Anda yang berkacamata baik laki-laki atau perempuan pernakah merasa malu atau minder dengan kacamata yang ada pakai. Baik kacamata untuk baca atau pun hanya untuk bergaya saja. Nah biasanya orang yang tidak berkacamata, Bila memakai kacamata akan terlihat sedikit ada perubahan dari tampangnya bagus apa tidaknya yaa tergantung penilaian orang masing-masing.

Akan tetapi pada umumnya menilai orang yang berkacamata pasti akan selalu menjurus pada sebutan seorang profesor atau orang yang cerdas dan pintar mengapa demikian, Seperti yang telah saya rangkum dari Kompas.com berikut pengertian orang yang berkacamata selalu dikaitkan dengan kata orang cerdas atau pintar.



Seperti dalam kisah-kisah di film atau sinetron, para kutu buku kerap digambarkan sebagai seorang pemakai kacamata. Bahkan, para profesor pun identik dengan kacamatanya. Ya, gambaran semacam ini akhirnya terbawa ke dunia nyata, sehingga banyak orang mengira para pemakai kacamata adalah mereka yang memiliki kecerdasan tinggi.

Tanpa kita sadari, manusia memang selalu mengasosiasikan kacamata dengan kecerdasan. Sebenarnya, dari mana stereotip semacam ini berasal?

Menurut riset dari University of Cologne, Jerman, dan University of Griningen, Belanda, stereotip orang berkacamata dianggap cerdas berasal dari abad pertengahan, ketika para bhikkhu memakai kacamata untuk belajar karena kemampuan visual mereka menurun.

Sejak saat itu, orang yang melakukan pekerjaan intelektual atau para ahli biasa memakai kacamata.

Alhasil, orang mengasosiasikan kacamata dengan berbagai karakteristik terkait kompetensi, seperti kesuksesan, ketergantungan, ketekunan, dan kecerdasan yang paling kuat. Anehnya, stereotip semacam ini sudah ada sejak zaman seleksi alam. Menurut psikiater Elizabeth G. Loran, otak manusia cenderung lebih suka membuat keputusan cepat untuk tujuan bertahan hidup dan efisiensi.

"Ketika kami disajikan dengan sejumlah besar informasi, manusia dapat dengan cepat memproses informasi dan membuat keputusan dengan mengambil 'jalan pintas mental', yang dikenal sebagai bias," kata Dr. Loran.




Di masa lalu, manusia mengandalkan bias ini untuk dengan cepat beradaptasi dengan situasi yang berbahaya atau kompetitif.

"Meskipun seleksi alam kurang menjadi ancaman dalam masyarakat saat ini, manusia masih menggunakan hal tersebut untuk memproses informasi dan mempercepat waktu reaksi kita," kata Dr. Loran.

Pada dasarnya, kita menggunakan bias untuk berpikir cepat. Namun, tidak semua bias terbentuk dengan cara yang sama.

Seperti yang telah kita lihat, beberapa stereotip bisa berbasis kelangsungan hidup, seperti manusia yang meningkatkan kewaspadaannya karena takut akan serangga dan ular.

"Bias lainnya mungkin merupakan kombinasi dari kelangsungan hidup dan respons yang dipelajari, seperti preferensi untuk wanita dengan pinggul yang lebih besar karena lebih menarik dan dianggap lebih subur," kata Dr Loran.

Dengan menggunakan kategori bias terakhir ini, kita dapat memahami bagaimana stereotip manusia terkait kacamata terlihat pintar telah berhasil melampaui generasi.

Meskipun ada teori yang berbeda tentang mengapa orang dengan kacamata dianggap pintar, meneurut Dr Loran, banyak ilmuwan percaya bahwa ini adalah jalan pintas mental yang dipelajari.

Psikologi sosial secara konsisten menunjukkan, ketika orang diperlihatkan gambar orang dengan kacamata, mereka menganggap orang tersebut lebih cerdas, pekerja keras, dan sukses, tetapi kurang aktif dan kurang bersosialisasi dan kurang menarik daripada orang dengan karakteristik serupa tanpa kacamata.

Karena stereotip ini kemungkinan "dipelajari", Dr. Loran mengatakn, hubungan antara kacamata dan kecerdasan mungkin merupakan produk stereotip budaya dan pesan yang ada untuk manusia sepanjang perkembangan mereka.



Mungkin tidak mengejutkan kita menerima hubungan antara kacamata dan kecerdasan, karena kita telah diajarkan bahwa hal itu benar.

Namun, jika orang tua kita tidak pernah secara eksplisit memberikan pelajaran ini, kita mungkin akan menanyakan bagaimana stereotip semacam ini terjadi.

Usia kanak-kanak sangat mudah dipengaruhi, dan mudah menyerap nilai-nilai, kepercayaan, dan stigma yang ada di dunia di sekitarnya.

Kita mendengarkan orangtua berbicara, kita terlibat dengan orang lain di ruang kelas, dan kami menguraikan bagaimana dunia bekerja dari lingkungan kita.

Ketika film dan produk budaya lainnya secara konsisten mengasosiasikan kacamata dengan kecerdasan, manusia menyimpannya di dalam otak mereka.

Kemudian, ketika tiba saatnya untuk melihat orang-orang dengan kacamata, kita mengingat apa yang telah dipelajari tentang orang-orang berkacamata dan menggunakan bias atau jalan pintas mental untuk memproses informasi dan membuat keputusan cepat tentang orang tersebut.

Dengan kata lain, masyarakat menuntut kita untuk percaya orang yang memakai kacamata itu cerdas, dan bias ini membantu kita untuk dengan cepat mengevaluasi orang baru dengan kacamata yang kita temui.

Naah! Bagaimana dengan anda percaya dengan hal diatas. Atau anda mungkin berkacamata dan merasa paling cerdas dan benar berkacamata pasti orang cerdas dan pintar? Baik apapun itu berkacamata atau tidak bukan menjadi tolak ukur menilai pintar atau tidaknya otak atau kecerdasan seseorang.



Sumber : Lifstylekompas.com


~ SEMOGA ~ BERMANFAAT ~