~ Cerita Ini Hanya Fiktif Belaka ~


Kicau burung ramai bernyanyi tanda hari menjelang pagi memberikan semangat baru dari hari-hari sebelumnya. Wanita bernama Ariana nampak percaya diri melangkahkan kakiknya untuk melakukan aktifitas seperti biasa menuju kantor tempat ia bekerja. Entah mengapa ia lebih memilih untuk mampir kerumah seorang sahabatnya tak perduli meski hari masih pagi untuk bertamu kerumah orang.

Langkah Ariana kian pasti terlebih setelah ia mendekati pagar tinggi rumah sang sahabat, belpun ia tekan dengan keras tak berselang lama terdengar suara seorang wanita berbicara dengan lantang "Masuk saja tidak dikunci"... Balasnya.

Ariana nampak tersenyum memandang sahabatnya itu, iapun terus melangkah mendekati sahabatnya itu yang sedang sibuk mengurusi seorang bocah berumur 5 tahun. Binar bening mata itu mengerjap-ngerjap, ribuan bintang seolah berkumpul membentuk gugusan paling terang di mata itu. Ariana memandangnya takjub. Apalagi ketika bibir mungil itu merekah, membentuk bulan sabit yang indah di wajah putihnya yang kemerah-merahan. Pipi montok itu seperti menggelembung, menenggelamkan hidungnya yang tak begitu mancung. Senyum itu bukan ditujukan untuknya, tapi untuk Manda, ibunya, yang begitu cekatan membersihkan pub-nya membuat Ariana beberapa kali mengusap hidung. Mengusir aroma yang tercium kurang sedap.

Sekian menit mengamati wajah Kayla sambil membungkuk membuat punggung Ariana terasa lelah juga. Ia tegakkan tubuhnya. Menarik langkah surut ke belakang. Duduk disofa dekat jendela. Memandangi anak dan ibu yang saling menggoda, dunia di dalam kamar berwarna pastel ini seakan milik mereka berdua. Sesekali Amanda mencubit lembut pipi Kayla dengan gemas. Kayla tergelak-gelak riang. Suara tawanya memecah pagi.

“Kamu tidak menyesal Manda?” Tanya Ariana, untuk pertama kali, setelah beberapa menit berada di ruangan ini.

Manda melepas pandangannya dari wajah Kayla. Melirik ke arah sahabatnya itu sesaat. Kedua alisnya terangkat...“Menyesal karena apa?” Tanyanya kembali.

“Resign dari pekerjaanmu di kantor, demi full time mengurus Kayla.” Manda tersenyum. Matanya kembali tertuju pada Kayla.

“Jelaskan padaku, apa ada yang lebih nikmat daripada menatap wajah imut ini tiap saat?”

“Aku yakin, kamu pasti rindu dengan meeting-meeting panjang itu"... Balas Ariana.

“Ya… tidak kupungkiri.” Kedua bahu Manda sedikit terangkat... “Sesekali perasaan itu memang muncul. Tapi, hidup adalah pilihan Ar. Dan, untuk saat ini, aku memilih untuk menghabiskan hari-hariku bersama Kayla.”

“Banyak wanita yang bisa menjalankan peran keduanya. Tetap bekerja dan memberi kasih sayang utuh kepada anak-anak mereka dengan bantuan baby sitter. Ya… walau kutahu, mencari baby sitter yang andal dan dapat dipercaya saat ini bukanlah perkara gampang. Baru dua minggu yang lalu kulihat di televisi, seorang baby sitter memperlakukan anak asuhnya dengan tidak manusiawi, di saat kedua orang tuanya tidak di rumah. Yang paling sadis dan sedang marak terjadi adalah kasus penculikan anak yang dilakukan oleh pengasuhnya sendiri. Tapi, kalau kamu mau, aku bisa membantumu, Manda. Salah seorang tetanggaku adalah agen penyalur asisten rumah tangga dan pengasuh anak. Selama ini belum pernah kudengar dia bermasalah.”

“Ini hanya masalah waktu, Ar. Banyak hal dalam hidup ini yang tidak bisa diulang.” Manda diam sesaat..

“Aku tidak ingin kehilangan momen perkembangan Kayla tiap detiknya. Mendengar tangis dan tawanya. Menemukan Kayla sudah bisa membalikkan badan dan mengangkat kepala. Itu adalah kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dan dibayar dengan apa pun juga. Lagi pula, yang namanya bekerja, kan tidak harus di kantor. Aku masih bisa berkarya dari rumah menjadi seorang blogger atau penulis lepas seperti cita-citaku sejak dulu. Yang terpenting, aku tetap bisa mengurus Kayla dengan tanganku sendiri, sampai dia tumbuh dewasa dan mandiri. Dan kamu tahu, Ar"... Manda mengubah posisi tubuhnya sedikit miring ke kanan. Menghadap ke arah Ariana sahabatnya.

“Sekarang aku benar-benar tidak sabar menunggu saat pertama kali Kayla memanggilku Mama.”

Ariana nampak termenung. Sebegitu besarkah cinta Manda kepada Kayla? Bayi malang yang ditemukan petugas kebersihan di dalam sebuah kardus, di dalam kamar mandi sebuah pom bensin, di dekat kantorku, enam bulan yang lalu. Dan langsung menjadi viral setelah seseorang mengunggah fotonya di media sosial.

Tujuh tahun, ya… selama waktu itu Manda dan Jhaey, suaminya, menghabiskan waktu untuk mengunjungi dokter kandungan yang direkomendasikan beberapa teman. Berbagai obat dari resep dokter sampai ramuan tradisional tak bosan ditelannya. Inseminasi juga sudah beberapa kali dilakukan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengikuti program bayi tabung. Namun, anak yang mereka idam-idamkan belum mau juga mendiami rahim Manda.

“Tetapi, kenapa Kayla?” ... Berulang kali kutanyakan hal itu kepada Manda, saat ia mengutarakan keinginannya untuk mengadopsi Kayla, sehari setelah Manda memintaku untuk menemaninya melihat bayi malang itu di puskesmas yang menampungnya sementara waktu, dan semua itu membuatku nyaris tersedak sepotong brokoli, menu makan siangku, waktu itu.

Bobot Kayla waktu itu tidak lebih dari dua kilogram, dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Ada sedikit masalah di bagian jantungnya, mungkin akibat obat penggugur kandungan yang dikonsumsi ibu kandungnya yang tidak menginginkan kehadirannya di dunia ini. Dan hingga kini masih belum diketahui keberadaannya.

“Love at the first sight!” begitu yang diucapkan Manda, saat kuingatkan, masih banyak bayi yang bisa diadopsinya di panti asuhan dengan kondisi yang lebih baik, dan tentu saja tidak akan menyusahkannya.

“Aku rasa kami sudah berjodoh. Jhaey juga setuju"... Seru Manda lagi waktu itu... “Aku jatuh cinta kepadanya, seperti aku jatuh cinta pada wafel, aroma tanah basah, dan Jhaey suamiku simpelkan"... Balasnya santai.


~~~ 💖💖💖💑👪💝💝💝 ~~~


Ariana benar-benar tak dapat memahami jalan pikiran Manda saat itu, walau ia telah menghabiskan hampir sepertiga umurnya untuk hidup bersamanya. Sejak kami sama-sama merantau dari Kota Makasar ke ibu kota untuk kuliah dan memutuskan berbagi kamar di kos yang padat penduduk. Hingga akhirnya kami diterima bekerja di perusahaan yang sama, kemudian pindah ke sebuah apartemen di jantung ibu kota.

Ariana dan Manda seperti sepasang cermin yang saling dihadapkan. Menderu dengan semangat yang sama. Saling mendukung dalam tiap kesempatan. Tanpa pernah saling iri. Membuat kami berdua melaju dengan cepat menduduki jabatan yang bergengsi di kantor, di bidang kami masing-masing. Hanya satu hal yang membuat kami berbeda pandangan. Anak! Di bagian itu, kami selalu berpisah jalan.

Usai prosesi pernikahan adat Bugis yang panjang, Manda dan Jhaey telah merancang keinginan untuk secepatnya memiliki keturunan. Ariana masih ingat benar saat melepas Manda dan Jhaey untuk berbulan madu ke Pulau Bali. Dengan wajah tak sabar dan setengah berbisik Manda menggoda Ariana, untuk bersiap-siap dipanggil ‘Tante’ sepulangnya mereka dari pulau Dewata itu. Meski fakta dan kenyataannya keinginan itu tidak juga terwujud hingga detik ini.

Sementara Ariana dan Hermansyah, yang akhirnya menyusul Manda dan Jhaey menikah empat tahun kemudian, justru sepakat untuk menunda memiliki keturunan. Dengan alasan, agenda pekerjaan masing-masing yang masih padat. Walau dokter telah memastikan Ariana dan Hermansyah dalam kondisi sehat untuk memiliki keturunan. Untuk kesamaan visi dan misi berumah tangga itu, mungkin Ariana dan Hermansyah berjodoh.

Ariana alihkan pandangannya menatap ke luar jendela. Matahari pagi semakin serasa sinarnya memasuki cela jendela tanda pagi akan mendekati siang.

“Kamu masih menggunakan alat kontrasepsi itu, Ar?”

Pertanyaan Manda membawa mata Ariana kembali berpijak pada wajahnya. Kemudian ia mengangguk pelan.

“Sampai kapan?”

Ariana mengedikkan bahu... “Sampai aku dan mas Her, benar-benar siap.”

“Tiga tahun, Ar!” Ucap Manda, seperti mengingatkan... “Tidak ada waktu yang tepat kalau kamu tidak memulainya! Anak adalah pengikat. Membuat hubungan suami-istri makin erat.

“Huh….” Ariana hembuskan napas. Ya, tiga tahun sudah kulewati hidup berumah tangga bersama mas Her. Lelaki pekerja keras yang tak banyak menuntut. Tak pernah sekali pun mas Her ribut, jika aku tidak sempat menyiapkan kopi atau sarapan. Bahkan, jika terpaksa pulang larut malam karena meeting dengan klien penting yang sulit diberi pengertian. Begitupun aku, tak pernah mengadu kepadanya, jika keran air di rumah bocor, atau mobil yang tiba-tiba ngadat di jalan. Hidup yang kami jalani adalah sebuah rutinitas dalam keteraturan.

Tiap hari, dimulai dengan ucapan selamat pagi, mengecek agenda sambil menikmati menu sarapan, kemudian bergegas masuk ke dalam mobil masing-masing. Bertemu kembali di malam hari, merebahkan tubuh di kasur dengan membawa kepenatan masing-masing tanpa banyak bicara. Hanya ucapan selamat tidur yang terdengar, atau sesekali mengakhiri malam dengan bercinta. Ada kalanya aku berpikir, kami seperti dua orang asing yang terperangkap di satu atap. Kemandirian masing-masing membuat kami makin berjarak. Bahkan, akhir-akhir ini mas Her, makin jarang di rumah. Mengurusi proyek-proyeknya di luar kota yang makin berkembang.

Kuamati penampilan Manda dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kulit mulus Manda yang biasa menggunakan setelan blazer kini hanya dibalut terusan biru terang. Sementara rambut ikalnya yang biasa tergerai sebahu dijepit ke belakang, sebagian meluruh jatuh menutupi tengkuknya yang berpeluh. Tanpa riasan, apalagi cat kuku. Tapi... Aura itu, kebahagiaan yang terpancar jelas di wajahnya, membuat Manda terlihat begitu cantik dan berkilau.

“Apakah kamu bahagia, Manda?” Seru Ariana mencoba bertanya untuk meyakinkan penglihatannya.

“Sangat"... Tanpa ragu Manda menjawab. Mengangkat Kayla yang telah rapi dan berganti popok baru, masuk ke dalam dekapannya... “Kamu sendiri?”

“Apa?” Ariana nampak tergagap.

“Apa kamu bahagia, Ar?” Tegas Manda kembali balik bertanya.

“Menurutmu?”

Manda melangkah ke arah Ariana bersama Kayla yang berlabuh dengan tenang di dadanya. Disambarnya sebuah cermin kecil berpigura plastik pink terang dari atas rak pakaian Kayla. Manda menyodorkan benda itu tepat di hadapan Ariana.

“Nih, tanya sendiri pada wajah yang kamu lihat di cermin!”

Ariana kembali termenung. Menarik cermin itu dari tangan Manda. Menatap wajah yang ia lihat di cermin. Wajahnya sendiri. Tak ada cela di wajah itu. Sapuan make-up yang melapisi wajah dalam cermin itu membuatnya terlihat begitu sempurna. Alis yang melengkung dengan rapi. Hidung mancung. Bibir, walau tak sepenuh Angelina Jolie, tapi terlihat seksi. Namun, ada satu yang tak dapat berbohong di wajah itu, sepasang mata yang kesepian... Menatap layu di cermin itu.




~ THE~END ~