Tiada yang lebih indah selain hari ini, begitu menurut Jhaey karena hari ini memang hari pernikahaannya. Iapun sangat bahagia karena apa yang ia harapkan dengan Amanda akhirnya terwujud, yaitu sebuah pernikahaan.

Pagi itu dengan senyum penuh ceria Jhaey pun segera melangkah menuju gedung pernikahaan yang akan ia laksanakan bersama Amanda. Rona kebahagiaan terus terpancar dari raut wajah Jhaey, setelah tiba diruang tengah gedung yang akan dijadikan tempat ijab kabul sekaligus pelaminan untuk Jhaey dan Amanda nantinya, ia semakin terpesona membayangkan dirinya bah menjadi raja dalam sebuah kursi pelaminan.

Seiring waktu yang terus berjalan pagipun mulai merambat menuju siang tetapi belum ada tanda-tanda kemunculan Amanda berserta rombongan keluarganya. Jhaeypun mulai dilanda keresahan ia merogoh saku jasnya, mengambil ponsel, menelepon Amanda calon istrinya. Namun yang menjawab operator. Aneh, operatornya pria. “Telepon yang Anda tuju sedang…... Apa coba?”

"Sedang… apa coba?" Lalu, yang bicara pria! "Yang benar saja! Bukannya biasanya sedang berada di luar jangkauan dan operatornya wanita? Apa-apaan ini!?" Bantah Jhaey bingung bercampur kesal.

Di antara para tamu, tidak ada yang menyadari kegelisahan Jhaey selama beberapa menit sampai Jhaey melihat dua pasang mata mengamatinya. “Hei, Bung!” Yang menyerukannya berseragam polisi.

Polisi? Jhaeypun semakin bingung? "Ini pasti kawan calon istriku. Aku punya teman polisi, tapi sudah lama tak menjalin hubungan akrab. Dan disamping polisi itu ada wanita yang selalu tersenyum. Dari gelagat keduanya, mereka tampak akrab satu sama lain.

“Jangan khawatir, Bung,” Seru wanita itu.

“Teman kami, Gozali, sudah kami minta untuk mencari tahu keberadaan calon istrimu.”

Gozali…. Sepertinya Jhaey pernah dengar nama itu. Tetapi sebelum Jhaey menanggapi, kedua orang itu sudah bergabung dengan tamu-tamu lain, mengobrolkan kisah-kisah yang terdengar seru. Samar-samar terdengar sebuah kata yang diucapkan mereka berkali-kali: “Misteri”. Akhirnya Jhaeypun baru teringat mereka itu adalah tahu S. Mara Gd dan Kapten Polisi Kosasih!.

Meski masih dilanda kebimbangan Jhaeypun mencoba tersenyum. Sampai hampir lupa ketika ada tiga orang yang mendekatinya? Pria tua, nenek tua, dan pria muda berambut gondrong. Si nenek tua menepuk pundakku, berkata sambil terkekeh-kekeh.

“Hei! Kau perlu santai, Nak. Kalau nanti kau mendapati calon istrimu berselingkuh, atau tidak jadi menikah denganmu, belajarlah ilmu kanuragan.”

“Kanuragan? Semacam silat?” Balas Jhaey.

“Betul, Nak,” kata si pria tua itu.

“Sabar dan marah. Diam dan bertindak. Cara halus dan kasar. Kita harus selalu seimbang menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Mata dua, hidung satu, telinga dua, mulut satu-semuanya seimbang.” kata pria tua yang satu ini tampak lebih bijak.

Jhaey baru menyadari bahwa pria muda yang belum bicara berambut gondrong ketika mendekatinya. dan sempat ia pandang dari samping, rambutnya disisir ke belakang, dikuncir. Sebelum menepuk pundaknya, dia menatap dua teman yang bersamanya. Dua orang itu mengangguk, si nenek tua yang suka terkekeh-kekeh wajahnya berubah jadi serius. “Berikanlah,” katanya dengan takzim, sambil bersedekap dan mengangguk pelan. Pria muda itu mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya di bagian dalam. Jhaey terpana memandangnya, kakinya seperti tak kuat berdiri. Itu kapak terkenal, di matanya ada tulisan 212. “Jadi, kalian ini… Bastian Tito, Sinto Gendeng, dan Wiro Sableng?” kata Jhaey dengan suara bergetar. Tangannya ikut bergetar menyambut kapak itu.

Ketiganya mengangguk, tersenyum, saling berpandangan. “Jaga baik-baik kapak itu, Bung,” kata Wiro Sableng.

“Kukira kalian selalu berpakaian silat ke mana-mana,” Seru Jhaey sambil memerhatikan penampilan mereka yang mengenakan jas dan celana panjang seperti tamu-tamu lain.

“Di dalam resepsi pernikahan, berbaju pendekar akan terlalu mencolok, Nak,” kata nenek tua yang suka terkekeh-kekeh alias Sinto Gendeng.

Tamu-tamu semakin ramai. Jhaey terus mengamati keadaan sekelilingnya sambil berjalan mengelilingi gedung resepsi. Oh… orang-orang yang tadi kutemui, sungguh tak terduga hadir dalam acara ini. Seingatku, tak pernah kuundang mereka; ia juga tak pernah menceritakan akan datang keacaraku ini.

“Hei!” tegur seorang pria dari kejauhan.

Seketika Jhaey menoleh, menatap wajah pria yang jaraknya sekitar sepuluh meter darinya. Ia pun mendekatinya sambil menengok jam. Sudah pukul 09.30. “Iya, ada apa?”

“Kau bawa kapak ke mana-mana! Apa ada masalah, Bung?”

Jhaey baru sadar masih memegang kapak yang diberikan Wiro Sableng. “Oh, maaf. Saya lupa menyimpannya,” katanya sambil memasukkannya ke dalam saku jas bagian dalam. Saku jasnya ternyata agak kecil, tidak sebesar milik Wiro Sableng, mata kapak itu kelihatan sebagian saat jas ia kancingkan. Kapak itu pun ia letakkan di bawah punggungnya dan diselipkan di celana.

“Apa tadi ada ribut-ribut di sini?” tanya pria itu, suaranya terdengar menyelidik.

“Tidak, ini kapak pemberian, Bung. Dari seseorang,” kataku sambil menoleh ke belakang, mencari-cari Wiro Sableng.

“Hei!” terdengar suara lain kembali. Sesosok pria yang tampak mengenakan helm, berkacamata, sambil menuntun sepeda berjalan mendekati kami dari belakang pria yang menegurku. “Ada apa, Satria” katanya saat berada di depanku, di samping pria itu.

“Saya tadi lihat dia bawa-bawa kapak. Saya kira, dia mau berkelahi atau semacamnya, Mas,” jawab Satria.

“Oh… mungkin saja, Bung, kapakmu mengingatkan dia akan masa lalunya,” kata pria pertama yang bernama Hermansyah sambil tersenyum kepada Jhaey. “Ia dulu sewaktu masih sekolah di Stm sangat suka berkelahi.”

“Sekarang sudah jarang, sejak banyak digandrungi oleh wanita” kata Hermansyah berbisik, lalu mengedipkan mata kepada Jhaey.

“Ayo kita ke sana!” kata pria bernama Hermansyah, merangkul Satria, mendekati suatu kerumunan.

Satria menoleh ke belakang, berhenti melangkah, dan kembali menatap Jhaey. “Kulihat ada amarah di wajahmu, Bung. Kalau ada yang meresahkanmu, bertindaklah jantan! Jangan memendam dendam! Seperti rindu, dendam harus dibayar tuntas, Bung!”

Seketika itu Jhaey kembali teringat Amanda calon istrinya. Apakah dia mendapatkan halangan dijalan? Jhaey semakin khawatir, sekarang sudah hampir jam sepuluh. Jhaey mendekati pintu keluar, menunggu kedatangan Amanda dengan cemas. Seandainya ada yang memanggilnya atau menyapanya, sumpah mati akan ia abaikan. Sampai di pintu, Tiba-tiba Jhaey melihat dua pria gondrong yang masing-masing berjalan menuju gedung resepsi. Yang satu rambutnya dicat berwarna pirang, satunya lagi lebih muda, berambut hitam, dan bertato. Setelah turun, mereka seperti berlomba masuk ke dalam gedung resepsi. “Aku sudah mengirimi Asmirondo sepotong cinta nan penuh makna! Nggak akan kurelakan dia jadi milik pria lain!” seru pria yang ternyata bernama mas Joe.

“Aahh! kau telat kami berdua sudah sering beradu bibir dengan Asmirondo, bahkan kami saling berjanji sehidup semati” sahut pria satunya yang ternyata bernama Khanif.

"Apa! beradu bibir" .... Haaahaa! Aku nggak percaya sama kamu Nif" Balas mas Joe sambil mencibir.

"Heeii aku punya saksi, ia adalah kurir pengantar barang dan hari ini beliau sudah ada digedung repsepsi yang akan kita tuju saat ini".

Mendengar perdebatan kedua pria itu Jhaey semakin heran bukankah gedung resepsi itu dikhususkan untuk dirinya dan Amanda, lalu mengapa mereka menyebut Asmirondo?

Belum sempat Jhaey berpikir jauh nampak iring-iringan mobil pengatin sudah muncul dan terus melaju menuju gedung resepsi yang tidak berada jauh dibelakang Jhaey.

Pintu mobil dibuka. Nampak seraut wajah cantik terlihat keluar dan melangkah dengan tenang, Jhaey tampak degdegan. Ah, akhirnya momen terindah dalam hidupnya ada di depan mata! Ternyata apa yang terjadi ada diluar dugaan Jhaey. memang benar Amanda calon istrinya, tapi setibanya digedung resepsi ia mengabaikan dirinya, bagai tak melihat iring-iringan pengantin itu terus melintas di hadapan Jhaey, tanpa menoleh, diikuti sederet orang yang berjalan di belakangnya dalam dua barisan. Lagu yang indah berkumandang, bergema di dinding dan langit-langit gedung resepsi yang tampaknya makin luas dan megah.

Sepasang merpati masuk ke dalam gedung, diikuti banyak burung gereja. Di pelaminan, sekitar dua puluh meter dari tempat Jhaey berdiri, seorang pria yang amat teramat mirip dengan dirinya sudah menunggu, dan siap menyambut Amanda. "Lho kenapa pria itu mirip sekali denganku?"

Bukan hanya mirip, tetapi bah pinang dibelah kapak 212, namun Jhaey masih tidak yakin. Seluruh hadirin bersuka cita, bersorak, ada juga para remaja putri yang bilang, “Cieee… cieee.” Jhaey tampak tegang dan membisu di dekat pintu. Seperti dunia tlah beku mati, hati Jhaey tak kuat melihat semua yang terjadi, akhirnya Jhaey mencoba meraih kursi karena lelah berdiri iapun pingsan kelelahan pada hari pernikahannya.

Saat Jhaey tersadar, ia merasa badannya dibungkus dalam sebuah kardus besar. ia tidak bisa bergerak. Terdengar suara “brettt” beberapa kali setelah tak ada lagi guncangan. Jhaey menyadari itu suara isolasi yang ditarik atau dilepas. Jhaey bernapas lega ketika kardus yang membungkusnya mulai terbuka. Ia melihat para kurir berseragam oranye melepaskan semua isolasi yang ditempelkan di kardus yang membungkusnya.

Jhaey nampak bingung dan akhirnya bertanya... "Lho kenapa jadi begini? Siapa pula yang mengirimku kesini".

Para kurir itupun nampak tersenyum kemudian berkata. "Pak Agus Sarilah yang mengirim bapak kesini".

"Lalu dimana saya berada"... Tanya Jhaey kembali.

Para kurir itupun serentak menjawab... "Bapak lihatlah sendiri".

Baru saja Jhaey akan melihat kekiri serta kanan, nampak seperti ada cipratan air yang membasahi wajahnya.

"Wooiii!! Bangun kebluk! katanya luh mau buatin gue cerpen tapi nyatanya malah luh tiduurrr! dasar suuueee luh!"... Bentak Agus Sarilah yang langsung pergi meninggalkan Jhaey.

Jhaey nampak bingung mirip-mirip orang ling-lung. Ternyata ia berada disebuah taman yang disebelahnya ada kedai kopi, dimana taman serta kedai tersebut tempat Jhaey sehari-hari untuk membuat artikel blognya.

Tak perduli dengan Agus yang meninggalkanya akhirnya Jhaey kembali menikmati khayalannya tentang Amanda.🤪 🤪 🤪



👇CATATAN👇


1. Bastian Tito adalah pengarang cerita silat pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng yang mempunyai guru bernama Sinto Gendeng.

2. S. Mara Gd adalah pengarang novel cerita-cerita detektif dengan tokoh Kapten Polisi Kosasih dan Gozali. Judul novelnya banyak yang diawali dengan kata “misteri”.

3. Terakhir atau yang ketiga, Hermansyah, Khanif, Satria, Joe dan Agus Sarilah adalah nama-nama teman blogger.



~THANK~YOU~