan. Dia sudah punya firasat kalau perempuan itu akan memarahi anaknya.

"Masuk!" bentak nyonya Sulistiawan sambil menarik lengan anaknya lebih menjauh dari Dewi. Terus saja ditariknya sampai ke pojok ruang.

"Kenapa kau pilih perempuan semacam dia!" Kecam nyonya Sulistiawan dengan jengkel.

"Sabar, Mi. Jangan marah di dalam suasana gembira ini," kata Agus lunak. Berusaha meredakan kemarahan ibunya.

"Justru di dalam kegembiraan ini, kau telah mencoreng nama baik keluarga kita! Membuat malu orang tua!" suara nyonya Sulistiawan makin ngotot. Namun suaranya masih kalah dengan suara musik yang mengalun. Suara penyanyi yang sedang membawakan lagu populer.

"Tenang, Mami. Tenang. Tidak baik dilihat para tamu kalau mami marah-marah sama Agus." Pinta Agus menarik lengan ibunya ke ruang dalam.

"Kau kira mami tidak tahu siapa sebenarnya Dewi itu heh? Kau mau membohongi mamimu?"

Agus jadi bingung. Jadi serba salah. Maka dia cuma bisa menghembuskan napas keras-keras...

"Dewi itu bukan gadis lagi. Dia sudah dua kali menikah dan gagal. Ayahnya doyan kawin dan punya empat orang istri. Itukah perempuan pilihanmu yang kau puja-puja? Kau katakan dia lebih baik dibandingkan Rury? Apanya yang bisa kau bilang baik? Apanya?! Kecantikannya? Ya? Kecantikannya? Itukah yang menjadi ukuran kebaikan gadis itu di penglihatanmu? Tak perduli dia janda yang sudah punya anak satu?" kata nyonya Sulistiawan nyerocos sengit.

Agus tertunduk lemas. Dia bersandar di dinding sambil memijit-mijit keningnya. Mendadak rasa pusing menyerang kepalanya.

"Sekarang juga, suruh perempuan itu meninggalkan tempat ini"

"Mami? Jangan sekejam itu." Agus nampak jadi gelisah.

"Kalau kau tidak mau mengusirnya, biar mami yang melakukannya!" ancam perempuan itu dengan gemas.

"Jangan, jangan mami."

"Kau masih mau membangkang?!"

Agus tambah bingung. Kalau permintaan ibunya tidak segera dilaksanakan bisa kacau. Bisa berantakan. Sebab kalau ibunya sampai bertindak mengusir Dewi, kegaduhan pasti terjadi. Agus akan malu menghadapi, para tamu yang sedang hadir..."Baik, Mi. Akan kuturuti perintah mami. Tapi, aku tidak mau dikekang oleh prinsip mami. Aku sudah dewasa dan punya hak untuk menentukan perempuan mana yang kupilih menjadi pendamping hidupku!" kata Agus tegas. Lalu dia beranjak pergi dari hadapan maminya.

Kursi yang diduduki Dewi telah kosong. Agus jadi bingung. Ke mana perempuan itu pergi? Lantas Agus mencari-cari di antara para tamu yang ada di ruang pesta. Tak nampak Dewi. Sepintas dia melihat Rury sedang ngobrol dengan seorang laki-laki muda. Tapi Agus tak mau perduli. Yang dicari tetap Dewi. Ke mana dia pergi? Mungkinkah dia pulang? pikir Agus yang kini nampak kesal. Jengkel. Suasana pesta yang berlangsung dengan gembira tak digubrisnya lagi. Dia lari masuk ke dalam kamar. Ibunya menyusul. Agus mengambil kunci kontak di atas meja.



~~BERSAMBUNG~~