CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA



Cerita Ini Pernah Saya Posting Era Tahun 2016 Di Wordpress Cuma Karena Terhapus Tanpa Sengaja Hari Ini Saya Ulas Kembali Dengan Sedikit Perbedaan Nama Pemerannya.


Taman disebuah kota nampak terkesan indah meski siang itu suasana tidak begitu ramai. Namun semilir angin mampu membuat orang ingin berlama-lama untuk hanyut terbawa alam khayalan masa lalu. Seperti seorang wanita berdarah Minang yang bernama Reyne. Dirinya semakin asik melamun disebuah bangku kayu yang usang termakan cuaca alam.

Reynepun terus hanyut dalam alam khayalnya, Biasanya Reyne lebih suka membawa Biola kesayangannya jika sedang melamun disebuah taman. Karena dengan begitu ia bisa menciptakan sebuah lagu dari hasil lamunannya. Namun kali ini sepertinya ia hanya duduk pasrah saja dikursi kayu tersebut. Hatinya galau tak tentu arah, Sehingga ada alasan kuat yang membuat dirinya enggan membawa alat musik atau menciptakan sebuah lagu dalam kesendiriannya disebuah taman.

Sedang asik menikmati lamunan serta kesendiriannya, Reyne dikagetkan dengan sebuah bola karet yang mengenai kakinya.

Buuugg!!..

Lalu terdengar suara gadis kecil berkata.

"Maafkan aku tante, Aku ingin bolaku"....Seru suara gadis kecil itu dengan polosnya.

Reypun tersenyum dan segera mengembalikan bola itu pada gadis kecil dihadapannya.

"Terima kasih, Tante. Namaku Reyne. Nama Tante siapa?"

Reyne tampak termangu mendengar suara gadis kecil yang tengah berdiri di depannya. Gadis kecil yang mengaku bernama Reyne itu masih memegang bola berwarna oranye, bola yang tadi tidak sengaja mengenai kaki Reyne. Gadis kecil yang mengaku bernama Reyne itu pun masih berdiri di depannya dengan senyum lebar di bibirnya.

Mendadak Rey bingung harus bereaksi bagaimana. Mendadak Rey tidak tahu harus mengucapkan apa. Dan mendadak Rey teringat seorang lelaki bermata tajam. Lebih tepatnya, Rey teringat janji lelaki itu.

"Janji ya kita bakal ngasih nama anak pertama kita pakai nama kita?”....Ingat Rey kembali.

"Walaupun kita nikah sama orang lain?"

"Walaupun kita nikah sama orang lain. Kamu kan udah janji, Rey, Bakal ngasih nama anak pertama kamu pakai nama aku. Enggak boleh ingkar janji, lho."

"Tapi, Gus, Apa kata suamiku kelak?.. Seandainya kita nikah sama orang lain."

“Enggak peduli. Pokoknya kamu udah janji, Rey, dan janji harus ditepati."

"Kamu maksa aku kayak gini emangnya kamu sendiri bakal ngasih nama anak pertama kamu pakai nama aku?...Aku enggak yakin."

"Aku serius, Rey. Kalau anak pertamaku cewek, aku pasti ngasih nama dia Reyne. Aku enggak akan ingkar janji.”

“Reyne!!”

Rey tersentak dan secara otomatis menoleh ke arah suara yang tak asing bagi dirinya. Suara yang memanggil namanya... Dia lupa jika ada orang lain yang bernama sama di dekatnya. Dan saat itulah matanya bertemu dengan mata tajam lelaki yang baru saja diingatnya. Lelaki dengan janji konyolnya. Agus.


~~ 🎀🎀♠♥🎀🎀 ~~


"Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Rey.".....Seru pria yang bernama Agus.

Rey tersenyum mendengar kata-kata dari Agus. Dia pun tidak pernah mengira akan bertemu dengan Agus di taman kota ini. Senyumnya makin mengembang saat dilihatnya seorang gadis kecil tengah sibuk menjilati es krim di dekat seorang penjual es krim keliling di depan sana. Gadis kecik itu berambut hitam pekat dan bermata tajam, sama seperti ayahnya.

"Aku enggak nyangka kamu bener-bener ngasih nama anak kamu pakai namaku Gus.”

Agus menghela napas sejenak mendengar kata-kata Rey. Pandangannya ikut mengamati gadis kecil yang berdiri beberapa meter di depan mereka.

"Janji adalah janji, Rey. Kebetulan anak pertamaku perempuan dan ibunya tak keberatan dengan nama itu."

Baik Rey maupun Agus terus mengamati gadis kecil yang sibuk dengan es krim di tangannya itu. Keduanya duduk berdampingan dalam diam. Angin sore yang bermain-main dengan daun-daun berguguran menjadi satu-satunya suara di antara mereka.

“Mana ibu Reyne?”.... Pertanyaan singkat dan tiba-tiba dari Rey itu cukup mengagetkan Agus. Agus masih terus melihat ke depan, Meskipun dari sudut matanya dia tahu Rey sedang memandang ke arahnya dan menanti jawabannya.

"Maaf kalau aku lancang.".... Setelah semenit penuh menunggu dan tidak mendapat apa-apa, Rey sadar bahwa Agus tidak berniat untuk menjawab pertanyaannya. Rey kembali memandang ke depan, membiarkan keheningan kembali menyelimuti mereka.

Untuk beberapa saat Rey dan Agus larut dalam ketenangan yang ada. Mereka menikmati alunan angin yang membuat daun-daun bergemerisik, matahari sore yang memancarkan kehangatan, bahkan suara riuh-rendah yang disebabkan oleh anak-anak kecil yang mulai muncul di taman itu. Mereka menikmati semuanya.

"Papa!"... Rey merasa aneh saat dirinya sendiri ikut menoleh ketika gadis kecik itu memanggil Agus. Rey lebih merasa aneh saat mendengar seseorang memanggil Agus dengan sebutan papa.

"Iya, Reyne, kenapa?"... Agus menyambut gadis kecilnya dengan tangan terentang lebar. Gadis kecil itu meloncat kegirangan ke pelukan sang ayah.

"Pa, aku mau main sama mereka. Boleh, ya?".... Pinta gadis kecil itu manja. Secara serentak, Rey dan Agus melihat segerombol anak kecil yang berdiri tak jauh dari mereka. Untuk kedua kalinya Rey merasa aneh saat dirinya sendiri ikut menoleh bersama Agus.

"Boleh, Reyne. Tapi ingat, jangan jauh-jauh dari Papa, ya."......Seru Agus sambil tersenyum.

Gadis kecil itu mengangguk mantap dan segera berlari bersemangat menghampiri anak-anak kecil yang tampak semringah dengan kedatangan gadis kecil yang hampir sebaya dengannya itu. Segera saja para bocah itu asyik dengan permainan dan dunia mereka sendiri, meninggalkan Rey dan Agus kembali pada keheningan.

“Reyne ceria banget, Gus,”...Celetuk Rey.

Agus tersenyum dan membenarkan pujian Rey dalam hati.

"Umur berapa dia?".....Tanya Rey kembali.

"Lima tahun,” jawab Agus. “Tahun depan dia masuk sekolah dasar.”

"Udah dapet sekolah yang oke?".... Spontan saja Rey bertanya, dan di detik berikutnya dia sudah menyesalinya.

Agus hanya terkekeh geli sebelum menjawab...."Sudah. Aku sudah dapet sekolah yang oke. Makasih, Rey, Sudah peduli soal itu."

Rey tertawa garing mendengar kata-kata Agus. Sungguh, dia juga tidak tahu kenapa dia menanyakan hal itu pada Agus. Sekarang dia benar-benar merasa kikuk setelah menanyakannya.

"Gimana kabarmu, Rey?".... Rey merasa sangat bersyukur karena Agus tidak membahas pertanyaannya lebih lanjut.

"Seperti yang kamu lihat,”.... Balas Rey singkat...Bukannya Rey bermaksud tidak sopan, Tetapi rasa kikuknya masih belum bisa hilang sepenuhnya dan dia tidak tahu harus berkata apa.

"Masih sering main biola dan piano?....Atau kau sudah banyak menciptakan lagu-lagu?”..

Cukup dengan pertanyaan sederhana seperti itu, Membuat Rey menengok ke samping dan menemukan sorot tajam yang memancarkan kehangatan tengah menatapnya. Hilang sudah rasa kikuk dan tidak nyaman pada diri Rey.

Rey tersenyum getir sesaat sebelum memalingkan kembali wajahnya....."Kamu orang pertama yang bertanya soal Biola dan Piano setelah aku menikah, Gus."..

Agus menangkap kegetiran itu. Dipandanginya Rey yang sedang memandang entah apa di depannya. Rey tidak berubah. Wajah Rey sama persis seperti yang diingatnya selama ini. Rambut Rey juga sama persis seperti yang dulu. Bahkan harum tubuh Rey pun sama persis seperti yang sering dia cium dulu. Rey tidak berubah. Dan entah kenapa dia senang mengetahui Rey tidak berubah sama sekali.

"Apa kamu benar-benar melupakan idealismemu dengan jadi akuntan, Rey?”....Tanya Agus sambil memutuskan untuk mengikuti Rey, melihat entah apa di depan mereka.

Rey tertawa sumbang.....“Bukan melupakan, Gus. Mengesampingkan."

“Apa bedanya?”.... Nada suara Agus naik satu oktaf tanpa disadarinya. Agus juga sudah mengubah kembali posisinya. Sekarang dia dan Rey sudah duduk berhadapan. Agus melihat Rey menarik napas sejenak sebelum memandang dalam-dalam matanya dan menjawab pertanyaannya.

"Sampai kapan pun aku enggak akan melupakan impianku, Gus. Kamu satu-satunya orang yang tahu itu. Tapi untuk saat ini, aku harus mengesampingkan keegoisanku."

Agus tertawa hambar mendengar jawaban Rey..... “Keegoisan? Siapa bilang punya impian itu egois? Justru orang tua kamu yang selalu mendikte anak-anaknya itu yang egois"...Seru Agus.

“Kamu benar, Gus. Punya impian bukan berarti egois.".... Rey tersenyum lembut.

"Tapi aku sudah berkeluarga sekarang. Situasinya sudah beda. Aku enggak hidup sendiri lagi. Kamu pasti mengerti maksudku."

Agus tertegun di tempat duduknya.. Rey benar. Mereka tidak hidup seorang diri lagi saat ini. Ada orang lain yang hidup bersama mereka. Ada orang lain yang harus dipenuhi kebutuhannya. Tentu saja situasinya sudah jauh berbeda sekarang. Bagaimana mungkin Agus bisa lupa?

“Kamu sendiri gimana Gus?..Masih sering Exist didunia blogging,Sudah berapa banyak uang yang kau dapat dari Adsense".

Agus tersenyum sesaat sebelum mengangguk satu kali.... “Ya, Rey, aku masih suka ngeblog meskipun enggak seperti dulu, Dan tak ada lagi yang bisa diharapkan dari adsense sekarang"..

Rey tersenyum maklum mendengar jawaban Agus.. Dia tahu betul apa maksud Agus. Mereka adalah dua orang berbeda dengan isi kepala yang sama.

"Aku senang kamu masih hobi ngeblogging. Paling tidak di antara kita berdua, kamu berhasil mempertahankan idealismemu sekaligus bersikap realistis."

"Kamu benar-benar sudah enggak pernah main Biola dan Piano lagi, Rey?"... Rey tertawa melihat sorot tajam itu memancarkan keprihatinan. Aneh rasanya mengetahui orang lain mengasihani hidup Rey di saat Rey sendiri tidak merasa demikian.

"Biola dan Pianonya sudah dijual"....Jawab Rey acuh tak acuh sambil mengangkat kedua bahunya. Tidak mungkin dia menceritakan alasan sesungguhnya di balik itu semua. Tidak mungkin dia menceritakan aib keluarganya sendiri. Meskipun Agus adalah satu-satunya orang yang dia percaya di dunia ini, Dia tidak bisa menceritakan semuanya seperti dulu. Keadaan mereka sudah berbeda.

Agus tampak berpikir sejenak sebelum berkata lirih,... “Ibu Reyne meminta cerai tahun lalu. Dia bilang dia sudah enggak tahan"... Agus mengambil napas dalam-dalam, Lalu mengembuskannya dengan keras.... "Aku dengar kabar dia baru saja menikah lagi"...

“Kaku, hak asuh Reyne?" Rey tahu ini bukan urusannya, tapi dia tidak tahu kenapa dia tidak bisa mencegah dirinya sendiri untuk tidak bertanya.

“Hak asuh Reyne jatuh ke ibunya".... Agus sedikit melamun saat menjawab pertanyaan Rey.

"Tapi aku enggak mau pisah dari Reyne....Itu sebabnya aku mati-matian meminta hak asuhnya. Itu sebabnya aku mati-matian bertahan menjadi manajer marketing. Semua demi Reyne. Aku enggak mau pisah dari Reyne. Enggak lagi"...

Kata-kata Agus membuat Rey tiba-tiba kesulitan menghirup udara segar di taman kota tersebut. Rey tahu pasti apa maksud Agus. Rey merasa mereka berdua saling menatap untuk waktu yang sangat lama sebelum akhirnya tangan Agus bergerak untuk mengusap lembut rambut Rey.

"Kamu enggak ingkar janji, kan, Rey?"

Rey tahu janji apa yang sedang ditanyakan oleh Agus. Dan Rey tahu jawaban apa yang harus diberikannya pada Agus. Hanya saja rasanya berat sekali mengatakannya.

"Gimana kalau ternyata aku ingkar janji?"

Agus menatap Rey tidak percaya. Tidak mungkin Rey serius dengan perkataannya. Rey pasti bercanda. Rey tidak mungkin ingkar janji.

“Kalau kamu mau bilang kamu ingkar janji, Aku enggak percaya, Rey. Aku tahu kamu".

Rey menghela napas berat memandang kepercayaan diri Agus... “Gimana kalau aku bener-bener ingkar janji? Apalah artinya sebuah nama, Gus".

Rahang Agus mengeras dan Rey melihat itu.... "Apalah artinya sebuah nama? Sebuah nama bisa berarti segalanya, Rey. Kamu tahu itu".

Rey terdiam mendengar jawaban Agus. Diam-diam dia membenarkan perkataan Agus.

“Maaf"... Agus terperangah mendengar permintaan maaf Rey. Rey duduk dengan gelisah di tempatnya... “Maaf, Gus".

Sebelum sempat berkata-kata lagi, suara ceria seorang gadis kecil menginterupsi percakapan mereka. Gadis kecil itu tampak lelah dan penuh dengan keringat. Dia mengibaskan kedua tangannya yang mungil.

“Pa, pulang, yuk? Aku capek, nih".

Agus segera mengambil sapu tangan di saku belakang celananya dan mengusap peluh yang membanjir di wajah gadis kecil. Gadis kecil itu terkikik geli ketika Agus dengan sengaja menggodanya dengan memencet-mencet hidung kecilnya.

“Reyne, jangan lupa bolanya"...Rey mengingatkan gadis kecil itu pada bola oranye yang tadi ditinggalkan begitu saja ketika si gadis kecil melihat penjual es krim keliling. Gadis kecil itu terkekeh sejenak lalu memeluk bola oranyenya.

“Makasih, Tante"... Rey tersenyum dan mengelus lembut rambut gadis kecil itu sebelum berpaling menatap Agus.

“Kelihatannya Reyne capek banget, Gus. Kalian pulang saja. Aku juga mau pulang".

Sebenarnya Agus masih ingin tinggal di taman itu, Masih ingin mengorek jawaban dari Rey. Tapi, Saat dilihatnya gadis kecil menguap lebar sekali, dia menyerah.

“Kamu bawa mobil?” ..Agus melihat Rey mengangguk pelan.

“Hati-hati, Rey".... Agus melihat Rey mengangguk sekali lagi. Dan dengan begitu saja Rey berlalu.


~~ 🎀🎀♠♥🎀🎀 ~~


Sepeninggalan Agus, Rey tidak segera melajukan mobilnya. Dia duduk bersandar sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Dia ingin meresapi pertemuannya dengan Agus. Dia ingin mematri sosok Agus lekat-lekat di ingatannya.

Drrrt... drrrt…drrrtt!!..

Ponsel Rey bergetar kencang di dasbor mobilnya. Rey segera membuka matanya dan meraih ponselnya.

"Rey, kamu di mana? Maafin aku, Sayang. Aku janji enggak akan jual barang-barang pribadi kamu lagi buat main saham. Kamu di mana? Pulang ya, Rey? Maafin aku"..

Rey mendesah mendengar janji suaminya... Janji yang akan selalu diingkari lagi dan lagi. Janji yang betul-betul tidak bisa lagi diterima Rey saat Biola dan Piano kesayangannya sudah raib terjual.

"Ini terakhir kalinya kamu jual barang-barang aku"...Ancam Rey.

Rey mendengar suaminya terus menghujaninya dengan janji-janji dan Rey hampir saja memutus percakapan mereka jika suaminya tidak berkata,, “Pulang, Ya, Rey? Agustino bangun dan nanyain kamu terus dari tadi".

Rey termangu mendengar nama anak lelakinya disebut... Agustino. Dialah yang membuat Rey bertahan dalam pernikahannya selama ini. Pernikahan yang diatur oleh ibunya. Pernikahan yang membuatnya teringat betapa tidak mungkinnya seorang wanita bangsawan Minangkabau begelar Puti,, Harus bersanding dengan seorang pria bisa campuran Jawa Madura seperti Agus. Meski cinta Rey terhadap Agus begitu tulus, Namun belenggu kuat kedua orang tuanya yang akhirnya memisahkannya.

Tidak butuh waktu lama bagi Rey untuk segera menyalakan mesin mobil dan membawa dirinya pergi dari taman kota itu. Agus tidak perlu tahu nama anak lelakinya. Agus tidak perlu tahu dia tidak pernah ingkar janji... Apalah artinya janji sebuah nama jika sampai kapan pun mereka tidak bisa bersama dan bersatu.




~~~ THE ~~ END ~~~




MOHON MAAF JIKA KOMENTAR TAK TERBALAS KARENA........AKU LAGI SIBUK SAYANG UNTUK MEMBELI BERAS & SEKARUNG BERLIAN.